公用欄目


Join the forum, it's quick and easy

公用欄目

張慶茂:在香港的苦與樂(第七、八集)【代貼】

向下

張慶茂:在香港的苦與樂(第七、八集)【代貼】 Empty 張慶茂:在香港的苦與樂(第七、八集)【代貼】

發表  ymchen 17.02.15 23:11


【代貼】

SUKA DUKA DI HONGKONG-Revisi
(在香港的苦與樂-修訂版)






Bagian pertama(1978 -1987)


SUKA DUKA DI HONGKONG. (1983)-Revisi

(Seri ke-7)

Penulis : Thio Keng Bou (張慶茂)
(Feb. 2015)



(1) Dirigen PPI yang menjadi dokter di Berlin


Yo Bin Kwan, jabatan terakhir di PPI adalah wakil ketua PPI Cabang Bandung tiba2 datang dari Berlin Barat ke Hongkong. Dia datang sendirian, isterinya Soeng Tji Ing tidak diajaknya, dan dia bermalam di Tsim Sha Tsui, di sebuah guest house milik Chiao You She yang baru berdiri di Hongkong..

Secara ringkas dia bercerita tentang keadaannya setelah G30S, ditahan selama sebulan lamanya, akhirnya atas bantuan Gubernur Jawa Barat Mashudi dia dibebaskan. Memang tak ada kesalahan apa2, maka akhirnya dibebaskan dari rumah tahanan. Tidak digebuki atau disiksa Menurut yang dia dengar, begitu pula Tjoe Peng Hin dan Ong Lee Sin, sekertaris PPI Bandung ditahan selama sebulan saja, juga tidak digebuki atau disiksa.

Di Berlin Barat dia dapat diploma Fisika Atom dan Kedokteran, tapi dia lebih suka kepada kedokteran, dan berhasil buka praktek disana sebagai dokter yang lumayan penghasilannya untuk hidup di Berlin. Isterinya Soeng Tji Ing sekolah musik lagi dan berhasil mendapat izin mengajar piano di Berlin. Yo Bin Kwan memang seorang pemuda yang berbakat musik, dalam usia 18 tahun sudah menamatkan les piano tingkat 10 dan mengadakan konser piano perseorangan di Lyceum Bandung pada 1960. Akhirnya jadi pianis di PPI Bandung, dan dirigen paduan suara PPI Bandung yg berhasil merebut juara ke-3 seluruh Indonesia pada 1964 di Jakarta. Juara pertamanya adalah Paduan Suara Maju Tak Gentar kesayangan Bung Karno, juara keduanya adalah Koor Gembira pimpinan guru musik saya Sudharnoto.

Badannya tambah gemuk saja, mungkin sudah bertambah 20 KG ketimbang jaman di Bandung. Katanya kerjanya duduk saja dan suka makan enak di Berlin. Tji Ing juga gemuk sekali sekarang, padahal dulu agak kurus.

Untung dia tidak di-apa2kan di Bandung, hati saya menjadi lega juga mendengar ceritanya. Ayahnya Yo Ban Hok sudah meninggal dunia, begitu juga ibunya.  Kokonya Yo Pin Kwan sudah meninggal dunia, koko keduanya Yo Biauw Kwan masih ada dan dua adiknya Yo Kok Kwan dan Yo Liang Kwan juga masih ada di Bandung semua. Maka dia dan Tji Ing yang keluarganya masih di Bandung semua, sering pulang ke Indonesia untuk menengok keluarga masing2. Dan sering kumpul2 dengan bekas penyanyi dan penari PPI Bandung yang pernah mencapai jumlah 180 orang pada 1965.


(2) Wakil Ketua PPI yang menikah dengan
Saudagar tua


Tan Lok Liang, jua menjabat wakil ketua PPI Cabang Bandung tiba2 datang dari Semarang.  Ketika saya mau ke RRT, dia pernah datang ke Tamansari untuk mengantar saya, tapi tidak sempat ke airport karena waktu keberangkatan saya berubah dari 22 September diubah menjadi 27 September 1965. Wah, sudah dua orang wakil ketua yang datang menjenguk saya di Hongkong.

Kini dia sudah menikah dengan seorang saudagar tembakau dari Temanggung Jawa Tengah, seorang duda yang usianya banyak lebih tua daripadanya. Ya,  Tan Lok Liangpun baru menikah setelah 40 tahun lebih usianya, sudah sulit mencari yang usia sepantaran dia. Tapi mereka hidup rukun bahagia, saya senang juga mendengar berita ini. Kedatangan dia ke Hongkong adalah minta saya bersedia mengantar seorang familinya yang sudah berusia 80 tahun yang mau hidup bersama anaknya di Peking RRT, karena sekarang tidak ada yang merawat dia di Semarang, anaknya yang kedua sudah meninggal di Semarang, anak pertamanya berada di Peking. Dengan senang hati saya menerima permintaan ini, apalagi semua ongkos transport dan Hotel dibayari oleh nenek tua ini, juga setiap hari diberi uang saku 50 US Dollar. Wah sekalian jalan2 ke Peking, sudah 17 tahun tidak ke sana, dan di Peking masih ada beberapa teman saya, seperti Ibrahim Isa sekeluarga, Mudiro sekeluarga dan Kamaludin Rangkuti sekeluarga. Jadi anggap saja jalan2 gratis, dapat uang saku dan bisa ketemu sobat2 lama.

Ya di Peking memang saya gunakan waktu tiga hari untuk anjangsono kepada teman2 saya itu, yang masing2 masih ada pekerjaannya di Peking, Ibrahim Isa sebagai sekjen OISRAA (Organisasi Indonesia Setiakawan Asia Afrika), Bung Mudiro sebagai penterjemah ahli di Pustaka Bahasa Asing dan Kamaludin Rangkuti sebagai guru bahasa Indonesia di Universitas Peking.  Mereka bertiga semuanya ditampung di guesthouse yang sama yaitu Druzba, atau Guest House Persahabatan di pinggiran kota yg rindang pepohonannya. Tiga orang Puteri Ibrahim Isa yang namanya Tiwi, Tice dan Yasmin adalah murid2 piano dan akordeon saya ketika di RRT dulu, begitu pula 2 orang putri Mudiro yang namnya Nining dan Tifa pernah belajar piano dan akordeon kepada saya. Tahun 1986 Ibrahim Isa pindah ke Holland, dan  Bung Mudiro terus bekerja sampai menderita sakit dan meninggal di Peking, sedangkan Rangkuti kabarnya marah2 dan berhenti jadi guru kemudian pindah ke Holland dan meninggal di sana. Rangkuti marah karena mendengar ucapan dari Hu Yao Bang yang mengkritik para tamu Indonesia di RRT yang makan tidur saja kerjanya, mana bisa berevolusi orang kayak begituan? Ini yg saya dengar belakangan dari teman2 di Holland. Ya setelah 1977 saya keluar dari STM (Sekolah Tani Modern) di Tjiang Si, saya tidak tahu apa saja yang mereka lakukan di situ, yang jelas memang belum ada kemungkinan untuk pulang ke Indonesia, barangkali ya cuma makan tidur dan jalan2 saja kerjaannya.

Tan Lok Liang kemudian buru2 pulang ke Semarang lagi karena tak bisa lama2 di Hongkong karena suaminya kesehatannya kurang baik membutuhkan perawatan khusus dari dia.


(3) Penjual buku2 Komunis di Bandung


Pada suatu hari tiba2 datang Tjoa HK (Tjoa Heng Kie) dari Bandung.  Pada tahun 50-an dan 60-an, sebelum peristiwaG30S, Tjoa HK satu2nya orang yang berani buka toko buku Komunis di Bandung, tokonya di jalan utama Braga kemudian pindah ke jalan Asia Afrika. Namanya Toko Demos kemudian ganti nama jadi Toko Buku Parahiyangan. Di tokonya dijual buku2 tokoh Komunis, karya Marx, Engels, Lenin, Stalin, Mao Tjetung, Kim Il Sung,Ho Chi Min, dan buku2 PKI, DN Aidit , MH Lukman, Nyoto dan lain2.  ketika itu dia menjabat jadi ketua departemen agitasi propaganda PKI Jawa Barat, salah satu kepercayaan dari Ismail Bakri, orang pertama PKI Jawa Barat.  Maka setelah G30S, tokonya habis diubrak abrik  dan dibakar oleh Kami dan Kapi, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, yang kalau di RRT terkenal dengan nama Hong Wei Bing dan Hong Xiao Bing, dan Tjoa HKnya sendiri ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan selama 9 bulan lamanya. Dia datang bersama sahabat karibnya Lim Tjay Hin, yang jadi pengusaha Tekstil Adatex di Bandung. Dia banyak sekali bercerita tentang baru saja ke Paris ketemu Sobron Aidit, Ibaruri Aidit dan suaminya Budiman Sudarsono mantan Ketua Umum IPPI di Jakarta. Katanya mereka ramai2 buka Restoran Indonesia di Paris dan laku sekali restorannya, bisa menghidupi beberapa kaum eksil Indonesia di Perancis yang jumlahnya memang tidak banyak seperti di Holland dan Jerman.

Ketika di RRT, saya pernah diberitahu bahwa Tjoa Heng Kie kader menengah PKI di Jawa Barat yang akrab hubungannya dengan Sekretaris I Comite Daerah Besar PKI Jawa Barat Ismail Bakri, telah berkhianat dan menjual banyak anggota PKI yang dia kenal.  Tapi cerita ini saya peroleh dari grupnya DN Aidit, yaitu Mohamad Zaelani, ketua fraksi PKI di MPRS yg menjadi kepercayaannya DN Aidit,  yang sejak di Indonesia sudah berbeda pendapat dengan grup Bandung yg dipimpin oleh Ismail Bakri.  Di RRT pengikut DN Aidit dengan pengikut Ismail Bakri bermusuhan dan masing2 membentuk kelompoknya sendiri, dan informasi ini diperoleh melalui PKT yang mungkin mneima info ini dari Hoakiao di Bandung yang pulang ke RRT setelah G30S. Jadi saya kurang begitu percaya informasi ini.

Kedatangannya kali ini ke Hong Kong memang khusus untuk bertemu dengan saya, untuk memberitahu bahwa teman2 di Bandung prihatin terhadap penghidupan saya serba susah di Hongkong, mereka mengutus Tjoa HK untuk mengajak saya kembali ke Indonesia, dan ada kemungkinan akan berhasil menjadi menjadi pengusaha di sana, mula2 tentu bekerja dulu, lama2 punya modal jadi pengusaha seperti kebanyakan teman2 kita di Bandung sekarang kata Tjoa HK.

Dia bilang saya tidak punya rumah tinggal sendiri, cuma menyewa flat apartmen orang lain dan tinggal serumah bersama dengan orang lain lagi.  Murid piano saya juga cuma belasan jumlahnya, terlalu sedikit katanya lagi.

“Pulanglah ke Indonesia, di sana perspektif buat kau luas sekali, pasti penghidupannya lebih baik dari sini, kalau mau bekerja  saya Tjoa Heng Kie siap menampung kamu bekerja di pabriknya.”
“Berapa gaji saya sebulan?
Tanya saya,
Paling sedikit kau akan saya beri setengah juta Rupiah, penghidupanmu pasti lebih bagus ketimbang di Hongkong ini.”  Wah menarik juga tawaran Tjoa HK ini.

Tapi saya masih ingat kepada pendapat ayah saya 3 tahun yang lampau, yang menyarankan jangan pulang ke Indonesia dulu, masih belum aman. Maka saya bilang kepada Tjoa, asal ayah saya setuju saya bersedia menerima tawaran dia itu, pergilah ke rumah saya di Tamansari I, minta pendapat ayah saya dulu.


(4) Canada – USA – Hongkong – Jakarta-Jayapura


Medio 1983, saya mendapat berita bahwa adik saya Thio Keng Hong akan pulang ke Indonesia lewat Hong Kong.  Tahun 1974 dia sekolah di Canada, kemudian menulis surat ke RRT, dengan demikian hubungan saya dengan keluarga di Indonesia nyambung lagi (baca:《SUKA DUKA DI RRT 1965-1977》 Seri Ke- 11) belakangan dia pindah ke USA, mula2 di Hawai, kemudian pindah lagi ke Los Angeles, kemudian menikah dengan gadis kelahiran Mexico, Carmen namanya.

Atas bujukan adik saya Thio Keng Son, akhirnya mereka berdua suami isteri memutuskan pulang ke Indonesia , membantu adik saya Keng Houw dan Keng Hin yang sedang berusaha di Jayapura (Irian Jaya.).

Dalam perjalanan ke Jakarta, mereka memutuskan lewat Hong Kong karena sudah 18 tahun lamanya tidak jumpa dengan kodenya.

Kepada Keng Hong saya ceritakan bahwa baru2 ini saya kedatangan teman lama saya Tjoa Heng Kie dari Bandung, yang membujuk agar saya pulang ke Indonesia. Berusaha di Indonesia yang lebih baik perspektifnya. Tjoa banyak cerita dia dan teman2 PPI banyak yang sukses dalam bisnis, pokoknya sudah lain ketimbang jaman PPI dulu.

Saya minta tolong agar Keng Hong tanya dulu kepada ayah saya, apakah sekarang sudah aman. Sebab tahun 1979 ayah saya pernah bilang untuk sementara tinggal di Hong Kong dulu, sebab yang dulu sudah ditangkap dan masuk penjara sudah dilepas semua, tapi yang belum ditangkap masih ada kemungkinan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.

Keng Hong dan isteri tinggal di flat apartmen kami di Hung Hom selama seminggu lamanya, kami berdua mengajak dia makan2 dan jalan2 di Hongkong.  Setelah itu dia melanjutkan perjalanannya ke Jakarta.

Tak lama kemudian datang surat dari ayah saya yang menceritakan ketika hari ulang tahun beliau, Tjoa Heng Kie datang dari Bandung, khusus menceritakan rencana dia dan teman2 PPI untuk mengajak saya pulang ke Indonesia. Mengenai ongkos2nya dia dan teman2 PPI yang menanggungnya, kemudian akan mengatur pekerjaan untuk saya di Indonesia, mau bekerja di pabriknya atau dimana saja menurut keputusan saya sendiri.

Ayah saya menulis semua anggota keluarga di Tamansari merasa gembira sekali mendengar cerita Tjoa Heng Kie yang muluk2 itu, mendambakan saya dan isteri bisa kembali lagi ke kampung halaman Indonesia yang sudah ditinggalkan selama 18 tahun lamanya.

Membaca surat ayah saya ini, saya mendapat feeling, tentunya sekarang sudah aman, nama saya sudah dicoret dari black list rezim Suharto. Maka saya interlokal Tjoa Heng Kie dan saya nyatakan bersedia pulang menurut pengaturan dia dan teman2 PPI lainnya.


(5) Renegad PKI ternyata penipu, pemeras
dan perampok


Tak lama kemudian, datanglah seorang laki2 bernama Akin Wijaya, utusan dari Tjoa Heng Kie, yang kata dia ditugaskan oleh Tjoa untuk mengurus kepulangan saya dan isteri ke Indonesia.  Setelah memeriksa surat penduduk kami berdua, Akin Widjaya bilang: Wah, Ko Keng Bouw belum bisa berangkat sekarang, karena belum jadi penduduk tetap Hong Kong, tapi isteri ko Keng Bouw bisa berangkat sekarang dengan menggunakan Kartu penduduk Hongkong lewat Thailand dan Singapura, kemudian masuk ke Indonesia. Ko Keng Bouw harus bikin paspor Taiwan dulu, menyusul kemudian. “

Karena terlalu kegirangan bisa pulang ke Indonesia lagi, saya menjadi kurang waspada, maka pada tanggal 30 November 1983  isteri saya diberangkatkan duluan, saya akan menyusul setelah paspor Taiwan selesai dibikin oleh teman Akin Wijaya  yang ada di Hongkong.

Setelah isteri saya berangkat, mulailah saya menjual piano Baldwyn kepada Toko Piano dengan harga murah, kemudian mem-bagi2kan perabotan rumahtangga, seperti kulkas dll kepada Tjong Ka Wong, juru ramal, dan paman Ouw Yan Wim di Yuen Long.

Flat apartment di Hunghom dikembalikan kepada pemiliknya, kemudian saya pindah ke rumah Theresa Sih yang kebetulan baru pindah rumah, tapi rumahnya sudah kosong masih boleh didiami selama 2 minggu lamanya. Tunggu2 punya tunggu, masih belum ada berita panggilan dari Bandung. Akhirnya saya pindah lagi ke rumah famili lain, encek Ho Kwie Len, dan  tinggal di situ selama 1 minggu, masih belum juga  ada panggilan untuk ke Indonesia. Terpaksa pindah lagi ke rumah Paman satu lagi Ouw Yan Wim di Yuen Long.  Masih tetap belum ada panggilan.

Alangkah terkejutnya saya, tiba2 dapat interlokal dari Thio Keng Lian adik wanita saya di Jakarta, yang menceritakan bahwa Tan Lok Liang, mantan wakil ketua PPI Bandung, datang dari Semarang ke Tamansari. Tan Lok Liang bilang bahwa dia didatangi oleh Tjoa Heng Kie untuk ditarik uang sumbangan untuk ongkos mendatangkan saya ke Bandung. Tan Lok Liang tidak setuju keputusan Tjoa Heng Kie yang  belum pernah dirundingkan dengan teman2 lama PPI, ternyata Tjoa Heng Kie berdusta, bahwa kepulangan saya ke Indonesia adalah atas permintaan banyak teman PPI, padahal cuma inisiatif dia sendiri tanpa berunding dengan seorangpun dari teman2 lama PPI. Tan Lok Liang bilang dewasa ini, masih belum ada jaminan keamanan jika saya pulang ke Indonesia ,  sebaiknya isteri saya yang sudah berada di Bandung dikembalikan ke Hong Kong lagi. Karena tidak baik suami isteri berpisah untuk waktu yang tidak dapat diperhitungkan berapa lamanya.

Kemudian adik saya Keng Lian juga menceritakan bahwa Tjoa Heng Kie bohong mau menanggung ongkos2 ke Indonesia, dia sekarang minta agar keluarga di Tamansari dan Bogor (Thio Keng Son) memberikan uang sumbangan, karena menurut Lim Tjoen Liat yang juga dimintai uang sumbangan berkata, menurut cenglinya, keluarga saya di Jakarta dan Bogor juga harus ikut andil menanggung ongkos2nya.

Betul2 bagaikan halilintar di siang hari bolong, sungguh tak disangka Tjoa Heng Kie berdusta untuk suatu maksud yang tersembunyi. Saya menjadi teringat kembali pada informasi yang saya terima dari Mohamad Zaelani yang sumbernya dari kawan2 Tiongkok pada 1967 di RRT, bahwa Tjoa Heng Kie telah ditangkap dan berkhianat, menjual teman2nya kepada orde baru  Ketika itu saya sama sekali tidak percaya informasi ini. Kemudian pada tahun 1982, Lim Tjoen Liat dan isteri Wong Kim Lie datang ke Hong Kong, mereka berdua bersahabat karib dengan Tjoa Heng Kie, tapi tidak pernah menceritakan pengkhianatan Tjoa ini. Juga Yo Bin Kwan yang datang dari Berlin sebelum Tjoa datang ke Hong Kong, tak pernah menceritakan soal pengkhianatan Tjoa ini. Atau mungkin mereka juga tidak tahu soal Heng Kie sudah jadi renegad PKI.

Setelah mendapat saran dari Tan Lok Liang ini, saya memutuskan untuk membatalkan rencana pulang ke Indonesia, segera menulis surat kepada Tjoa Heng Kie agar isteri saya dikembalikan ke Hong Kong.


【第七集結束】

【請續看下一集】









SUKA DUKA DI HONGKONG. (1984)-Revisi

(Seri ke-8)

Penulis : Thio Keng Bou (張慶茂)
(Feb. 2015)


(1) Bantuan dari empat penjuru berdatangan


Selama 3 bulan lebih saya ber-pindah2 tempat tinggal, ini sangat menyulitkan buat saya mengajar piano, menarik murid belajar piano ke rumah saya. Maka akhirnya saya putuskan untuk mencari sebuah kamar untuk mengajar piano sekaligus untuk tempat tinggal sementara, yang harganya murah dan terjangkau oleh daya beli saya ketika itu.

Dari Sim Liang Tje di Jakarta, Kwee Sian Haow di Semarang, Tan Lok Liang di Temanggung saya mendapat pinjaman sebesar 6000 HKD (masing2 2000), kemudian dari Bambang Sitepu di Swedia dan Suparna Sasteradiredja di Holland dan Sukrisna di Jerman Barat saya mendapat uang pinjaman masing2 1000 HKD, total 3000 HKD. Adik2 saya di Jakarta juga mengirim uang sebesar 6000 HKD untuk  keperluan darurat saya ini.

Uang ini adalah untuk bayar uang muka sewa kamar untuk 3 bulan sekaligus (peraturan Hongkong), kemudian untuk beli piano baru lagi dan perabotan rumahtangga yg sederhana. Kulkas yg saya berikan kepada Tjong Ka Wong saya minta kembali, juga electronic keyboard dan AC yg saya berikan kepada engku Yan Wim saya minta kembali, jadi tak usah beli baru lagi.

Cari punya cari akhirnya dapat sebuah kamar di Lay Yin Mansion jalan Tak Hing Street no.9, Tsim Sha Tsui, letaknya di lantai satu ada jendela menghadap gardu piket sekuriti, dan setiap siang dan malam selalu banyak dilalui oleh penghuni yang bermukim di lantai atas. Sekaligus saya harus bayar 4500 HKD ketika masuk ke situ.

Tak lama kemudian, datangalh Wong Kiem Lie dari Bandung, dia membawa uang sumbangan 5000 HK$ dari Tjun Liat dan Souw Keng Hok dari Singapura, untuk saya membeli lagi perabotan rumah tangga dan ongkos hidup sementara belum dapat banyak murid.  Dia bilang masih sedang diusahakan agar isteri saya bisa kembali ke Hongkong. Dia bilang, Tjoa Heng Kie tidak pernah berunding dengan siapapun, termasuk isterinya Tan Hwie Lan baru tahu soal ini setelah isteri ko Keng Bouw datang ke Bandung.

“Kamipun sudah bohwat kepada ko Heng Kie”, kata Kim Lie lagi, “dia sering buka chek kosong, dan kalau sudah kepepet tengah malam juga datang ke rumah saya untuk pinjam uang, tapi belum pernah dibayar kembali semua hutang2nya itu. Kalau tidak dikasih duit , sampai jam 3 pagipun dia suami isteri tidak mau pulang, terus menunggu sampai dikasih duit.” Demikian Wong Kim Lie menceritakan kepada saya di Tai Koo Sing, rumah kokonya Lim Tjoen Liat.

Saya sesalkan, kenapa waktu Tjoen Liat dan Kim Lie datang pada 1982 tidak menceritakan semua ini, sehingga saya tertipu oleh Tjoa Heng Kie, sehingga isteri saya jadi korban.

Ya, kamipun tidak sangka Tjoa HK yang sering menipu orang di Bandung, sampai berani menipu ko Keng Bouw juga.

Mulailah saya menempel iklan di jalan2 raya yang strategis, mencari murid baru, disamping menarik murid lama yang masih belum mencari guru baru, atau mau kembali belajar kepada saya. Saya beli piano Yamaha baru lagi seharga 12 ribu HKD.

Uang yang saya pinjam dari sahabat karib di atas, ada dua orang yang tidak mau dibayar, yaitu dari Bambang Sitepu dan Sukrisna, anak Surabaya dan Den Pasar. Dari Suparna dalam tempo sebulan saya bayar lunas, dengan pinjam uang dari Gouw Tjeng San, karena  uang Suparna itu diapun boleh pinjam dari keponakan yang sedang butuh uang juga, Suparna sendiri hidup di Holland dari uang tunjangan social yang serba minim. Uang pinjaman kepada Gouw Tjeng San saya bayar lunas melalui pinjam kepada Yo Seng Kim, kemudian setelah isteri saya datang dan bekerja lagi di pabrik, uang pinjaman kepada Yo Seng Kim dibayar lunas pula.Kemudian dari uang pinjaman Sim Liang Tje, Kwee Sian Haow, Tan Lok Liang, 6 tahun kemudian, setelah saya berhasil beli flat apartment di Ma On Shan, ketika mereka jalan2 ke Hong Kong, semuanya dibayar lunas. Ketika itu murid saya sudah ada 50 orang lebih, sudah bisa jalan2 ke Thailand, Singapura dan Malaysia. Masak kagak bisa bayar hutang. Ketika mereka bertiga menolak untuk dilunasi uang pinjaman saya itu.


(2) 8 Bulan bekerja tanpa upah satu sen


Mengurus perjalanan ke Bandung berlangsung dengan cepat sekali, cuma 3 hari lamanya, tapi mengurus kembali ke Hongkong lama sekali, akhirnya setelah isteri saya tinggal jadi sandera Tjoa Heng Kie selama 8 bulan barulah berhasil pulang ke  Hong Kong.

Memang ternyata ada rencana jahat dari Tjoa, dengan sengaja isteri saya ditahan di Bandung, dijadikan sapi perahan,
Bekerja di pabriknya tanpa upah satu sen pun, makan bersama babunya, dan sering diberi makanan sisa atau kuwe2 sisa, sakitpun harus berobat sendiri, dengan uang yang tidak banyak dibawa dari Hong Kong..

Tjoa sengaja berbuat demikian agar saya nekad menyusul ke Bandung, dengan demikian dia memiliki dua ekor sapi perahan yang boleh diperbuat sesuka hatinya.

Sayapun tetap bertahan tidak nekad ke Indonesia, sebab menurut ciamsi Toa Pe Kong Wong Tay Sin yang terkenal manjurnya di Hong Kong, jika saya pulang ke Bandung, saya akan mengalami nasib seperti Han Sin dibunuh oleh Lauw Pang waktu kerajaan Han di Tiongkok. Saya harus berbuat seperti Thio Liang, yang menyingkir jauh2 dari Lauw Pang untuk keselamatan dirinya. Itulah menurut ramalan Wong Tay Sin yang saya terima.

Adik saya Keng Son sudah menyerahkan uang sumbangan 1 juta Rupiah, uang itu dikantongi oleh Tjoa Heng Kie,  tapi tetap isteri saya ditahan dengan alasan macam2. yang belakangan setelah Yo Eng Bun datang ke Hong Kong dan menceritakan duduk perkaranya, ternyataTjoa Heng Kie sengaja menahan isteri saya, agar saya nekad pulang ke Indonesia.

Isteri saya setelah ditahan 7 bulan lamanya dan hidup serba melarat dan ketakutan karena jadi penduduk gelap Bandung, Akhirnya menjadi nekad dan mengancam Tjoa Heng Kie, kalau dia tidak dikembalikan ke Hongkong, dia akan pergi ke kantor polisi untuk melaporkan bahwa Tjoa Heng Kie merencanakan mendatangkan Sobron Aidit (adik ketua PKI DN Aidit) dan Budiman Sudarsono (mantan ketua Umum IPPI Pusat) dari Paris ke Indonesia  Sebab dia sudah tidak tahan lagi hidup menderita di Bandung, disembunyikan dan tidak diketemukan dengan puluhan teman2 PPI saya yang masih ada di Bandung. Selama 8 bulan di Bandung, isteri saya cuma ditemukan dengan Lim Tjoen Liat dan Wong Kim Lie saja yang sangat dipercaya oleh Tjoa Heng Kie, sedangkan teman2 lainnya tidak ada yang diberitahu..

Mendengar ancaman isteri saya ini, Tjoa jadi ketakutan, maka dia interlokal saya, minta uang tebusan 20 ribu HKD, dikirim ke rekening bank isterinya, baru isteri saya dikembalikan ke Hong Kong.

Terpaksa saya keluarkan semua tabungan isteri saya, yang dikumpulkan dengan kerja lembur selama 12 jam sehari di pabrik, agar isteri saya  dikembalikan ke Hongkong, kemudian 20 ribu HKD dikirim ke Bandung, barulah Yo Eng Bun dimintai mengurus kepulangan isteri saya ke Hongkong. Kata Eng Bun, untuk bikin kartu penduduk dan paspor cuma habis 1200 HKD saja, lain2nya untuk tiket plane ke Hongkong,  bayangkan si jahanam Tjoa Heng Kie, sampai saat terakhir masih merampok uang simpanan isteri saya yang ditabung dengan susah payah selama 11 tahun bekerja di pabrik. Isteri saya sperti orang yang dirampok habis2an hartanya dan dikerjapaksakan selama 7 bulan lebih di Bandung.

Dari situ baru ketahuan kebohongan Tjoa Heng Kie yang selalu bilang sulit membikin kartu penduduk Bandung, sehingga isteri saya selama itu jadi orang gelap yang hidup serba ketakutan dirazzia polisi. Mengurus kartu penduduk dan paspor gampangnya bukan main asal ada uang yang diserahkan kepada Yo Eng Bun yang sudah berpengalaman mengurus surat2 aspal(asli tapi palsu) itu.

Sebelum meninggalkan kota Bandung, Tjoa dan isterinya masih tidak tahu malu menyuruh isteri saya menandatangani Surat Hutang, ongkos tidur dan makan selama 8 bulan di Bandung. Betul2 kurang ajar Tjoa Heng Kie dan isterinya Tan Hwie Lan , orang sudah bekerja 8 bulan sudah tidak menerima upah satu senpun masih ditagih mesti bayar uang kamar dan ongkos makan bersama babunya. Makan nasi sama sayur asam kacang merah melulu setiap harinya.

Supaya segera dilepas pulang ke Hong Kong, isteri saya tanpa banyak cingcong segera tandatangani Surat Hutang itu, dia tidak ambil pusing lagi berapa angka yang ditulis dalam surat hutang itu. toh kelak tidak akan dibayar sama sekali.

Sebelum meninggalkan kota Bandung, atas nasihat seorang pegawai, isteri saya pergi sembahyang ke Klenteng, di klenteng dia mendapat Peng An Hu dari Hwee Sio, agar selamat dan tidak kurang suatu apa selama di perjalanan.. Dia tiba kembali dengan selamat di Hongkong pada tanggal 30 Juli 1984.

Setelah isteri saya tiba di Hongkong, ia menceritakan semua kejahatan Tjoa Heng Kie, dan saya segera menulis surat kepada semua teman2 saya di Indonesia, untuk menceritakan kejahatan di jahanam Tjoa HK ini, ada seorang teman saya yang namanya Wei Yung Kuang sampai naik darah, mau dihajar habis2an si Tjoa ini, saya bilang saya percaya kepada Hukum Kharma, kejahatan Tjoa HK pasti akan dibalas, dia akan bangkrut dan menderita sakit macama yang tak bisa disembuhkan.



(3) Jatuh dan bangun kembali lebih hebat


Di Lay Yin Mansion Tsim Sha Tsui, kami berdua tinggal selama 4 setengah tahun lamanya, untuk sementara  ber-hemat2 dulu, menabung uang untuk bayar hutang dan untuk kelak membeli flat apartmen sendiri.

Isteri saya bekerja di pabrik lagi di Hunghom yang letaknya setengah jam naik bis umum, dan saya sendiri mengajar piano dan organ di rumah.

Dengan cepat kami sudah bangun kembali, dan pelan2 bisa menabung uang.

Disini, kami pernah menerima tamu dari luar negeri, seperti Bambang Sitepu dan adiknya Fajar Sitepu dari Swedia, Teman2 PPI Bandung dan Jakarta yang kebetulan jalan2 ke Hong Kong, juga famili2 dari Indonesia yg kebetulan jalan2 ke Hong Kong. Mereka semuanya melihat kami hidup dengan sederhana di semuah kamar ukuran 9 meter pesegi, setiap hari makan sayur yang serba dikukus atau direbus, karena tidak ada syarat untuk menumis dan menggoreng. Setiap sore pulang kerja, isteri saya membawa sayur2an segar dari Hunghom yg harganya jauh lebih murah ketimbang di Tsm Sha Tsui.

Murid2 pianopun berangsur bertambah, ada beberapa yang bersekolah di sekolah Katholik, yang terdapat pelajar bulenya (orang Eropa),  dari mereka2 ini saya mulai mendapat tawaran untuk mengajar anak2 bule, yang orang tuanya bekerja sebagai pilot Cathay Pacific.  Para pilot Cathay Pacific Airlines ini semuanya bermukim di daerah Clear Water Bay (Tsing Shui Wan), dan Sai Kung, yang kebanyakan berada di pinggir laut, rumah bertingkat tiga, yang harganya sangat mahal, kebanyakan didiami oleh kalangan menengah atas Hongkong.  Ya sewa rumahnya juga mahal, sekitar 50 ribu Hongkong Dollar sebulan. Bandingkan dengan kamar saya di Tsim Sha Tsui yang sewanya 1500 HKD sebulan 30 kali lipat!

Ternyata anak2 bule ini terdiri dari ber-macam2 kebangsaannya, bukan cuma bangsa Inggeris saja, ada bangsa Australia, Selandia Baru, Korea, Italia, Jerman, Swedia, Israel, Kolumbia, Canada, Perancis, Hongaria, Spanyol, Portugis, Swiss, Austria, Denmark,Amerika, itulah yang masih saya ingat kebangsaan mereka yang menjadi pilot Cathay yang anak2nya belajar piano kepada saya.Semuanya berbahasa Inggeris, jadi terpaksa saya harus mengulang lagi conversation bahasa Inggeris, agar mampu berkomunikasi dengan orang tua mereka dan anak2nya.

Ini kelebihan saya ketimbang guru2 piano anak Bazhong yang saya kenal selama ini, mereka lemah dalam bahasa Inggeris. Kemudian dari murid bule ini saya mendapat murid anak2 orang hartawan di daerah sekeliling tempat tinggal mereka, yang percaya kepada saya, yang mampu mengajar anak bule, tentu kwalitas mengajarnya lumayan.



【第八集結束】

【請續看下一集】







ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

回頂端


 
這個論壇的權限:
無法 在這個版面回復文章