公用欄目


Join the forum, it's quick and easy

公用欄目

張慶茂:在香港的苦與樂 (第一集) 【代貼】

2 posters

向下

 張慶茂:在香港的苦與樂 (第一集) 【代貼】 Empty 張慶茂:在香港的苦與樂 (第一集) 【代貼】

發表  ymchen 03.02.15 0:40


【代貼】

SUKA DUKA DI HONGKONG-Revisi 【註】
(在香港的苦與樂-修訂版)








【YMC 按: 張慶茂學兄是原印尼“新華學校”54 年屆校友、“巴城中學”57 年屆校友。他豐富的人生經歷,和堪稱“傳奇”的遭遇,在印尼華僑華人中,雖然並不是獨一無二的,但像他這樣願意化時間寫“回憶錄”,詳細描述他的親身經歷和遭遇,以及他所耳聞目睹的事實,這在印尼華僑華人中,特別是在曾經在中國大陸生活過、而如今流落在港澳地區的“原印尼歸國華僑”中,確實是不多的。

許多人都喜歡回憶已經消逝的歡樂歲月,然而,如果那是一場“惡夢”,那麼多數人都會盡量避開它,甚至想方設法把它從記憶中永遠清除。然而,慶茂兄卻絲毫也不迴避,他以坦然的態度面對已經過去的“美夢”和 “惡夢”。

慶茂兄的記憶力極佳,半個世紀以前發生的事件的詳細經過,還有他當時的朋友的姓名年齡職業,甚至他們的住家地址門牌號碼等,他至今都記得清清楚楚。但他也明白,任何人到一定年齡,記憶力都難免會衰退,這是無法迴避的自然規律。因此,他力爭在記憶力仍然良好的情況下,把他經歷的事件,把他瞭解的事實都盡可能詳細寫出來,給後人留下真實的歷史。他這種對歷史和後人負責的態度,值得我們認真學習。

他今年已年屆 76 歲高齡,健康狀況欠佳,但他樂觀面對人生,不僅繼續積極參與社會活動,還努力克服困難,堅持寫作,他這種樂觀和堅韌不拔的精神,實在令人十分欽佩。

慶茂兄長期生活在印尼語社會生活環境中,因此他的印尼語水平很高,他以印尼文寫的這一篇《SUKA DUKA DI HONGKONG》(《在香港生活的苦與樂》),內容豐富,文筆流暢,妙語連珠,感染力強,值得一讀。

這部長篇“回憶錄”,他邊寫邊改邊發表,目前已完成四集,我受他委託,將會幫他分段貼上《巴中網站》與廣大網友分享。他在這部長集中,寫的許多真實的故事,會令感情豐富的讀者,情不知禁地或感慨萬千,或會心一笑,或熱淚盈眶,甚至淚流滿面。因此,能讀懂印尼文的網友千萬不要錯過。

為證明我所言非虛,我在此簡要介紹幾則有趣的片段:

※慶茂兄詳細描述 1978 年他通過深圳和羅湖兩個邊境海關的過程,…胡榮華兩兄弟在紅磡車站焦急等待,…爾後他在榮華家裡免費食宿兩個月,……。

※他在許多親友的鼓勵幫助下,積極搵工並最後成功創業,…。他先後當過印尼餐廳廚師、超市職員、上海餐廳洗碗工、旅行社導遊(印尼語)、鋼琴補習老師…,最後他終於站穩腳跟,成為一名鋼琴師兼作曲家,……。

※慶茂兄在印尼時就有一位熱戀中的情人— Li Lian。1965年他在中國成為“印尼籍政治難民”後不久,Li Lian 即申請回國,獲分配到廈門。…慶茂兄被告知,外籍人士不准與中國公民戀愛結婚,他被迫忍痛斷絕與 Li Lian 的聯繫。…1978年他移居香港,與 Li Lian 重逢,不過她已嫁為人婦並育有一子,…。後來在一次“飲茶聚會”上,他遇到真愛,認識了 Victoria (巴中 68 年屆校友),兩人一見鍾情,雙雙墮入愛河,最終結為夫婦。…再後來,他被一位原印(尼)共叛徒出賣告密勒索, Victoria 在 Bandung 被拘禁達 8 個月之久,付贖金才獲釋,……。

※ ……。

我覺得,慶茂兄寫的這些真實故事,比那些完全虛構的電視劇更精彩,更生動。】








Bagian pertama(1978 -1987)


SUKA DUKA DI HONGKONG. (1978)-Revisi

(Seri ke-1)


Penulis : Thio Keng Bou (張慶茂)
(Jan. 2015)




(1) Meninggalkan Tiongkok ke Hong Kong


Tanggal 3 Januari 1978 pagi, saya meninggalkan setasiun K.A. Guang Zhou menuju Sen Zhen, dengan tujuan terakhir kota Hong Kong, yang ketika itu masih dibawah pemerintahan koloni Inggeris.

Kira2 3 jam kemudian, tibalah di kota Sen Zhen, lebih tepat kecamatan Sen Zhen, sebab ketika itu Sen Zhen masih merupakan wajah kecamatan ketimbang kota metropolitan dewasa ini. Setasiun K.A.nya masih bersahaja dan kecil sekali.

Turun dari K.A. saya harus menjinjing sendiri koper pakaian yg beratnya 20 Kg. dan sebuah akordeon merek Parrot yg beratnya sekitar 10 Kg. Akordeon yg baru saja saya beli di toko alat musik Guang Zhou dengan harga 450 RMB (Ren Min Bi). Uang yg saya hemat dari ber-tahun2 tabungan uang saku 30 RMB per bulan.

Saya sudah merencanakan, jika tak berhasil mencari nafkah di Hongkong, saya akan ngamen main akordeon di jalan raya yg ramai, seperti yg saya saksikan dalam film2 tempo doeloe di Indonesia.  Pokoknya punya kepandaian main akordeon dan menyanyi, pasti tidak akan kelaparan deh.

Dalam dompet saya, cuma ada 10 Hong Kong Dollar,  cuma sebegitu yg boleh ditukarkan dgn resmi di Bank of China, karena RRT masih miskin, tidak punya persediaan valuta asing yg cukup untuk rakyatnya yg mau keluar negeri. Saya masih punya l.k. 300 RMB uang tunai, semuanya tidak boleh dibawa keluar, harus dibelanjakan semua di Guangzhou,  jadi saya habiskan uang itu untuk membeli pakaian baru, koper, dan sepatu kulit. agar jangan ke Hong Kong, memakai pakaian tua distribusi yg warna biru2 yg tampak seperti kader pemerintah tingkat menengah pada umumnya ketika itu. Koper tua yg saya bawa dari Indonesia, pakaian luar distribusi warna biru2, sepatu kapas semuanya saya tinggalkan di Guang Zhou,  karena rasanya sudah tak cocok dgn penghidupan baru di Hong Kong.

Di perbatasan Sen Zhen, saya diperiksa oleh pejabat duane Tiongkok, diperiksa surat2 izin keluar Tiongkoknya, diperiksa dgn teliti semua isi koper yg saya bawa. Prosedur pemeriksaan makan waktu agak lama, hampir 5 jam lamanya, barulah saya diizinkan  meninggalkan Sen Zhen menuju Hong Kong via Lowu.

Sen Zhen dan Lo Wu (kota perbatasan yg dikuasai oleh Inggeris) cuma terpisah dengan sebuah jembatan saja, saya berjalan kaki dengan menjinjing bawaan yg terasa sangat berat, karena perut keroncongan belum makan siang.

Di kantor imigrasi Hong Kong-Inggeris, oleh bagian politik Inggeris, saya diperiksa lagi surat2 keterangannya, diajukan pertanyaan macam2, kenapa meninggalkan Tiongkok, di Tiongkok kerja apa, tinggal di mana, masih ada keluarga atau tidak, kapan ke Tiongkok. Mengapa ke Tiongkok dan lain sebagainya. Semuanya bisa saya jawab dgn lancar, karena memang teman saya di Guang Zhou pernah menceritakan kemungkinan seperti ini.

Kemudian saya membeli tiket KeretaApi Lowu-Hunghom, dimana engko piauw saya sudah menunggu sejak siang hari disana. Uang yg 10 Hong Kong Dollar itu rupanya sudah diperhitungkan oleh Bank Of China, persis cukup untuk membeli tiket KA 5 HK$ dan membeli satu kaleng Coca Cola 2,50 HK$  dan satu pak Saridele 2,50 HK$ untuk melawan rasa haus.

Mau beli ayam rebus sudah tak ada uang lebih lagi, tahan lapar deh, sebentar sudah sampai Hongkong baru makan sore.

Inilah Coca Cola/Saridele yg pertama kalinya saya minum setelah meninggalkan Indonesia. Karena di Tiongkok ketika itu tak pernah kelihatan apa yg namanya Coca Cola dan saridele  Pertama sudah kehausan, kedua memang minuman jaman kanak2 yg saya sukai, wah rasanya luar biasa nikmat dan segarnya, apalagi baru keluar dari rendaman ember plastik yg penuh dengan pecahan es batu.

Kereta api berjalan dengan lambat sekali, dalam gerbong tua kereta api berseliweran pedagang asongan yg menjual paha ayam rebus, coca cola, sari dele dll.

Kira pukul 6 sore saya tiba di setasiun KA Hung Hom, di mana sudah menunggu 2 engko piauw saya ko Yung Hoa dan ko Yung Hian yg sudah setengah harian menunggu di sana. Betul2 suatu perjalanan yang sangat meletihkan, Guangzhou-Hongkong ditempuh dalam waktu 10 jam lamanya ! Langsung saya dibawa ke restoran setasiun KA Hung Hom, makan nasi goreng dgn lahapnya.

Kemudian pergi ke rumah ko Yung Hoa di Hong Kong Island. Ia sudah punya seorang anak laki2, Wei Ke usia 5 tahun. Malam itu saya dan keluarganya tidur sampai larut sekali, karena banyak sekali cerita selama kita berpisah pada tahun 1966 itu. Akordeon Hohner yang ketika di Peking saya pinjam dari enso Neng Ay, dan saya pergunakan selama 12 tahun di RRT, sudah saya kirim kepada adiknya di  Peking yang masih tinggal di sana,  karena saya sudah membeli akordeon baru itu.

2 engko piauw saya sudah pada tahun 1972 dan 1975 pindah ke Hong Kong, dua2 sudah punya pekerjaan tetap di Hong Kong, penghidupannya lumayan, lebih baik ketimbang dulu di Shang Hai dan Bei Jing. Yang besar bekerja di China Travel Service, yang kecil bekerja di perusahan instant noodle.

Mereka katakan,  kau tak usah  sampai ngamen main akordeon sambil nyanyi di pinggir jalan, di Hong Kong sekarang  gampang cari pekerjaan, asal jangan pilih2 dulu. Di sini banyak sekali bekas teman sekolah kita, yg dulu ber-bondong2 meneruskan studinya ke RRT, kemudian merasa tak betah dengan iklim politik ekstrim kiri pada 1966-1976, satu persatu meninggalkan daratan Tiongkok, pindah ke Hong Kong. Anak Sin Hoa, anak Pah Tsung, anak Pa Hoa banyak yang tinggal di Hongkong sekarang. Kau tidak akan kesepian di sini......

Tgl 6 Januari 1978, tiba2 adik kandungku Keng Son muncul di rumah ko Yung Hoa, yang kutempati untuk sementara. Katanya, ia baru dari Bangkok habis membeli obat2an untuk bisnisnya di Bogor, ia sekarang dengan isterinya Happy membuka apotik dan toko obat di Bogor, sering pergi ke Bangkok untuk membeli obat2an . Ia sudah punya dua putera laki2, Rizal 8 tahun dan Royke 6 tahun. Keng Hin juga sudah menikah dengan Wawah, sudah punya seorang puteri, Deasy 1 tahun, kini berniaga di Jayapura, propinsi Papua.

Sudah 12 tahun 3 bulan kami berpisah, ia memang kadang2 mampir ke Hong Kong setiap belanja di Bangkok, selalu mampir ke rumah ko Yung Hoa. Kali ini dengan tidak di-sangka2 berjumpa dengan saya. Memang dari Papa dia sudah mendengar rencana saya ke Hong Kong, tapi belum tahu tanggal persisnya.

  Ia banyak cerita tentang keadaan ayahbunda dan adik2ku di Indonesia, Keng Houw kini dibantu oleh Keng Hin buka PT Pantai Kelapa di Jayapura.  Keng Lian bantu Papa di Tamansari,  bikin kosmetik, balsem, arak gosok, obat jerawat dan di jual di toko2, antaranya di Bogor toko obat dia, dan di Bandung toko engko piauw Tjoa Hok San. Keng Hong kini ada di Los Angeles USA,  Keng Loan masih kuliah di Universitas Tarumanegara, jurusan Ekonomi, yang bungsu Keng Siong masih duduk di SMA.

Setelah G30S, ia dan Happy masih berada di tingkat terakhir ITB, tapidikeluarkan dari bangku sekolah, karena keanggotaannya di Perhimi, yang ketika itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Begitu pula Keng Houw anggota Perhimi, dikeluarkan dari Ureca. Sahabat karib saya, Sim Liang Tje aktivis PPI Jakarta yang juga menjadi anggota Perhimi, untung sudah lulus di Ureca, kini jadi dokter gigi di Jakarta.

Kemudian saya, koYunghua, enso Neng Ay ramai2 pergi ke Hotel Merlin diTsim Sha Tsui dimana ia menginap. Kami berempat ngobrol lagi dengan uplek, diselang seling dengan gelak tertawa terkenang peristiwa yang lucu2 tempo doeloe.

Sebelum  ke Jakarta, Keng Son membelikan saya sebuah jacket tebal untuk menahan hawa dingin di Hongkong pada bulan Januari itu, kemudian, untuk keperluan se-hari2 sebelum mendapat pekerjaan di Hongkong, ia memberikan HK$ 1000,- kepadaku.



(2) Li Lian pacarku di RRT ternyata ada di HKG


Pada medio tahun 1968 hubungan saya dengan pacar saya Li Lian telah diputus secara paksa oleh Tiongkok, tapi pada akhir Desember 1977,menjelang saya ke Hongkong, fihak Tiongkok sudah memperbolehkan saya menikah dengan Li Lian, katanya sekarang larangan menikah antara WN Tiongkok dengan orang asing sudah dicabut, anda boleh pergi ke Xia Men (Amoy) untuk mencari pacarmu yang dulu.

   Ketika itu, status saya sudah berubah menjadi WN Tiongkok, karena sebagai stateless (paspor Indonesia saya sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Pemerintah Indonesia), saya tidak boleh masuk ke Hongkong, maka melalui naturalisasi, saya masuk menjadi WN Tiongkok, yang berarti status saya menjadi sama dengan Li Lian. Sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi untuk menikah dengan Li Lian, tapi tak mungkin Li Lian masih single setelah hubungan surat menyurat terputus selama 9 tahun setengah lamanya. Dalam hati saya ada dugaan, Li Lian pasti sudah seperti engko piauw saya dan banyak teman2 sekolah saya, sudah keluar ke Hongkong dan pasti sudah menikah dengan orang lain, mengingat usianya pada 1978 sudah 32 tahun. Maka tawaran Tiongkok saya tolak dengan sopan dan halus, saya katakan saya akan ke Hong Kong  menyelesaikan masalah pernikahan dengan yang cocok dengan saya.

Setiba di Hongkong, per-tama2 saya menulis surat kepada kedua orang tua saya di Tamansari, kedua saya menulis surat kepada ibu Li Lian di Pasir Kaliki Bandung, dan ketiga saya tulis surat kepada Sim Liang Tje, sahabat karib saya di PPI Jakarta dulu. Semua alamat2nya masih saya ingat betul di luar kepala.  2 minggu kemudian, saya mendapat surat balasan dari ibu Li Lian, ternyata Li Lian pada 1972 sudah keluar ke Hongkong bersama empat enci piauwnya Li Tjen, Li Hwa, Li Fang dan Li Tje. Tahun 1973 sudah menikah dengan Hoakiao asal Palembang Sen Tje Yung, dan tahun 1974 sudah melahirkan seorang anak laki2 Sen Yi, yang fotonya dilampirkan bersama surat ibunya. Sedikitpun saya tidak menyangka, ternyata Li Lian bertempat tinggal dekat sekali dari rumah ko Yung Hoa, cuma berjarak 500 meter jauhnya.

Saya segera pergi ke rumah Li Lian, ternyata ia juga baru terima surat dari ibunya yang mengatakan bahwa saya ada di Hongkong.

“Ko Keng Bouw, apa kabar nih, wah lama sekali ya kita tidak ketemu, kapan datang ke Hongkong? Nah saya perkenalkan, ini  suami saya Sen Tje Yung dan ini anak saya Sen Yi.” Demikian kata2 yang diucapkan Li Lian begitu saya masuk ke pintu rumahnya(flat apartmennya) di daerah North Point juga).

“Baru setengah bulan, dan saya sudah menerima surat dari mama tentang keadaanmu ini, terimalah ucapan selamat dari saya, semoga kalian berdua hidup rukun dan bahagia sampai hari tua. Saya menganggap kalian seperti adik kandung saya sendiri,  sebagai sahabat karib.” Demikian jawab saya setelah duduk di sofa ruang tamunya.

Kemudian kami ngobrol panjang lebar, saling menceritakan kejadian2 penting setelah diputusnya oleh Tiongkok surat menyurat pada 1968 di RRT. Li Lian pada 1970 dipaksa turun ke desa untuk macul, jadi petani untuk cuci otak (brain washing a la Mao Tjetung). Karena semua Hoakiao yang orang tuanya bukan buruh, tani dan perajurit tidak diizinkan sekolah di Tiongkok pada jaman edan RBKP (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar). Orang tuanyanya di Indonesia ada sedikit mampu, punya pabrik di Majenang. Maka berangkatlah ke RRT untuk mengajak Li Lian dan 4 enci piauwnya ramai2 pindah ke Hongkong,  seperti ratusan ribu Hoakiao Indonesia lainnya pada tahun 70-an itu. Di Hongkong berkenalan dengan Sen Tje Yung, sekarang suaminya. 3 enci piauwnya juga sudah menikah, yang satu sedang pacaran, tahun ini juga akan menikah. Sen Tje Yung membuka usaha bangunan, yang kerjanya renovasi kantoran, toko dan flat2 apartmen baru maupun lama. Sen Yi baru masuk Taman Kanak2.

  Sebelum saya bekerja, saya belajar bahasa Kantonese kepada mereka suami isteri yang agak fasih bahasa Kantonesenya, berbeda dgn ko Yung Hoa dan enso Neng Ay yg kurang bergaul dengan orang Hongkong, kurang fasih bahasa Kantonesenya. Tanpa menguasai bahasa Kantonese, sulit mencari pekerjaan yg baik di Hongkong, bahkan pernah saya melamar bekerja sebagai tukang buka pintu di hotel, tukang bersihkan toilet di hotel, dua2nya ditolak lamaran saya, karena bahasa Kantonesenya masih miskin sekali.



(3) Sim Liang Tje dokter gigi lulusan URECA


   Kira2 setengah bulan kemudian, datang surat balasan dari sahabat karibku di PPI Jakarta Sim Liang Tje, ternyata dia sudah pindah dari rumah lamanya di jalan Gunungsari I no.41, Pasar Senen, tapi rumah itu masih didiami oleh familinya, jadi familinya mengirim lagi surat saya itu ke alamat barunya, jadi agak terlambat membalasnya, disamping kesibukan akhir2 ini dari profesinya sebagai dokter gigi dan pembisnis.

  Sim Liang Tje tahu betul saya pergi ke RRT pada September 1965, karena saya khusus ke rumahnya untuk pamitan. Sudah 12 tahun lebih tak ada berita dari saya, jadi ia kaget juga tiba2 menerima surat yang menceritakan bahwa saya baru keluar dari RRT dan kini bermukim di Hongkong.

“Bouw, jij (bahasa Belanda artinya kamu) masih inget sama ike (bahasa Belanda artinya aku) nih, lama bener jij pergi ke Tiongkok, kenapa sekarang baru keluar ke Hongkong, kapan kembali ke Indonesia? Kerja apa jij sekarang di Hongkong? Ada siapa saja yang jij kenal di Hongkong? Ike masih tinggal sama Mama berdua, Papa sudah bercerai dengan mama tinggal sama isteri keduanya di tempat lain. Orang tua dan adik2 jij apa masih tinggal di rumah lama di Tamansari? ” Liang Tje masih inget juga rumahku di Tamansari, padahal cuma satu kali ke sana waktu ulangtahunku ke 18, dia datang mengucapkan selamat, dan makan kroket kentang buatanku sendiri.

Wah senangnya bukan maen menerima surat pertama dari sahabat karibku di PPI Jakarta dan PPK (Perkumpulan Pemuda Kristen Indonesia) yang gedung perkumpulannya di Jalan Krekot no. 28, tempat di mana saya dan Tan Siang Joe membentuk PPI Jakarta untuk pertama kalinya di situ. Memang ketika PPI Jakarta berdiri, 90% anggota2nya berasal dari SMP dan SMA Kristen di Jakarta, yang sering main di Krekot no. 28 , cuma saya sendirian yang berasal dari sekolah Tionghoa di Ba Zhong Mangga Besar. Sesama anggota PPI kalau ketemu ceplas ceplos campur sedikit Bahasa Belanda, saya agak ngerti juga sedikit2 sebab mama dan Oom saya semuanya sekolah Belanda. Juga kalau vergadring (rapat) dan bikin notulen (catatan jalannya rapat) sering campur2 bahasa Indonesia dengan bahasa Belanda.

Surat ini tidak segera balas karena sibuk mencari pekerjaan dan belajar bahasa Kantonese. Setelah bekerja jadi tuang cuci piring yang santai kerjanya, banyak waktu luang, barulah saya balas suratnya.

“Hah, ngapain jij jadi tukang cuci piring? Emangnya kagak bisa dapet kerjaan lain? ” Demikian surat Liang Tje yang kedua.  Saya jelaskan, semuanya bersifat pekerjaan sementara, sebab saya tidak mau menganggur terlalu lama, ada kerjaan apa ya pegang dulu, sambil pelan2 cari yang lebih baik. Belakangan setelah mendengar saya berhasil jadi guide di Anta Travel, kemudian berhasil jadi guru piano, dia senang juga mendengarnya, karena dia tahu betul saya sejak di PPK sudah bisa main akordeon, dan di PPI Bandung sudah bisa main piano. Waktu ulang tahun saya ke-24, kebetulan Liang Tje bersama koor Hosiana dari Gereja Kristen Indonesia Gang Kelinci datang memberi pertunjukan di Bandung, banyak anggota koornya yang saya kenal baik, lalu saya undang mereka ke Sin Chung tempat saya bekerja, dan mainkan lagu2 sederhana dengan piano di situ, mengiringi dengan piano Ong Loan Nio nyanyi lagu Santa Lucia, dan Tan Tjoen Nio lagu Citra yang sering dinyanyikan di malam gembira PPI Jakarta.

Adik saya menulis surat dan bilang, bahwa Liang Tje belum menikah, apakah mau dijodoin dengan dia? Saya jawab : “Ini sesuatu yang mustahil, karena masalah politik, saya belum bisa pulang ke Indonesia dalam waktu dekat ini, dan Liang Tje tak mungkin ke Hongkong, diplomanya tidak laku di sini.  Sudah nasib cuma bisa jadi sahabat karib saja, tidak ada jodoh menjadi suami isteri.” Balasku.

Dari surat2nya saya baru tahu, bahwa sejak PPI dibubarkan pada 1965, semua anggota2nya buyar entah kemana, dan tidak pernah kumpul2 lagi seperti dulu. Maka ia tidak bisa menjawab kemana perginya Lim Hoay Liang, Tan Siang Joe, Tan Siang In, Yap Tjan Liang, Yap Kiat Liang, Lim Soen Tjiang, Lim Soen Wie, Lim Tjoan Soey, Lay Soe Thian, Sho Djie Thian, Gouw Wie Jian, Liauw Seng An, Ong Gie Houw, Chiang Chu Niang, Song Tjin Teng dan lain2 yang kami berdua sama2 kenal waktu di PPI.

Selanjutnya kalau ada waktu saya tulis surat kepadanya, dan Liang Tje sendiri pernah 3 kali datang jalan2 ke Hongkong, pada 1983, 1988 dan 1993. Ketemu2 lagi pada 2002 di Jakarta, ketika untuk pertama kalinya saya menginjak bumi Indonesia setelah 37 tahun lamanya di luar negeri.

Bayangkan kalau saya menikah dengan Liang Tje, dalam waktu 24 tahun cuma 3 kali ketemu muka. Ini namanya nasib.



(4) Juru Masak Restoran Indonesia


Apa yang diceritakan oleh Ko Yung Hoa dan ko Yung Hian  ternyata benar. Selama beberapa hari membaca iklan di suratkabar Hong Kong, ternyata banyak sekali lowongan pekerjaan apa saja, siap menunggu lamaranku untuk bekerja, jadi tidak usah sampai jadi pengemis di pinggir jalan sambil main akordeon dan menyanyi.

Bahasa se-hari2 yang digunakan oleh penduduk Hong Kong adalah bahasa Kantonese, bukannya bahasa Mandarin atau bahasa nasional Tiongkok. Jadi saya menghadapi kesulitan besar untuk bekerja, sebab sedikitpun tidak menyangka hal seperti ini, jadi tidak pernah ada persiapan samasekali untuk belajar bahasa Kantonese ketika masih di Guang Zhou. Maka saya putuskan untuk belajar bahasa Kantonese melalui layar TV, mencari pekerjaan yg tidak usah berdialog dgn bahasa Kantonese, tapi ada kesempatan belajar bahasa ini melalui komunikasi dgn teman2 sepekerjaan yg sudah lama bermukim di Hong Kong.

Akhirnya ketemu juga iklan yang mencari koki masakan Indonesia. Saya segera pergi melamar dengan berpakaian rapih, pakai stelan jas dan berdasi. Masih ada dan masih bagus karena jarang dipakai, stelan jas dan dasi yang kupakai pada tahun 1965, ketika jadi anggota delegasi Front Pemuda Indonesia. Restoran tersebut terletak di Central Hong Kong, di mana terletak pusat perkantoran perusahaan besar di Hong Kong. Letaknya 45 menit perjalanan dengan tram listrik dari rumah kediamanku sementara di North Point. Tram Listrik adalah alat angkutan yg paling murah di Hong Kong.

Saya diterima oleh majikan perempuan Restoran Jakarta di ruang makan. Inilah dialog yg tak pernah kulupakan seumur hidup:

MP (majikan perempuan): Maaf ya, yang kami butuhkan adalah jurumasak, bukannya pelayan restoran.

Saya: Rupanya anda salahpaham melihat saya berpakaian seperti pegawai kantoran, saya betul2 mau melamar pekerjaan sebagai jurumasak.

MP: Okay,... tapi,.... apakah kamu berpengalaman jadi juru masak? Dimana kamu bekerja jadi jurumasak restoran Indonesia?

Saya: Sejak kecil saya jadi pembantu utama ibu saya yg buka restoran di Jakarta.

MP: Baiklah, coba buktikan kamu betul2 mampu masak. mari ikut saya ke dapur, bikin 4 macam masakan Indonesia sbb: Rendang Padang, Soto Madura, Kari Sapi dan Sate Ayam.

Sebetulnya saya berdusta kepada majikan perempuan tsb, seumur hidup saya tak pernah bekerja di restoran apapun. Saya cuma sering membantu ibu saya masak makanan se-hari2 di rumah. Kemudian selama 12 tahun di Tiongkok, sering belajar masak kepada teman2 yg betul2 ahli masak masakan Indonesia, dan sering terjun ke dapur untuk bekerja jadi koki pembantu.

Guru saya adalah ibu saya sendiri, ayah yg juga pandai masak, nenek saya, zus Mariam yg kini bermukim di Holland, bung Sofyadi yg pernah mengajarkan saya membikin Rendang Padang, ketika sama2 dirawat di Sanatorium Lu Shan pada 1973, ketika itu tak ada daging sapi, saya pakai daging babi sebagai gantinya. Menurut bung Urip yg kebetulan sama2 di rawat di Sanatorium, rendang babi yg saya masak itu betul2 lezad. Namun jika saya tidak berdusta, niscaya segera ditolak lamaran saya ini.

Saya dipersilahkan masuk ke dapur restoran, dimana sudah ada koki, pembantu koki, tukang cuci piring yang kesemuanya berasal dari Indonesia. Saya segera buka dasi, gantung jas saya, mulailah bekerja menurut permintaan sang majikan tsb.  Dalam tempo l.k. 3 jam selesailah semua masakan tsb.  Sang majikan mencicipi satu persatu, kemudian berkata: "Wah, tidak menyangka kamu pandai masak, cuma masih ada jarak dgn seleraku, jintennya kurang terasa." Setelah saya tanya kepada koki utama A Wong yg berasal dari Medan, dia beritahu bahwa majikan kita ini kelahiran Singapura, jadi seleranya agak beda dgn orang yg kelahiran dari Jawa.

Saya segera diterima menjadi pembantu A Wong, dengan upah bulanan 900 HK$, kerja 6 hari per Minggu, tiap hari 12 jam kerja, dapat makan gratis 3 kali per hari.

Begitu diterima bekerja saya segera mencari tempat pondokan, kebetulan salah seorang pelayan Restoran Jakarta yg bernama Tan Wie Hiong ada kamar kosong untuk disewakan, sewanya cuma 200 HK$ per bulan. Li Lian membantu saya membeli ranjang lipat dan lemari baju plastic, karena kamarnya memang betul2 kosong tak ada perabotannya samasekali. Letaknya tak berjauhan dgn flat apartment Ko Yung Hoa. Enak juga, setiap hari kami berdua sama2 berangkat naik Tram Listerik, kemudian pulang kerja ber-sama2 pula. Selama 2 bulansaya ditampung oleh Ko Yung Hoa, makan dan tidur gratis, ia dan enso tidak mau menerima pembayaran dari saya satu sen pun.



(5) Cuma 8 hari di Restoran Jakarta Indonesia  


Di Restoran Jakarta, saya bekerja dengan antusias sekali, pertama, masak memasak adalah salah satu hobby  saya selama 12 tahun terpaksa  kecantol di Tiongkok, kedua, melalui bekerja, saya merencanakan untuk menabung uang guna membeli piano sebagai hobby utama saya sejak 1958 kuliah di fakultas hukum Unpar Bandung.

Miss Chen, demikianlah kita menyebut nama majikan perempuan Restoran Jakarta, lahir di Singapura, besar di Jakarta, bersekolah di Sekolah Sin Hoa Pasar Baru. Jadi masih se-alumni dgn saya, tapi dulu kami tidak saling kenal. Saya diatur pekerjaannya sebagai pembantu utama A Wong, kapten dapur.

Tiap pagi jam 9 saya sudah tiba di dapur, segera membantu mencuci sayur mayur, mengupas kulit udang basah, mengiris bawang merah / putih, mengupas  kentang, wortel, lobak putih, bangkoang, memotong kacang panjang, terong, kol putih, caysim, daging sapi, daging ayam, langkwas, serai, jahe, daun bawang, selederi, cabe merah, cabe rawit, kangkung, tauge, labu Siam, dlsb... kemudian menggoreng  kacang tanah dan menggilingnya sampai halus...semuanya saya kerjakan bersama A Hoy dan A Lim dua pembantu saya yg sudah bekerja beberapa bulan sebelumnya.

Yang mengolah masakannya adalah A Wong bersama Miss Chen, semuanya harus siap pada pukul 12 siang, untuk para tamu yg kebanyakan pegawai kantoran yang makan siang antara jam 12 s/d 14 di berbagai restoran di Central, termasuk Restoran Jakarta.

Antara jam 12 s/d 14, adalah jam2 tersibuk dan penuh ketegangan dalam dapur, karena Miss Chen menuntut keras, kerja harus cepat dan tepat. Menyendok nasi atau sayur tidak boleh kebanyakan atau kedikitan dan harus serba cepat, agar para tamu jangan menunggu terlalu lama.

Setelah jam 14, tamu2 sepi kembali, karena umumnya sudah masuk kantor bekerja kembali, barulah pegawai restoran bergantian makan siang. Saya dan A Wong yg bertugas gantian untuk masak makanan para pegawai, semuanya Chinese Food, yg pernah saya pelajari di Tiongkok pada 66-77 itu.  Setelah istirahat sebentar, kembali sibuk menyiapkan bahan2 untuk A Wong dan Miss Chen  bikin makanan tahan lama, seperti rendang Padang, kari sapi dan ayam, semur sapi, ayam goreng, sambel goreng ati, goreng kerupuk, emping, bawang merah, bikin sambel terasi, sambel lumpiah, sambel soto dlsb pekerjaan tetek bengek dapur Indonesia. Pernah juga saya membikin lumpia Semarang komplit dengan sambelnya, suatu yang pernah saya pelajari ketika di Indonesia dulu. A Wong mencicipinya dan memuji kwalitetnya sesuai dengan standard restoran, boleh dijual.

Makan malam juga di dapur, kebanyakan saya yg menyiapkan, karena A Wong tugas utamanya adalah masak untuk para tamu.

Sore hari dan malam, jarang ada tamu yg datang makan. Karena daerah Central adalah daerah perkantoran, setelah jam 6 sudah sepi sekali. Jam 8 malam, kami sudah ramai2 membersihkan dapur, toilet... Jam 9 malam selesailah pekerjaan seharian, masing2 pulang ke rumah untuk istirahat.  Saya pulang bersama Wie Hiong yg bekerja sebagai pelayan restoran, dimana saya menyewa kamarnya untuk tidur.  Jam 10 malam sudah tiba di rumah, baca suratkabar sebentar, badan terasa letih, buru2 naik ranjang untuk tidur.

Setelah bekerja 8 hari ber-turut2, saya minta berhenti kepada Miss Chen, kenapa?

Pertama, saya merasakan pekerjaan ini terlalu meletihkan badan,  pulang ke rumah sudah tidak bersemangat untuk belajar apa2 lagi, kemudian saya tidak bisa belajar bahasa Kantonese, karena yg bekerja di dapur 100% berasal dari Indonesia yg tidak menggunakan bahasa Kantonese samasekali.

Kedua, terjadi peristiwa yg menusuk perasaan saya. Kejadiannya begini: Pada hari ketujuh, saya diminta oleh A Wong untuk menggoreng bakmi. Saya kerjakan dengan baik, dan dapat pujian dari A Wong, kwalitet restoran ujarnya.  Malam itu kebetulan ada yg memesan bakmi goreng, ketika saya sedang enak2 menggoreng, tiba2 Miss Chen muncul dan menghardik saya: "Kenapa kau yg menggoreng bakmi? Apakah mau membikin rusak nama Restoran Jakarta?"   A Wong segera menjawab, bahwa dialah yg menyuruh saya. Tapi Miss Chen masih uring2an, ngomel panjang pendek.

Setelah pikir dalam2, keesokkan paginya saya ajukan permintaan berhenti kepada Miss Chen. Miss Chen minta maaf atas peristiwa semalam, minta agar saya jangan berhenti. Tapi saya tetap minta berhenti dgn alasan pekerjaan ini terlalu menyita waktu saya, tidak ada kesempatan untuk belajar bahasa Kantonese, karena seluruh pegawainya berbahasa Indonesia di dapur. Sayapun tak mau seumur hidup bekerja di restoran, tanpa mnguasai bahasa Kantonese, sulit untuk mencari pekerjaan lain yg lebih baik.

Setelah menerima upah 240 HK$, malam itu juga saya resmi berhenti dari Restoran Jakarta. Malam harinya membaca iklan di surat kabar, mencari pekerjaan yg lebih ideal, dan berdekatan dgn rumah kediaman, jadi tak usah buang2 waktu seperti sekarang ini.

8 bulan kemudian, saya jumpa lagi dgn Miss Chen di Central, dia mengajak saya untuk bekerja kembali di Restoran Jakarta. Saya katakan, sorry ya, kini saya sudah mendapat pekerjaan sebagai tourist guide di travel biro dan mengajar piano, pekerjaan ini tidak cape dan waktunya pendek. Miss Chen menjadi ter-heran2, kenapa sang koki ini tiba2 jadi tourist guide dan guru piano.... Dia tidak tahu, saya masih punya kebisaan yang lain, tapi tidak bisa dijadikan pekerjaan yang menghasilkan uang di Hongkong. Pada waktu2 senggang, saya suka mampir ke Restoran Jakarta, ngobrol dgn para pekerja dapur di situ, juga dengan Miss Chen dan suaminya.


(6) Bekerja di Super Market Xin Du Cheng (Metropolitan - North Point)


Tahun 1978, sangat mudah untuk mencari pekerjaan apa saja di Hong Kong. Setelah berhenti dari Restoran Jakarta, saya melamar pekerjaan di Super Market Xin Du Cheng yg letaknya dekat rumah kediaman saya. Gajihnya cuma 600 HK$ per bulan (cuma dua per tiga gajih di Res. Jakarta), tapi pekerjaannya jauh lebih ringan dan bersih, cuma mengambil barang2 dari gudang, menempeli label harga, meletakkan di rak, kemudian berdiri dan ber-jalan2, memperhatikan kalau2 ada yg mau mencuri di toko.  Dapat makan 3 kali juga, kerja 6 hari per Minggu, dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Makanannya cukup lezad,  ada sayur, ada daging, ada sup panas.

Di sini saya mendapat kesempatan belajar bahasa Kantonese, karena pegawainya banyak orang Hong Kong yg tidak bisa bahasa Mandarin samasekali, terpaksa saya harus  ber-cakap2 dalam bahasa Kantonese dgn mereka.

Pada suatu pagi, tiba2 datang menghampiri seorang pemuda kurus jangkung  dan menyapa saya: "Ko Keng Bouw ! Masih kenalin saya enggak?"

Sama sekali saya sudah lupa siapa gerangan pemuda ini. Akhirnya dia memperkenalkan diri :" Saya kan Kang Liang, adiknya Yen Lie,  sudah lupa ya ?"

"Wah, sudah 14 tahun tak jumpa, bagaimana bisa ingat lagi, apalagi ketika itu kau baru berusia 12 tahun rasanya."

"Saya sudah 5 tahun di Hong Kong, sudah menikah dan bekerja di perusahaan mertua saya di Hong Kong.  O, ya, si Chun Lin (Eveline Tjiauw) juga ada di sini, nih nomer tilponnya."

Yen Lie adalah salah satu sahabat karibku di Bandung, penyanyi soprano yg sering mengisi acara Malam kesenian PPI pada 1959-1964. Suaminya John Kim adalah penyanyi tenor, juga selalu mengisi acara kesenian di Bandung maupun di berbagai kota di Jakarta, Jateng, Jatim, Jabar dan Sumsel. Eveline Tjiauw adalah saudari seperguruan Yen Lie, sama2 belajar kepada Mevrouw Tobing ketika mudanya. Ternyata rumah kediaman Eveline Tjiauw cuma 5 menit jalan kaki dari rumah saya.  Ia, suaminya Yap,  dan  anaknya Xiao Hu sudah 3 tahun tinggal di Hong Kong, kini menjadi guru seni suara di flat aparmentnya di Quarry Bay.

Menggunakan waktu liburan, saya bertamu ke rumahnya, bernostalgia dengan Eveline dan Yap, yg sudah 13 tahun berpisah.   Yap membuka toko kios kecil di Causeway Bay, hidupnya lumayan juga. Saya menceritakan selama kecantol di Tiongkok 1965-1977, saya antara lain bekerja sebagai guru piano, guru akordeon, guru paduan suara dan mengajar menyanyi serta menggubah lagu2 (composer).

Eveline Tjiauw, juara Bintang Radio jenis seriosa Indonesia 1962,  juga anggota bagian kesenian PPI Bandung, kemudian memperdalam tehnik seni suaranya di Konservatorium Bei Jing.

Eveline bertanya kepada saya: "Bouw, kenapa kau tidak mengajar piano saja di sini?Kau kan sudah pengalaman belasan tahun jadi guru piano."

"Sulit berkomunikasi dgn orang Hong Kong, karena mereka tidak bisa bahasa Mandarin, saya juga belum lancar berbahasa Kantonese." Jawab saya.

"Tak apalah, nanti  saya bantu carikan murid,  selanjutnya kau pasang iklan di suratkabar, setiap hari belajar bahasa Kantonese, saya dulu juga begitu, ketika mula2 datang di Hong Kong".

Akhirnya saya memberanikan diri untuk menempuh penghidupan baru menjadi guru piano di Hong Kong. Tapi pekerjaan utama di Super Market tidak saya lepaskan dulu, karena murid saya masih sangat sedikit sekali, tidak cukup untuk ongkos hidup se-hari2.



(7) Jadi tukang cuci piring di restoran Shanghai


Setelah bekerja l.k. sebulan di Super Market, melalui Ko Yung Hian, akhirnya saya ketemu banyak sekali bekas teman sekolah ketika di SMA di Jakarta. Salah satu diantaranya Liu Mey Hoa adalah pemilik Restoran Shanghai di North Point, yg juga letaknya tak berjauhan dari kediaman saya. Kebetulan ia sedang membutuhkan tukang cuci piring di restorannya, gajihnya HK$ 850 per bulan, juga dapat makan 3 kali sehari.  Saya segera pindah kerja di restorannya. Kerjanya lebih ringan dan waktu kerja lebih pendek (9 jam sehari) serta gajihnya lebih besar ketimbang di Super Market.

Antara jam 2 siang sampai jam 5 sore, praktis tak ada kerjaan apa2 di restorannya, saya diizinkan untuk menyewa piano untuk berlatih, agar jari jemari saya tidak menjadi kaku, karena memang saya sudah bertekad untuk meneruskan karier saya sebagai guru piano di Hong Kong. Pekerjaan yg lebih ringan, penghasilan yg lebih besar, sesuai dengan bakat serta pengalaman kerja saya.

Adik saya di Indonesia mengirimkan uang 2000 HK$ untuk uang deposit membeli piano, sisanya 4000 HK$ saya angsur dalam tempo 18 bulan. Piano merek Baldwyn (USA) adalah piano yg terbaik kwalitetnya yg pernah saya pakai sebelumnya.  Memiliki piano sendiri adalah idam2an saya sejak kecil, baru terwujud impian ini pada tahun 1978 di Hong Kong.



(8) Ambil bagian dalam lomba seni suara Serikat Buruh Hong Kong


Sahabat lama saya Eveline Tjiauw menganjurkan agar saya ambil bagian dalam Lomba  Seni  Suara Serikat Buruh Hong Kong, dimana salah seorang muridnya Zhong Yi Xin ( penyanyi tenor ) ikut berlomba, dan membutuhkan seorang pianis pengiring. Dengan demikian berarti kesempatan untuk memperkenalkan diri secara terbuka diri kita sebagai pianis, dan memudahkan usaha mencari murid piano.  Nasihat baik ini saya terima, saya berkenalan dgn Zhong, seorang yg pernah aktif dalam Rombongan Kesenian di Hai Nan sebagai penyanyi tunggal (Tenor Solo).  

Zhong bekerja se-hari2 sebagai buruh angkutan, yg tugasnya mengantar Coca-Cola dari pabrik ke toko2 langganannya.  Lepas kerja ia datang ke rumah saya untuk berlatih bersama. 2 lagu pilihannya kebetulan sering saya mainkan ketika bermukim di Tiongkok dalam berbagai pentas kesenian. Yaitu lagu Italia O Sole Mio dan lagu Korea Ye Fei San. Jadi tidak usah terlalu buang tempo untuk menyiapkan partitur iringannya yg serba baru. Ini merupakan langgam musik saya yg selalu tidak puas dengan partitur musik yg ada yg ditulis oleh orang lain. Yang kadang2 terlalu sulit untuk dimainkan, atau terlalu mudah tapi tulisannya jelek dan chordnya terlalu sederhana, kurang bermutu.

Zhong memiliki suara tenor yg bagus, saya merasa beruntung juga bisa mengiringinya, menambah semangat saya untuk ambil bagian dalam perlombaan ini.  Yang ambil bagian dalam perlombaan ini semuanya terdiri dari kaum buruh yg bekerja dalam berbagai lapangan di Hong Kong, kebanyakan berguru kepada guru seni suara tamatan berbagai konservatorium di RRT.  Dan yg menjadi juri, disamping guru2 seni suara tsb, juga terdapat bintang film, bintang TV di Hong Kong. Secara tak terduga. saya bertemu dengan salah seorang juri yg ternyata satu angkatan dgn saya ketika studi di SMA Ba Zhong Jakarta, dan pernah merebut juara ketika perlombaan nyanyi di sekolah . Namanya Zhang Ru Jin.  Ia lulus di Konservatorium Peking jurusan seni suara, kini bekerja sebagai guru seni suara di Hong Kong.

Perlombaan berlangsung di Gedung Kesenian Xin Guang, North Point. Kami berdua mengenakan jas serba hitam dan berdasi kupu2 warna hitam pula. Karena sama2 berpengalaman tampil di berbagai panggung kesenian, maka sedikitpun kami tidak merasa dag dig dug hatinya atau gemetar. Apalagi  sudah melalui  latihan persiapan yg cukup, dibawah pengawasan Eveline Tjiauw, juara pertama Lomba Bintang Radio Se-Indonesia jenis seriosa pada 1962 dan Gouw Tjeng San, pianis pengiring berpengalaman sejak tahun2 50-an di PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) Cabang Jakarta.

Perlombaan berlangsung dgn seru, karena semua peserta juga mempunyai guru2 kenamaan dan memiliki bakat seni yg lumayan. Ketika pengumuman dari para juri, hati mulai ketar ketir, karena sampai diumumkan nama2 juara ketiga dan juara kedua. belum terdengar nama Zhong Yi Xin. Apakah kami masuk kotak, atau barangkali mujur berhasil merebut juara pertama.

"Juara pertama Lomba Seni Suara Serikat Buruh Hongkong 1978 adalah.....Zhong Yi Xin dengan iringan piano Zhang Qing Mao (nama saya dalam ejaan Bei Jing)...." Demikian pengumuan dari juri yg segera disambut dgn tepuk tangan yg ramai dari para penonton.  Kami berdua tampil ke pentas, Zhong menerima piala juaranya, serta amplop berisi chek HKD 1000,-.

Setelah itu ramai para peserta perlombaan memberikan salam selamat kepada kami berdua, beberapa juri mengatakan, disamping suara dan pembawaan Zhong yg bagus, juga iringan piano yg spesifik dari saya ikut memberikan pengaruh besar,  karena saya sama sekali tidak menurut iringan yg tertulis dalam buku2 musik yg ada, melainkan menciptakan sendiri iringan yg  serba baru dan cocok dgn isi lagu dan sedap di telinga, mereka memuji bakat terpendam saya dalam kreativitas iringan piano.

Selesai pertandingan, saya, Zhong, dan beberapa suporters murid Eveline Tjiauw ber-sama2 pergi Yam Cha (minum teh dan makan snack a la Hong Kong) di restoran Xin Du Cheng yg terletak di seberang Gedung Xin Guang tsb. Disini  saya berkenalan dgn Victoria, juga salah seorang murid Eveline Tjiauw, yg pada 1979 sampai cerita ini ditulis adalah isteri saya.

Semua merasa gembira hatinya. terutama saya dan Eveline Tjiauw.  Kami berdua sudah saling kenal semenjak di PPI Cabang Bandung pada tahun 50-60an, saya sering menjabat ketua rombongan kesenian dan Eveline adalah salah seorang penyanyi soprano andalan PPI Bandung ketika itu. Hati saya semakin mantep untuk menjadi guru piano di Hong Kong. Tidak sia sia latihan2 piano yg serius selama 12 tahun di RRT. Dimana saya selalu menjadi pianis utama dalam berbagai pertunjukan kesenian yg diselenggarakan oleh para pemuda pemudi Indonesia yg ketika itu terpaksa menjadi pelarian politik gara2 peristiwa G 30S.

Hari ini sangat bersejarah buat saya, perkenalan saya dgn Victoria, yg sama2 memiliki hobby kesenian, telah membawa saya ke mahligai rumahtangga yg bahagia selama di Hong Kong, lengkaplah cita2 saya hijrah ke Hong Kong untuk menjadi manusia normal, melepaskan diri dari kehidupan membujang selama 20 tahunan.

Vicoria lebih muda 13 tahun dari saya, setelah ngobrol punya ngobrol, ternyata ia dulunya juga tinggal di Tamansari Jakarta, waktu kecil pernah belajar ballet kepada ibunya ko Yung Hoa, saya dan dia juga sama2 bersekolah di SMA Ba Zhong Jakarta, yang pada 1966 ditutup oleh pemerintah Indonesia, terpaksa ia meninggalkan Indonesia untuk meneruskan studinya di RRT. Tapi ketika itu RRT sedang dilanda revolusi kebudayaan, dimana selama 4 tahun sekolah2 ditutup, semua pelajarnya disuruh belajar Fikiran Mao Tjetung, menulis tacepao (surat tempelan huruf besar), disuruh mengganyang orang tuanya yg menjadi pejabat penempuh jalan kapitalis, disuruh mengganyang para guru sekolahnya sendiri yang dicap otoriter burjuis. Jadi Victoria selama itu cuma nonton saja orang2 berdemo, mengganyang ini dan itu, tapi ia sendiri tidak ikut revolusi, karena tidak mengerti apa sebetulnya yang terjadi di Tiongkok ketika itu. Cuma ikut menyanyi dan menari saja dalam rombongan kesenian pelajar di Xia Men (Amoy). Ternyata dia berada di asrama sekolah yang sama dengan Li Lian ketika itu, tapi tidak saling mengenal. Kemudian pada 1970 ketika semua sekolah dibuka kembali, ia dan teman2nya dari Indonesia mendaftarkan diri. Betul2 kaget ketika dijawab oleh penguasa militer yang menduduki sekolah ketika itu, bahwa semua sekolah di RRT dibuka untuk kaum buruh, kaum tani dan perajurit, Hoakiao Indonesia yang kebanyakan orang tuanya jadi pedagang tidak memenuhi syarat jadi pelajar, harus dicuci otaknya (brain washing) di pedesaan, jadi petani tanam padi dan sayuran, hidup dari keringat dakii sendiri. Akhirnya semua Hoakiao yang orang tuanya bukan buruh, tani dan perajurit terpaksa harus ke desa jadi petani, termasuk Vicoria yang di-kerjapaksa-kan di Komune rakyat selama 3 tahun lamanya.

Mengenai hal Victoria ini, akan saya ceritakan dalam seri yad.


Bersambung ke seri ke-2 : Jadi tourist guide bahasa Indonesia di Hong Kong


【YMC 註:著者將本文標題作了細微的改動(增加了“-Revisi”和“-修訂版”字樣),以別於著者同名舊作(2004版)。新作較舊作相比,內容更豐富,描述更生動。 (2015.02.03.)】




【第一集結束】

【請續看下一集】








ymchen 在 03.02.15 22:28 作了第 3 次修改

ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

 張慶茂:在香港的苦與樂 (第一集) 【代貼】 Empty 回復: 張慶茂:在香港的苦與樂 (第一集) 【代貼】

發表  rb1606 03.02.15 10:27

全集(共六集完整版):
http://bazhong5069.868cn.net/t2452-topic
rb1606
rb1606

文章數 : 4216
注冊日期 : 2012-11-06

回頂端 向下

回頂端


 
這個論壇的權限:
無法 在這個版面回復文章