公用欄目


Join the forum, it's quick and easy

公用欄目

張慶茂:在香港的苦與樂(第三集)【代貼】

向下

張慶茂:在香港的苦與樂(第三集)【代貼】 Empty 張慶茂:在香港的苦與樂(第三集)【代貼】

發表  ymchen 08.02.15 21:30


【代貼】

SUKA DUKA DI HONGKONG-Revisi
(在香港的苦與樂-修訂版)






Bagian pertama(1978 -1987)


SUKA DUKA DI HONGKONG. (1979)-Revisi

(Seri ke-3)


Penulis : Thio Keng Bou (張慶茂)
(Jan. 2015)




(1) Jadi juara nyanyi di Motorola
(唱歌比赛冠军)


Ketika bekerja di Motorola ini, pernah satu kali buruhnya diajak berlibur di kapal pesiar dan berlayar di pelabuhan Victoria. Saya ikut perlombaan menyanyi yang diselenggarakan oleh pabrik, saya nyanyi lagu Italia O Sole Mio dengan iringan akordeon sendiri, tak di-sangka2, berhasil merebut juara pertama, dan dapat hadiah 100 HK Dollar.  Juara keduanya adalah orang kebangsaan Italia,  seorang insinyur di pabrik Motorola. Juara ketiga adalah seorang buruh wanita yang menyanyikan lagu pop Hong Kong. Ya kagak percuma juga saya pernah belajar seni suara selama 3 bulan kepada penyanyi terkenal di Jakarta, Effie Tjoa namanya.

Saya cuma bekerja selama 10 bulan di Motorola ini, akhirnya dipecat tanpa ganti rugi, karena saya sering ketiduran ketika bekerja, melanggar peraturan pabrik. Kebetulan  murid piano saya juga sudah ada belasan, penghasilan dari piano sudah lebih besar ketimbang kerja di pabrik yang meletihkan itu, bagaimanapun juga mengajar piano lebih ringan banyak , dan bisa menggunakan waktu untuk terus meningkatkan ketrampilan saya dalam main piano dan mengajar piano.  Saya belajar lagi kepada gurunya Gouw Tjeng San selama 3 bulan, yang pernah jadi guru piano di Akademi musik Tien Tsin RRT. Selama setengah tahun saya menerima pendidikan dari guru pengalaman Konservatorium Tien Tsin, banyak kemajuan yang saya peroleh, sayang beliau harus meninggalkan ke Hong Kong pergi Ke USA, untuk bertemu dengan keluarganya yang sudah lebih dulu pindah ke sana. Jadi selanjutnya saya tetap belajar sendiri, kadang2 tanya2 kepada Gouw Tjeng San yang lebih senior dalam pengajaran piano di Hong Kong, apalagi dia memang betul2 lulusan Konservatorium jurusan piano di Tien Tsin pada 1965.

Isteri saya mendukung keputusan saya ini, ia rela bekerja 12 jam sehari (kerja normal 8 jam plus 4 jam kerja lembur). Agar penghasilan kami berdua agak longgar, ada tabungan untuk kelak membeli flat apartment sendiri, tidak usah menyewa kamar lagi , yang sewanya tiap tahun naik terus. Besar sekali pengorbanan sang isteri yang cinta kepada suami dan keluarganya.



(2) Mendengar radio VOA  =  melanggar hokum

(听美国之唱是犯法的)


Pada suatu hari., ketika saya sedang jalan2 di Chatam Road Tsim Sha Tsui, terdengar teriakan yang manggil nama saya: ”Keng Bouw, …Keng Bouw ….!”. Saya menoleh ke belakang, tampak sebuah kepala yang tak asing lagi buat saya, yaitu kepala Yo Seng Kim, mantan interpreter GPST (Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok), yang pernah mendampingi saya selama 2 tahun, 1965-1977.  kemudian pada suatu hari tiba2 ia menghilang entah kemana.
Wah senang sekali bisa jumpa Yo Seng Kim setelah berpisah selama 13 tahun lamanya.

“Kemana saja kau ini, kok tiba2 menghilang tanpa pamitan?.” Tanya saya sambil duduk2 minum kopi di coffee house dekat situ.”

“Begini Bouw, saya tiba2 dipanggil ke kantor GPST, ada tugas baru, dan tidak boleh pamitan dengan grup  Pemuda Indonesia yang saya dampingi, ini metode kerja PKT di Tiongkok, yang saya tidak boleh langgar. Bagaimana dengan kawan2 Pemuda seperti Murdjiwati, Sulardjo Siregar, Bakaruddin Effendi, Yahya Efendi, Arifin, Ong Hok Tjiang, Murad Taher, Ismail, Anang, Korlis, Oetojo Mahdi dan Budiman Sudarsono?” Yo Seng Kim masih ingat betul nama2 dari grup pemuda yang pernah hidup bersama saya selama 4 tahun di RRT.

“Wah, sudah lama kita berpisah, mereka semuanya ke Eropa Barat, ke Holland dan Perancis serta Cekoslovakia” jawab saya, “Hanya saya sendirian yang ke Hong Kong…”  jawab saya.

Kemudian secara ringkas Yo Seng Kim menceritakan pengalamannya setelah berpisah dengan saya, dia ditugaskan ke Sekolah Tujuh Mei bersama pimpinan Liga Pemuda Komunis Tiongkok, antaranya termasuk Hu Yao Bang dan Hu Chi Li yang saya kenal.  Kemudian dia di tacepao, dikritik keras karena pada malam hari secara sembunyi2 mendengar lagu klasik Beethoven melalui siaran radio VOA..” Ketika itu RBKP (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar) sedang panas2nya, Mozart, Beethoven, Johan Strauss, Chopin dll komponis klasik/Romantik Barat diganyang, dianggap kebudayaan Monarki, raja2 dan pangeran, kapitalis, kemudian setiap orang Tiongkok dilarang mendengar siaran radio VOA (Voice Of America), radio musuh Tiongkok ketika itu.”Jawab Seng Kim.

Ini yang membikin dia sangat kecewa sekali, lalu berunding dengan Hu Yao Bang mantan Sekretaris jenderal Liga Pemuda Komunis Tiongkok, bahwa dia tidak betah kalau begitu, sudah harus macul di sekolah 7 Mei entah sampai kapan, kemudian dikritik secara terbuka mendengar siaran radio musuh dan musik musuh. Ia minta pendapat Hu Yao Bang, apakah boleh meninggalkan Tiongkok ke Hong Kong, untuk kemudian pulang ke Indonesia, sebab ia adalah putera sulung, ayah dan ibunya sudah lanjut usia, membutuhkan perawatan dari anaknya.

Hu Yao Bang orangnya sangat bijaksana, dia sangat memahami penderitaan batin dari Yo Seng Kim. Katanya: “Kau Hoakiao Indonesia memang tidak biasa dengan penghidupan politik di sini, kalau tidak betah ya boleh saja keluar Tiongkok, nanti saya tulis surat rekomendasi ke kantor polisi, agar dapat surat jalan (surat izin) untuk ke Hongkong, tapi Seng Kim, percayalah, keadaan abnormal seperti ini kelak pasti akan berobah, kelak jika kau mau balik lagi ke Tiongkok, kami sambut dengan gembira itu kedatanganmu itu.”

Begitulah cerita Yo Seng Kim yang akhirnya bisa ke Hong Kong atas bantuan Hu Yao Bang, yang belakangan diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok pada 1980.

Memang sejak Hu Yao Bang naik panggung kekuasaan, Tiongkok mengalami perubahan besar2an baik di bidang politik, ideology, kebudayaan, terutama di bidang ekonomi.Yo Seng Kim sering mundar mandir ke Tiongkok, mencari kawan2nya yang dulu  bekerja satu kantor di Liga Pemuda Komunis Tiongkok



(3) Berkenalan dengan penyanyi lagu

Cowboy Willy Fung

(牛仔歌唱家 Willy Fung)


Melalui tamu2 ANTA EXPRESS saya mendapat keterangan bahwa di Indonesia  banyak yang belajar organ ketimbang piano,  jadi mengetahui profesi utama saya adalah guru piano, sedangkan pekerjaan tourist guide cuma sambilan saja,maka para tour leader dan tamu2 mengajukan saran agar saya belajar akhirnya mengajar juga organ, jadi tambah banyak muridnya.

Maka akhirnya,  atas bantuan dari Keng Houw adik saya di Jayapura,  saya beli organ Yamaha  seharga 10 ribu Hongkong Dollar dari Tom Lee Music Company. Kemudian belajar selama sebulan kepada guru musik di Tom Lee, ternyata gampang sekali main itu, selanjutnya saya belajar sendiri saja tanpa guru sampai mahir main organnya.

Pada akhir tahun 1979, saya mengajak seorang teman dari Indonesia untuk makan siang di Restoran Indonesia Shinta Wanchai Hongkong. Sambil makan kami dihibur oleh seorang penyanyi berambut keriting dan berkumis tebal, yang sambil main gitar menyanyikan lagu2 Barat, lagu2 Country (Cowboy).  Suaranya merdu dan persis bule yang menyanyi.  Selesai makan, saya maju ke muka,  bersalaman dengan penyanyi itu:

“Perkenalkan, nama saya Robert, saya mau berkenalan dengan anda, anda penyanyi dari Indonesia ya….”
“Kok tahu saya dari Indonesia? Banyak yang mengira saya orang Filipina, karena saya cuma nyanyi lagu2 Barat seperti penyanyi Filipina pada umumnya.”
“Saya punya feeling anda dari Indonesia, apalagi ini kan Restoran Indonesia.”
“Betul dugaan anda, nama saya Willy Fung, kelahiran di Malang Jawa Timur Indonesia.”


Ngomong punya ngomong,  Willy Fung kebetulan sedang mencari seorang guru electronic keyboard,  dia baru saja membeli Yamaha keyboard yg paling canggih waktu itu, sayapun demikian sama2 satu model. Akhirnya Willy saya ajak ke rumah saya dan saya ajari dia main keyboard, setelah satu bulan lamanya dia sudah mampu main keyboard utk mengiringi dia menyanyi di resto2 di Causeway Bay dan North Point.

Saya suka sekali mendengar Willy menyanyi, akhirnya kami menjadi sahabat karib sampai detik ini.

Setelah menjadi sahabat, Willy menceritakan bahwa ia dulu tamatan STM Indonesia di Malang, belum pernah sekolah Tionghoa seperti saya. Tahun 1960 karena PP 10 , ayahbundanya mengajak ia dan adik2nya pulang ke RRT. Tapi ia tidak betah penghidupan di RRT yang serba melarat, jadi penghidupan di RRT jauh lebih jelek ketimbang ketika di Indonesia dulu. Maka akhirnya nekad untuk pindah ke Hong Kong pada 1961.

Di Hong Kong untung ia berasal dari keluarga Konghu, jadi tak ada kesulitan belajar bahasa Hongkong yang satu bahasa dengan bahasa ayahnya yang juga orang Konghu.  Dia bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan bangunan,  menjadi pedagang kecil asongan yang ketika itu banyak sekali di Hong Kong. Kemudian membentuk music band dengan teman2nya, dan terakhir bekerja sebagai penyanyi lagu2 Country di Hongkong,lumayan penghasilannya, kira2 12 ribu Hongkong Dollar sebulan.



(4) Dokter Hongkong tak bisa bicara Pu Tong Hoa

(香港医生不会讲普通话)


Karena kerja malam dan AC nya terlalu dingin, akhirnya saya menderita sakit di lengan kanan, tidak bisa menyisir rambut, dan tidak bisa pegang kuping kiri. Saya pergi berobat ke Rumah Sakit Elizabeth di Kowloon, alangkah terkejutnya saya, ternyata dokternya tidak bisa bahasa Mandarin, bahasa nasional Tiongkok. Katanya sejak kecil sampai di bangku Universitas Kedokteran Hongkong, bahasa pengantarnya adalah bahasa Cantonese, bahasa Konghu.

Lucu juga lulusan Universitas kok tidak bisa bahasa nasionalnya, kalau kebanyakan orang Hong Kong ya saya sudah tahu dan kalau kita nonton TV juga tak ada yang berbahasa Mandarin, semuanya Bahasa Konghu atau bahasa Inggeris.

Tapi intelektuil tingginya kok begitu juga? Kedengarannya memang aneh, tetapi begitulah kenyataannya.

Saya memang terpaksa harus belajar bahasa Konghu, sebab pekerjaan sebagai guide maupun sebagai guru piano mengharuskan saya harus berbahasa Konghu kepada supir bis, kepada pelayan Restoran dan kepada murid2 piano saya yang semuanya tidak bisa bahasa nasional Tiongkok.

Keadaan di Hong Kong memang berbeda sekali dengan di Indonesia dan di daratan Tiongkok.  Sebab semua sekolah di Hongkong tidak mewajibkan harus belajar bahasa nasionalnya kayak di RRT dan di Republik Indonesia.

Karena penyakit lengan kanan saya tidak sembuh2, meskipun sudah berobat kepada banyak dokter dan sinshe di Hong Kong dan Guangzhou.  Dan tambah lama tambah berat sakitnya, maka terpaksa saya tulis surat ke Jakarta, karena tahu ayah saya terkenal bisa menyembuhkan penyakit aneh2 yang tak bisa disembuhkan oleh dokter biasa dan sinshe2 tradisionil Tionghoa, dengan cara mengerik dengan tanduk sapi, memijat dan makan obat2an Barat yang beliau pelajari sendiri dengan selfstudi.



(5) Papa ke Hongkong jadi sinshe tradisionil

(爸爸到香港当中医)


Isteri saya mengirim chek sebesar 2500 HKD untuk ayah saya beli ticket plane pulang pergi Jakarta Hong Kong.
Pada Oktober 1979, akhirnya datanglah ayah saya ke Hong Kong dan tinggal di Long King Mansion selama 3 bulan lamanya.

Ketika itu dua kamar tidur masih disewakan kepada orang lain, saya dan isteri cuma pakai satu kamar tidur saja. Ayah saya berkeras mau tidur di ruang tamu, pakai ranjang lipat, tidak mau tidur di kamar. Ya begitulah selama 3 bulan beliau tidur secara sederhana di ruang tamu.

Per-tama2 tangan saya diobati dengan cara yang berbeda dgn cara dokter Hong Kong maupun dokter atau sinshe di Guang Zhou yang pernah saya temui.  Yaitu lengan saya yang sakit dikerok dengan menggunakan alat kerok buatan ayah saya sendiri yang dibikin dari tanduk sapi.  Lengan yang sakit dikerok sampai merah ke-hitam2an,  belum pernah saya mengalami dikerok sampai demikian warnanya, ini adalah untuk pertama kali. Masuk anginnya sudah hebat kata ayah saya, tidak cukup dikerok satu kali, seminggu lagi dikerok lagi sampai tidak ada warna merah nya. Kemudian saya disuruh makan neurobion dan vitamin B1. Sama sekali tidak minum obat tradisionil Tiongkok.

Sungguh aneh bin ajaib, cuma satu kerokan, sakitnya sudah berkurang banyak, dalam waktu satu minggu, lengan saya sudah pulih seperti biasa lagi, dokter rumah sakit Elizabeth dan rumah sakit di Guangzhou dikalahkan oleh ayah saya, yang cuma sekolah sampai SD kelas 5 di desa, SMP SMA pun belum pernah masuk, apalagi Fakultas Kedokteran.

Ayah saya bercerita, di Jakarta beliau sudah sering mengobati penyakit aneh2 yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter dan sinshe, beliau pernah buka praktek di Tanjung Kait, sebuah klenteng di pantai utara Jawa Barat, mendapat julukan sinshe dewa oleh para pasien yang berhasil disembuhkan penyakit anehnya yang tak dapat disembuhkan oleh dokter dan sinshe lain..

Setiap pagi jam 5,  ayah saya sudah bangun tidur dan latihan Yoga selama 1 jam lamanya, ini dilakukan setiap hari dengan disiplin, membikin badannya sehat dan tenaganya kuat. Tangannya seperti kakatua, kalau berjabatan tangan dan beliau mengeluarkan tenaga dalamnya, orang bisa menjerit kesakitan, kalau jalan darahnya ditotok, bisa bikin orang kegatelan sekujur badan atau ketawa tidak henti2nya.

Kalau mengobati orang sakit, beliau memakai cara sinshe tradisionil Tiongkok, pakai 3 hari , bongme namanya, dan seteah itu beliau tahu orang itu sakit apa dan harus makan obat apa. Selama di Hongkong saya sering melihat teman2 saya dibongme dan diketahui punya penyakit apa dalam tubuhnya.

Selama 3 bulan di Hong Kong, ayah saya kami ajak pesiar ke seluruh Hong Kong, Kow Loon dan New Territory, terutama ke klenteng2 Budha , sebab beliau sejak kecil sudah masuk agama Budha. Yang paling mengesankan untuk beliau adalah klenteng 10 Ribu Budha di lereng gunung dekat setasiun kereta api Sha Tin. , harus mendaki bukit yg lumayan tingginya. Untuk beliau tak menjadi soal, 30 tahun kemudian beliau masih kuat mendaki Patung Budha di Pulau Lantau yg tinggi itu. Masih kuat mendaki Tembok Besar di Peking. Ini berkat latihan Yoga yg disiplin tiap paginya. Tadinya saya mau ajak beliau ke Guangzhou untuk melihat Ko Dolih sekeluarga, tapi berhubung hubungan diplomatic RI-RRT masih belum pulih , maka beliau bilang lain kali sajalah, masih banyak kesempatan.

Saya tanyakan, apakah saya sudah boleh pulang ke Indonesia dewasa ini? Beliau bilang, menurut orang Bakin yang dikenalnya, saya jangan pulang dulu, tunggulah di Hongkong sampai situasi sudah aman betul.

Para Tapol kan sudah dibebaskan, termasuk isteri DN Aidit dan Siauw Giok Tjhan? Tanya saya lagi.

Yang sudah ditahan memang sudah dibebaskan atas desakan dunia internasional. Tapi yang belum ditangkap, jika pulang masih harus diinterogasi, ngapain saja selama 15 tahun ini di luar negeri, kenapa pada 1965 tidak berani pulang ke Indonesia. Lamanya interogasi ini belum dapat diketahui, mungkin cepat dan mungkin juga lama.

Kalau begitu ya sudahlah, saya tinggal dulu agak lama di Hong Kong, pulang ke Indonesia belum tahu bisa kerja apa, di sini sudah ada kerjaan dan lumayan penghidupannya, jauh lebih baik ketimbang ketika di Bandung 1958-1965 yang lampau. Sudah ada piano dan electronic keyboard, sudah punya murid piano meskipun belum banyak, lama2 kan kalau saya ngajarnya baik, murid akan bertambah juga.
Akhirnya saya putuskan tidak pulang ke Indonesia dulu.

Bulan Januari 1980, Hong Kong sudah mulai dingin hawanya, dan tambah lagi sudah kangen dengan cucu2nya di Indonesia, ayah minta pulang ke Indonesia, sudah cukup lama, tanpa terasa beliau vakansi di Hong Kong selama 3 bulan, vakansi yang paling lama dalam sejarah hidupnya, setiap hari kerjanya, ngobrol ke Barat dan ke Timur, makan, tidur dan jalan2 serta shopping. Sempat juga bertemu dengan Ko Yung Hoa di Hong Kong, Ko Yung Hian di Tsuen Wan, engku Yan Wim di Yuen Long, Encek Kwie Len di Quarry Bay, dan Akiu Ping Xian di North Point, serta Yo Seng Kim, interpreter Tiongkok yang mendampingi saya pada 1965-1967 di RRT.



【第三集結束】

【請續看下一集】





Swedish Rhapsody


ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

回頂端


 
這個論壇的權限:
無法 在這個版面回復文章