公用欄目


Join the forum, it's quick and easy

公用欄目

TKB:SD di HK(26)【代貼】

向下

TKB:SD di HK(26)【代貼】 Empty TKB:SD di HK(26)【代貼】

發表  ymchen 18.04.15 23:21


【代貼】

SUKA DUKA DI HONGKONG-Revisi
(在香港的苦與樂-修訂版)






Bagian ke tiga (1998 -2007)


SUKA DUKA DI HONGKONG. (2002)-Revisi

(Seri ke-26)-1

Penulis : Thio Keng Bou (張慶茂)
(Apr. 2015)



(1) Ulang Tahun ke-57 Republik Indonesia
di Hongkong


Peristiwa penting tahun 2002 ini, yang pertama adalah undangan dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong. Yang kedua adalah Jalan2 ke Indonesia.

KJRI di Hongkong minta agar saya memberikan acara nyanyi duet bersama ibu Ida, bagian kebudayaan KJRI, pada Pesta Seni untuk memperingati Ulang Tahun ke-57 berdirinya Republik Indonesia. Pesta Seni diadakan di Gedung Olahraga Elizabeth Wan Chai Hongkong, gedung yang besar bisa muat 3000 penonton, pada tanggal 3 September 2002.

Lagu yang diminta untuk saya dan ibu Ida nyanyikan adalah lagu ciptaan saya sendiri : KAPAL PERSAHABATAN yang saya ciptakan pada tahun 1973 di Guangzhou, ketika pesiar di Sungai Mutiara.

Mula2 kata2nya dibuat oleh teman saya Surono anak pak Dasuki Siradj. Isi kata2 yang asli adalah:

Di sungai Mutiara berlayar kapal persahabatan
Laju sarat memuat rasa setiakawan
Rakyat Indonesia Tiongkok
Walau ombak melanda dating
Kapal persahabatan maju menerjang
Kekal abadilah
Setiakawan rakyat Indonesia Tiongkok
 

Lagu ini sering dinyanyikan dalam pertemuan ramah tamah antara orang Indonesia dan orang Tiongkok ketika 1973-1976. Kemudian saya nyanyikan lagi pada Malam Singing & Dancing Party di Aula Bank Of China pada tahun 2000, yang juga dihadiri oleh 30 pegawai KJRI yang dipimpin oleh Ibu Sri.

Sayang pencipta isi kata2nya setelah menciptakan lagu ini sudah berpisah dengan saya, entah kemana perginya tidak saya ketahui, belakangan muncul lagi di media internet, ternyata Surono sudah pindah ke Holland.

Setelah berkenalan dengan ibu Ida dan pak Bambang dari KJRI di Hongkong, saya pernah memberikan fotokopi lagu ini dengan kata2 yang saya ubah, ibu Ida terus memberikan kepada pak Konjen, pak Konjen menyatakan lagu ini sebaiknya dinyanyikan di dalam Pesta Seni ultah RI ke-57 oleh Ibu Ida dan saya berdua. Demikianlah kejadian sesungguhnya sampai saya tampil menyanyi yang ditonton oleh 3000 TKW  Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong.

Isi kata2 lagu tersebut saya ubah menjadi

Jauh di seberang lautan
Berlayar kapal persahabatan
Laju sarat memuat
Rasa setiakawan
Bangsa Indonesia Tionghoa
Walau badai melanda dating
Kapal persahabatan maju menerjang
Kekal abadilah
Setiakawan dan persahabatan
Dua bangsa kita
 

Sedangkan melodinya tidak mengalami perubahan sama sekali.

Iringan musiknya saya bikin sendiri dengan ONE MAN ORCHESTRA style dan direkam dalam sebuah CD, jadi kami berdua menyanyi dengan iringan musik yang keluar dari rekaman CD tersebut.

Begitu selesai menyanyi, bapak Konjen sendiri langsung naik ke pentas untuk memberikan karangan bunga kepada kami berdua, sambikl berkata:

“Bagus, bagus sekali, lagunya merdu dan isinya kuat !”.



(2) Catatan harian jalan2 ke Indonesia 2002


PULANG MUDIK (1)


Setelah 37 tahun minus 18 hari meninggalkan Indonesia, . . . . . . . . .

09 /09 / 2002  -  Tiba di Jakarta

SAYA MENINGGALKAN INDONESIA PADA 27 SEPTEMBER 1965, 37 TAHUN (MINUS 18 HARI) . KEMUDIAN, PERSISNYA PADA 09 SEPTEMBER 2002 JAM 2 SORE  tiba di Bandara Sukarno-Hatta. Dijemput oleh keluarga Atek dan En-en. (A Tek dan En-en adalah adik laki2 dari isteri saya) Dgn "Kijang" Gudang Garam langsung menuju rumah Atek di Duren Sawit, Jakarta Timur. Di rumah sudah disediakan nasi putih, sayur asam, kerupuk udang, sambel terasi dll. Sore itu juga pergi ke Jalan Pecenongan, melalui Jatinegara, Matraman, Kramat, Senen, Gunungsahari, Pintu Besi, Krekot, kemudian belok ke kiri ke Jl Pecenongan. Sungguh besar sekali perubahan sepanjang jalan yg tak asing lagi, yg telah terpisah selama 37 tahun lamanya. Jalan raya utama terasa melebar banyak, namun karena banyaknya kendaraan mobil, terasa masih sempit juga. Di Pecenongan, kami berlima (saya, istri, dan Atek sekeluarga) mampir di Rumah Makan 99. Kami pesan capcay, fuyunghai, kangkung hotplate, tumis ikan sotong dan minuman dingin. Saya pergi ke dapur yg terletak di pinggir jalan, tampak semua koki dan pembantu2nya tak satupun keturunan Tionghoa. Saya mulai ragu2, apakah mereka mampu masak dgn baik seperti 37 tahun yg lampau di Pecenongan? Setelah semua santapan dinikmati, barulah membenarkan dugaan saya itu, semua masakan jauh dari apa yg dibayangkan. Saya pikir, jika saya yg buka restoran di Pecenongan, pasti akan ber-duyun2 pecinta santapan lezad berdatangan, karena kwalitet masakan saya jauh lebih tinggi daripada mereka yg konon terbaik di Rumah Makan 99 itu. Pecenongan telah berubah, karena koki2 jempolannya sudah mati dan tak ada penerusnya. atau sudah pindah ke tempat lain?!?

Pulang ke rumah mau baca surat kabar, tapi lampu dirumah kurang terang, kecuali lampu di kamar mandi/toilet, yg tidak bisa lama2 untuk membaca, sehingga mata cepat lelah kecapean................Sudah terbiasakan dgn lampu terang benderang di HKG, terasa lampu di Jakarta masih seperti 37 tahun yg lampau..........

Malam itu kami sulit tidur, pertama-tama diserang oleh ratusan nyamuk, produksi Duren Sawit yg agak macet saluran gotnya, kemudian tempat tidur yg empuk yg tidak biasa buat kami. yg sudah puluhan tahun terbiasakan oleh kasur sabuk kelapa yg keras.

10 / 09 / 2002  - Jalan2 keliling kota Jakarta

Pukul 4 pagi sudah terjaga, akibat belum bisa menyesuaikan diri dgn ranjang empuk. Ditambah lagi dgn suara tenor yg berkumandang pakai pengeras suara. Pukul 5.30 Atek sudah bangun. Persis jam 6 pagi, kami berlima pergi ke Pintu Besi (belakang Gereja Ayam) untuk mengantar Melita (5 tahun), putri dari Atek/Lily, ke Taman Kanak2 di situ. Setelah itu, melalui Jalan Raya Tamansari, belok ke Mangga Besar, masuk ke jalan Companieweg makan Bubur Ayam yg katanya enak. Betul juga si Atek ini, buburnya masih tak berbeda seperti tahun 50-an yg sering kunikmati di Tamansari X. Sambelnya juga masih seperti itu2 juga, kemudian pakai vetsin, cakwee iris, bawang goreng, selederi dan ayam rebus yg disuwiri kecil2. Di muka warung bubur, ada penjual kuwe pancong, kue dadar , yg menjadi kedoyananku waktu kecil. Harganyapun murah sekali. Setelah sarapan, kami keliling kota, sight-seeing ke tempat2 yg dulu sering kujelajahi dgn sepeda (ketika jaman PPI Jakarta 1955-1958). Jalan Hayamwuruk, Gajahmada, Mojopahit, jalan Merdeka Utara, Timur, Selatan dan Barat, dan lain sebagainya. Kesan pertama selayang pandang adalah; jalan2 kecil tampak mengecil, karena dulu tidak begitu banyak mobil lalulalang, kini jalan kecilpun terasa agak macet, dan banyak lobang, banyak sampah berserakan di-mana2. Kalinya bau, airnya hitam pekat, banyak sampahnya. Jalan Raya Manggabesar dulunya adalah jalan OKL (orang kaya lama), rumahnya lebar dan panjang, dibelakang rumah bisa main bulutangkis. Kini tampak agak semerawut dan berubah wajah. Konon sudah jadi daerah lampu merah alias pelacuran. Penghuni lamanya sudah pada pindah ke Ancol, Pondok Indah dll daerah elite baru. Jalan2 kecil di sekitarnya terasa menyempit, karena  dulu tak begitu banyak mobil, kini banyak mobil yg diparkir di sepanjang jalan. Jalan protokol  tampak melebar banyak, tapi tetap penuh sesak dgn mobil2 pribadi. Mengapa mereka tidak mau naik bis umum? Jawaban yg kuterima adalah: Bis umum sangat tidak aman, banyak copet dan rampok bersenjata tajam. Setelah menjemput Melita, kami beli makanan mateng di seberang sekolah Melita, sayur gudek nangka, laksa, ayam kalasan, tempe dan tahu bacem, soto ayam, tauge goreng lengkap dgn sambel2nya. Kemudian dibawa pulang ke Duren Sawit, diganyang bersama nasi pulen panas2. Sedaaaaaappppp......Baru betul2 menikmati makanan lezad di kampung halaman.

Sore pukul 5 berangkat lagi menjemput mertua Atek, yg kebetulan juga sekolah Tionghoa ketika kecilnya, kami ngobrol uplek meskipun baru pertama kali jumpa, pakai bahasa Mandarin campur Betawi. Setelah itu ramai2 pergi ke jalan  Ketapang, untuk makan malam bersama dgn keluarga En-en yg khusus datang dari Tangerang. Rencana makan di Restoran Yit Lok Yun (masakan Canton) gagal, karena  entah kenapa restorannya sudah tutup, terpaksa pindah ke restoran Angke (masakan Keh)  yg katanya lumayan juga rasanya. Malam itu restoran penuh sesak, karena pelanggan Yit Lok Yun semuanya terpaksa meluruk kesitu. Tapi sangat mengecewakan sang lidah HKG yg cerewet, masakannya termasuk kwalitet kelas 3 (kambing!). yg membikin mendongkol adalah harganya yg keliwatan mahalnya, satu juta seratus ribu Rupiah ! Lebih  mahal daripada makan di restoran serupa di Hong Kong ! Hanya untuk makan malam dua meja yg  terdiri dari 16 orang. Kami bersumpah tidak akan mampir lagi di restoran semacam ini,  sudah enggak enak, ngegetoknya tidak tanggung2 ! Sehabis makan kami pergi ke Roxy  untuk beli kartu Mentari yg sangat kubutuhkan untuk kontak langsung dgn teman2 lama  di Jakarta dan Bandung. Roxy adalah bursa handphone terbesar di Jakarta.

11 / 09 / 2002  -  Ke Villa Yao Zhi Kun di Sindanglaya

Sehabis sarapan roti dirumah, kami bertiga (saya,istri dan Atek) pergi ke rumah Yao Zhi Kun di Ancol. Zhi Kun adalah tetangga saya waktu SMP/SMA, juga teman sekelas selama 5 tahun lamanya. Dulu saya sering bermain ke  rumahnya, khusus untuk menikmati piringan hitam lagu2 klasik Barat, karya Mozart, Chopin, dlsb. . Kalau menurut ukuran anak Pa Tsung, Ia tergolong cukong besar. Memang, rumahnya besar sekali, di ruang tamunya ada dua grand piano Steinway untuk  Concert. Memang isterinya adalah lulusan Sekolah Musik di Jogjakarta, tapi yg  terpenting, kantongnya tebal sekali, dua piano yg harganya sama dengan 1 milyar Rupiah dianggap sebagai barang mainan saja. Atas permintaan saya, juga hadir Budi Santoso (juga  teman sekelas saya dulu ketika di Pa Tsung). Setelah ngobrol2 sebentar, Zhi Kun dan isteri  mengundang kami makan siang di Coffee Bar Horizon Hotel dekat rumahnya. Rasanya sih  biasa2 saja, maklum kwalitet hotel memang cuma sebegitu doang, tapi lokasinya lumayan, persis di tepi pantai. Sehabis makan, dgn Mercedes yg dikemudikan sendiri, ZK mengajak kami ke Villanya di Cimacan (dekat Cipanas). Kami berempat ngobrol ke  Barat ke Timur di sepanjang jalan tol Jagorawi yg terkenal itu. Setelah lewat Ciawi,  mulai tampak di kedua tepi jalan pedagang ubi panggang dan jagung bakar yg luar biasa banyaknya, juga banyak warung2 Padang, warung nasi Sunda dgn pecel lelenya yg tersohor (tapi saya sih terus terang saja, belum berani makan ikan lele, meskipun dibilang lezad  kayak apapun). Jalan menuju Puncak sudah tampak besar perubahannya, karena ramainya pedagang2  kecil di sepanjang jalan itu. Sorenya sudah tiba di Villanya ZK yg sangat luas  itu, l.k. 10 ribu meter pesegi, lengkap dgn kolam renang, lapangan tenis dan taman bunga  yg luas di depan dan belakang villa itu. Kami disambut oleh sekeluarga 7 orang (tua muda) yg bekerja sebagai koki, tukang kebun dan pembantu kebersihan rumah ZK, ruang tamu nya sangat besar buat ukuran Hong Kong, l.k. 200 meter pesegi. Juga  lengkap dgn sound system, 2 baby grand piano (sayang sudah vals, karena sejak 1998 sudah tak terurus), dan 2 electronic organ. Kamar tamunya cukup besar, 7 X 5 meter. Lengkap dgn bathroom/toiletnya seperti di Hotel Bintang 5. Malamnya kami makan di Cipanas, ke warung nasi sederhana di muka Hotel Sindanglaya, langganan ZK. Tidak nyana makanannya lebih enak ketimbang di restoran Angke yg lux dan mahal itu. Kami makan sop ikan gurame, fuyunghai, capcay, kodok batu, babi hong, tumis tahu dgn babi cincang , tumis kai lan delapan macam masakan yg semuanya lezad  sekali, karena yg masak adalah pemiliknya sendiri yg sudah usia 60-an dan  berpengalaman. Inilah chinese food yg pertama kami rasakan lezad di Indonesia, tauwhunya  dibeli dari Cianjur, tadinya kami kira diimpor dari HKG karena lembut, halus dan gurih. Kami  putuskan untuk makan siang di sini lagi keesokan harinya. Jam 9 malam saya sudah ketiduran dimuka TV yg bisa menerima 100 pemancar seluruh dunia, tapi badan yg letih sudah tidak bisa menikmati acara2nya yg sebetulnya sangat menarik itu.

12 / 09 / 2002 – Kembali ke Jakarta

Pagi2 sekali kami sudah bangun, juga karena belum biasa dgn kasur yg empuk,dan suara tenor yg berkumandang di udara. Kami sarapan roti Swiss dan kopi tubruk arabica. Setelah itu jalan2 disekitar villa yg sangat luas itu. Taman bunganya  kurang begitu terurus, karena 4 tahun terakhir ini mereka jarang sekali menginap di situ  (setelah peristiwa rasialis 13 Mei 1998). Setelah makan siang, kami langsung kembali ke Jakarta lagi, di tengah jalan tak lupa membeli ubi bakar buat oleh2, murah, cuma Rp. 7000,-/kg. dan manisnya seperti ditaburi madu tawon, di HKG juga ada ubi seperti ini, mahal sekali. Tiba di Ancol sekitar pukul 3 sore. Depan Taman Impian Ancol Jaya, tampak pedagang surat kabar dan majalah asongan, wah kebetulan ada yg menjual peta Jagotabek edisi 2001-2002, harga banderolnya 199 ribu Rupiah. Setelah tawar menawar 100 ribu jadilah transaksi itu. Kenapa gitu murah, separo harga di toko buku. "Ini barang Spanyol" nyeletuk Atek. Kukira made in Spain, ternyata Spanyol adalah singkatan Sparo Nyolong, artinya buku curian yg banyak terdapat di mana2 di Jakarta. Dasar barang haram, setiba di Hongkong tgl 24 Sept, baru kuketahui buku peta ini hilang tanpa rimba, mungkin dicuri lagi di Bandara Udara Sukarno Hatta !

Seluruh Jakarta Padam Listerik

Sore hari itu tiba2 tidak ada aliran listerik, menurut radio RRI hampir seluruh Jakarta padam listerik, kecuali yg memiliki genset (pembangkit tenaga listrik sendiri)

.Atek belum membeli genset itu, terpaksa sekeluarga ngungsi ke Mal Kelapa Gading untuk makan malam dan cari hawa AC yg sejuk. Sebelum tiba di Mal KG, kami mampir di sebuah warung penjual otak2 dan pempek Palembang. Ruangan cuma diterangi oleh sinar lilin, romantis juga suasananya.

Otak2nya enak, sayang tinggal 4 buah, karena sangat laku. Tapi Pempek Palembangnya kurang enak, mungkin bukan asli orang Palembang yg mengolahnya. Tiba di Mal KG, sunggu sial, karena harus menghemat listrik, ACnya tidak dibuka , semua kepanasan mandi keringat, apa boleh buat karena ramainya pengungsi bermobil yg berdatangan dari empat penjuru.Yg lebih sial, baru pukul 9, tanpa peringatan apa2, seluruh lampu di Mal  dipadamkan, sampai2 mesti jalan merabah-rabah di tengah kegelapan menuju ke tempat parkir mobil. Perjalanan pulang melalui Jakarta yg serba gelap gulita, setiba di rumah merasakan lagi pakai lampu lilin dan tidur tanpa AC, nyamuknya tambah mengganas, ya lumayan juga deh, terkenang tempo doeloe yg tanpa AC dan kipas angin, ...............

13 / 09 / 2002 – Ke rumah Ong Lee Sin.  

Pukul 6 pagi, aku ikut Atek mengantar Melita ke Taman Kanak2  Pasar Baru. Setelah itu saya mengajaknya mampir ke Jl Kebun Jeruk XVI, rumah Ong Lee Sin, yg masih kuhafal betul letaknya. Antara 1962-1965, selama 3 setengah tahun, aku pernah menyewa kamar di rumahnya di Bandung. kami tinggal bersama selama itu, sampai 19 September 1965 aku meninggalkan Bandung menuju Jakarta, untuk mengurus paspor untuk pergi ke RRT, sebagai anggota delegasi Front Pemuda Indonesia menghadiri Perayaan 1 Oktober di Peking (Bei Jing).

Lee Sin kaget juga melihat aku tiba2 muncul di muka pintu  rumahnya. Ia mempersilahkan masuk, dan diperkenalkan dgn isteri dan putrinya. Kami disuguhi pergedel kentang dan minuman dingin. Ia bercerita ketika banjir di Jakarta awal tahun 2002 ini, air meluap dan menggenangi rumahnya sampai ketinggian batas dengkul. Hawa bau busuk sampai berapa bulan baru hilang. Lee Sin 68 tahun, sdh pensiun.

Ia berjanji akan ke Bandung, menghadiri malam re-unie nostalgia PPI Bdg tgl 18-09-2002 yad.

Saya tidak akan lupa kepada Lee Sin, karena ketika di Bandung, ia menarik uang sewa kamar separo tarif umum ketika itu, sehingga menghemat dompetku yg selalu kempes sebelum akhir bulan.

Undangan makan Wen Ling Ling dan Mey Ying

Siang itu kami mendapat undangan dari Ling Ling dan Mey Ying, dua bekas muridku ketika di Bandung dulu. Makan siang di Mal Taman Anggrek, yg katanya terbesar di Asia. Ya memang besar sekali Mal itu, juga Food Courtnya penuh dgn restoran Barat dan Timur, juga macam2 masakan Indonesia. Kami makan di sebuah  restoran chinese sukiyaki, makan rupa2 jamur dan sayur2an , rasanya. . . . . Oke deh!

Ling Ling sdh bercerai dgn suaminya 7 tahun yg lampau, 3 anak2nya ikut bersama dia, suaminya tidak memberikan harta apapun kepadanya (padahal termasuk kaya raya di Bandung). Ia kerja keras di perusahaan asuransi di Jakarta, berhasil menghidupi dan membesari anak2nya itu, 2 sudah dibelikan rumah tinggal, 1 lagi akan menyusul. Hebat juga si Ling Ling ini. Mey Ying juga menjadi pedagang yg sukses, mulutnya pintar ngomong, baru jumpa sdh menawari berbagai macam barang dagangannya, betul2 tipikal pedagang  Tionghoa.

Listerik padam lagi

Malam harinya, listerik padam lagi, Atek sekeluarga mengajak kami makan  malam di Mal Cempaka Mas yg agak dekat rumahnya. Makan soto ayam, gado2 dan otak2. Menarik pengalaman semalam, sebelum diusir, kami buru2 naik mobil pulang ke rumah, juga malam itu dilalui dgn lilin dan tanpa AC.  Menurut Atek, perlengkapan PLN sudah tua, tak punya uang untuk memperbaruhinya (korupsi?), maka masa mendatang pasti akan sering2 padam listrik, ia memutuskan akan membeli genset untuk menghadapi kegelapan yad.

14 / 09 / 2002 - Re-unie PPI Jakarta

Pagi ini mampir ke rumah Wu Lian Jin, guru sekolah Sin Hoa yg mengajar aku pada tahun 1947-1948, usianya sudah 83 tahun, tapi masih sehat dan segar. Saya sudah sering ketemu dengan beliau di Hong Kong dan Sen Zhen. Beliau tinggal bersama putri sulungnya di dekat Roxy. Saya membawakan pesanannya, obat ramuan tradisionil Tionghoa yg khusus kubeli di Sen Zhen. Setelah  ngobrol basa basi 15 menit lamanya, kami lanjutkan perjalanan menuju Muara Karang, menghadiri re-unie PPI Jakarta. Setiba di kantor ex Pa Hua, sudah menunggu Kwa Khay Twan (mantan Wk Ketua PPI Pusat 55-58), Tan Kwat Tiam (mantan Wk sekjen PPI Pusat 55-58),dan Lay Oen Koey (mantan Wk sekjen PPI Pusat 64-65), Yo Kim Houw (mantan Wk Ketua PPI Bandung 59-61) dan sejumlah aktivis PPI lainnya. seperti Lim Soey Kim, Tan Gin Nio, Elly The, Yin Li Kang, Tjong Han Chiang, Tan Bwee Lan, Tjiong Thiam Siong, Ong Lee Sin, Siu Ing dan lain2.
Pertemuan cuma berlangsung 2 jam lamanya, saya menceritakan pengalaman singkat ketika mewakili PPI Pusat menjabat anggota delegasi Front Pemuda Indonesia ke RRT pada 27 September 1965. Menghadiri bangket negara yg dihadiri oleh Mao Tje Tung, Liu Shao Tji, Chou En Lai dan Chu Teh serta Peng Chen. Pada malam itu juga, di Indonesia  terjadi peristiwa kudeta militer G30S, yg telah merobah sejarah Indonesia, juga sejarah  hidupku, selama 12 tahun jadi stateless, kemudian naturalisasi jadi WN RRT sampai hari ini. Kemudian, atas permintaan, saya menyanyikan 2 lagu ciptaan saya: Rindu dan I Love Hongkong.  Pertemuan diakhiri dgn makan nasi rames dan foto bersama. Di tempat parkir mobil bertemu dgn Budi Santoso dan istrinya, yg khusus datang karena ingin berkenalan dgn  istriku.

Pukul 2 siang saya pergi ke Kelapa Gading, untuk menengok Tan Siang Joe, salah seorang pendiri PPI di Bandung (28-10-1955), juga pendiri PPI Cabang Jakarta. TSJ sudah agak pikun, akibat stroke yg menyerang dia pada 10 tahun yg lalu. ia kini duduk diatas kereta dorong. Isterinya Anna Tjoa juga hadlir dlm pertemuan itu. Setelah 37 tahun berpisah, mereka masih ingat kepadaku, maklum pada 1955-1956-1957, selama 1 setengah tahun saya jadi fulltimer PPI Jakarta yg berkantor di Tamansari X No.13, rumah Tan Siang Joe  sendiri. Saya disuguhi pastel ayam yg sangat lezad sekali, mungkin karena saya puji2 lezadnya, ketika pamitan, telah disiapkan 20 pastel ayam yg masih hangat (baru dibeli) untuk isteri dan  keluarga istriku. Dari rumah Siang Joe, saya terus menuju Pulo Mas yg berdampingan dgn  Kelapa Gading. ke rumah Sim Liang Tje, aktivis PPI Jakarta 1955-1958. SLT kini bekerja sebagai doktergigi berpraktek di Klinik Giginyanya di Pondok Indah. Kami disuguhi cingcau  hijau yg tak mungkin diperoleh di HKG. Setelah itu SLT mengajak kami menjengukTan Tjoen Nio  di RS Kemayoran. TTN juga aktivis PPI Jakarta 1955-58. Kemudian pergi ke Taman Anggrek, Mal terbesar di Asia, untuk menikmati masakan2 Indonesia yg khas. Di lantai 5, terletak food court yg penuh dgn kiosk2 warna warni, dgn tulisan Soto Betawi, Asinan Bogor, Bakmi Ayam Kampung, Gado2 Tamansari, Nasi Rames Kenanga, Ayam Kalasan, Tauge Goreng, Sate Madura, Soto Mi, Ketoprak, Ketupat sayur, Soto babat, Rujak buah2an, Es Campur, Es Shanghai dlsb. . . . . Pokoknya makanan tempo doeloe yg begitu  melihat judulnya sudah memancing air liur. SLT membeli segepok kupon makanan/minuman, dibagikan kepada kami, agar kami menukarkan dgn makanan yg sesuai dgn selera masing2. Sehabis makan sampai susah jalan karena kekenyangan dgn gado2, asinan, ketoprak, kupat tahu dll.

15 / 09 / 2002 – Ke Cinere menjenguk Yuyu (Ouw Yoe Die)

Pagi ini kami pergi ke Cinere, rumah Yuyu (adik laki2 Mama), disana disambut oleh Yuyu dan semua anak2 serta cucu2nya. Kami disuguhi kroket, combro, soto betawi dan nasi gudek, dll. Semua kedoyananku sejak kecil. Tgl 23 Spt 1965 saya  pernah pamitan dgn pamanku ini, menjelang keberangkatan ke RRT, pada 1986, beliau dan isteri pernah menjenguk aku di Hongkong. Beliau tampak sudah tua, karena kesepian setelah isterinya meninggal  dunia beberapa tahun yg lalu. Sorenya kami pergi menjenguk Ie-ie Nolly di Cipinang Jaya.  makan malam di sana dgn hidangan sayur asam, kerupuk udang, ayam goreng, dll. Ie Noly  dan Iethio cuma berduaan saja, putrinya sdh pindah ke Singapura dan kerasan di sana  Gara2 Mei 1998, ia menjadi takut untuk tinggal di Indonesia lagi. kalau Ie Nolly sih tidak takut, karena wajahnya 90% seperti suku Jawa, tidak mirip etnis Tionghoa. Konon kakeknya menikah dgn yg disebut "pribumi asli", Ie Nolly juga sudah 2 kali ke Hong Kong menjenguk saya

16 / 09 / 2002 – Ke Bandung

Jam 10 pagi, melalui setasiun Gambir ,dgn KA Argo Gede, kami berangkat menuju Bandung. Kota kelahiran PPI, dimana saya berturut2 jadi wk Ketua dan Ketua PPI Cabang Bandung  selama 7 tahun. Di Bandung sudah dipersiapkan malam reunie yg terdiri dari para ex  aktivis PPI Bandung dan ex guru Sekolah Sin Chung dimana saya pernah bekerja sebagai guru  bahasa Indonesia pada 1959-1965. Setasiun Gambir sudah berubah sama sekali. Kereta Api meluncur di atas rel udara (jalan layang). Keretapi listrik dalam kota penuh sesak dgn penumpang, sampai ada yg duduk diatas gerbong. Kereta Api ke Bandung tidak penuh, karena bukan hari raya. Begitu KA berangkat, setiap penumpang diberikan sebuah kardus putih,  isinya ada air minum, kuwe bolu dan kertas tisue. kami memesan nasi goreng dan nasi rames, karena perjalanan akan makan waktu l.k. 4 jam. Dalam gerbong kereta api. kita bisa menyewa majalah2 atau membelinya, saya membeli majalah TEMPO terbaru untuk melewati waktu yg  membosankan di KA. Tanpa terasa KA sudah tiba di Setasiun Bandung yg kini sudah ada dua pintu keluar- nya, satu di JL Kebon Jati, satu lagi di Jl Kebon Kawung. Tak lama kemudian, datang He Yin Phing (salah seorang ex guru Sekolah Sin Chung 1965) dgn mobilnya untuk menjemput kami dan mengantar ke rumah Thoeng Khang, dimana kami rencanakan menginap selama di Bandung. Thoeng Khang dan Mei Chiao (istrinya) menyambut kami dgn makan siang yg tidak ketinggalan sayur asem, lotek sunda, tahu/tempe goreng, yg kesemuanya adalah favorit kami. Setelah ngobrol sebentar, HYP mengantar kami untuk jalan2 ke Lembang, melalui jalan2 yg tak asing buat saya, karena pernah kuliah, bekerja dan  berorganisasi selama 7 tahun di Bandung. Meskipun banyak bangunan baru, namun Bandung tidak begitu besar perubahannya seperti di Jakarta. Lembang tampak lebih banyak penjual  makanan dan buah2an- nya, Grand Hotel Lembang masih tetap seperti dulu. Pulang dari Lembang, kami mampir di supermarket untuk membeli tomat, semprotan anti nyamuk dll. Harga tomat di sini ternyata lebih murah ketimbang di Lembang. Dlm perjalanan baru kuketahui, bahwa adik HYP adalah suami si Aming (Liu Ming Fang, adik dari Liu Mei Fang), salah seorang muridku di Sin Chung dulu, setelah dikontak via handphone, si Aming mengajak kami makan malam di restoran Dunia Baru (masakan Keh), kami menyanggupi, dan malam itu A Ming, suaminya dan A Ling (Liu Ling Fang kakak A Ming, juga muridku), datang menjemput kami dan mengajak makan malam di Jl Gardujati, dekat SD  Tsing Hoa dulu.

Saya tanya kemana si A Kian (abang Aming), A Kian dan A Ling masih  tinggal di Jl Banceuy tapi tidak dagang sepatu lagi, melainkan dagang lampu2 pajangan dan alat2 listrik. Sehabis makan kami mampir di Banceuy, ketemu dgn A Kian yg sudah tinggi besar dan anak serta istrinya. Ruang tamunya sudah lebih bagus dan rapih, cuma pianonya sudah tak tampak lagi, mungkin tak ada yg belajar piano lagi di situ. Saya pernah mengajar sebagai guru privat di situ pada tahun 1961-1962, ketika itu A Ming baru berusia 10 tahun. kini  sudah tinggi besar, hampir jadi nenek usia 51 tahun ! Kakaknya Mey Fang sudah pindah ke Jl  Otista, ikut suaminya Tjong Wie. Malam itu kami bermalam di rumah Thoeng Khang yg tua tapi  besar sekali. Di pekarangan depannya bisa di parkir sekaligus 5 buah kijang. Yang menarik adalah, toiletnya ada 4 buah, jadi tidak usah berebut pakai. Memang rumah Thoeng Khang sering digunakan untuk tempat menginap teman2nya dari 4 penjuru. Dan Thoeng Khang sendiri dijuluki pak Lurah oleh teman2 PPI, sebab selalu sibuk menjadi penghubung jika ada teman2 PPI dari luar negeri atau luar kota berkunjung ke kota kembang.

17 / 09 / 2002 Berkunjung ke rumah teman dan famili
di Bandung


Jam 07 pagi kami diajak He Yin Phing dan temannya untuk olahraga jalan cepat di Jl Pajajaran, tak jauh dari rumah Thoeng Khang. Setiba di sana sudah banyak sekali orang2 yg melakukan kegiatan macam2 jenis olahraga pagi. Ada yg senam Tay Ci dgn iringan musik tradisionil Tionghoa, ada yg Senam Para2 dgn musik yg pop modern, ada yg jalan pelan, jalan cepat dan lari mengelilingi stadion olahraga. Kami ikut jalan cepat saja  selama 1/2 jam. Setelah itu mampir di kedai makanan/minuman di samping stadion, ramai sekali penjual keretadorongmakanan/minuman serta sayur mayur/buah2an di situ, banyak ragamnya sampai mata menjadi pusing, satu pemandangan yg belum pernah ada pada tahun 60-an. Bami  kuah, soto Bandung, bubur ayam, nasi kuning, otak2, pempek Palembang, kuwe basah, peuyeum singkong, dll..... Kami tak tahan untuk tidak membelinya untuk sarapan pagi. Pukul 09 kami dijemput oleh Tan Hauw Tiong untuk mampir di rumahnya,  isterinya adalah Tan Hwie Nio, yg pernah bersama saya bekerja sebagai guru sekolah Baperki Majalaya pada tahun 1959. Kini mereka berdua membuka catering makanan, mensuplai pesta2 ulang tahun. Selamatan dlsb. Nasi Tumpeng untuk pesta reunie PPI Bandung dipesan di sini juga. Di rumah THT, saya bertemu dgn adik wanita THN, yg ketika saya ketemu dulu masih berusia 4 tahun, kini sudah 47 tahun, sungguh cepat sang waktu berlalu...... THN menyuguhi kami satebabinya yg terkenal, memang lezad sekali….seperti yg sering dipropagandakan oleh THN, disamping itu. juga disuguhi ayam goreng, sayur asem, kari jengkol, dll.

Semuanya enak. Sehabis makan siang, isteriku minta pulang karena kecapean mau tidur siang. Setelah mengantar istriku, THT dan THN mengantar aku ke JL Balonggede no.8, rumah Shako Keng (kakak  wanita ayahku di Bandung. yg sudah berusia 97 tahun). Shako Keng kini sudah tak bisa berjalan. Cuma bersandar pada kursi roda. Tapi wajahnya masih segar dan sehat, suaranya masih terang, juga ingatannya. Beliau sangat gembira sekali bisa bertemu kembali dgn keponakannya yg sudah berpisah selama 37 tahun itu. Setelah itu THT dan THN mengantar aku pergi ke rumah Tjoa Hok San, anak Jiko Dri (juga kakak wanita ayahku) yg sudah pensiun di  Bandung. Rumahnya dekat Cimahi dan agak sukar dicari, untung mendapat bantuan Hok Beng yg  pernah kesitu.

Tjoa juga sudah sakit2an, akhir2 ini bahkan tidak pergi ke gereja di Bandung, hanya sembahyang di rumah saja. Usianya sudah 76. Ketika saya ke Bandung pada 1958, saya pernah tinggal satu kosthuis di JL Embong no.15. Tinggal di sebuah kamar ukuran 2 X 2 X 2 meter, yg persis kaya kandang ayam negeri. Ya pemiliknya dulunya memang piara ayam negeri, kemudian mengobah kandang ayam menjadi kamar2 ukuran mini untuk para mahasiswa yg mulai banyak berdatangan ke Bandung ketika itu. Saya minta maaf kepada Tjoa,  karena tidak menghadiri pesta pernikahannya pada 1965, kini istrinya sudah meninggal  dunia (belum sempat saya juma sama sekali), anak2nya sudah 6 orang dan cucu2nya sudah banyak sekali. Kembali dari rumah Tjoa, di rumah Thoeng Khang sudah ditunggu oleh Tjhin Wie Ying, salah seorang guru Sin Chung dimana aku menjadi guru pd 60-an di Bdg. Tjhin Wie Ying selama ini sulit dicari oleh teman2 Sin Chung, baru muncul ketika  mendengar aku tiba di Bandung. Belakangan baru kuketahui riwayatnya, karena pada 1963 ia menikah dgn salah seorang muridnya di Sin Chung, banyak orang yg menertawakannya, sehingga ia kurang suka bergaul dgn teman2 di Sin Chung lagi. Kini penghidupannya sudah jauh lebih baik; ketimbang tahun 60-an, berkat suksesnya di bidang bisnis pakaian jadi. Ia berjanji akan mengantar kami ke Kelenteng Kwan Ti keesokan harinya. Malam ini kami istirahat di rumah, karena kecapean selama seminggu ini.

18 / 09 / 2002 – Bayar kaul di Klenteng Kwan Ti

Pagi2 Tjhin Wie Ying sudah datang menjemput dgn mobil kijangnya, langsung diantar ke Jalan Klenteng, untuk sembahyang bayar kaul istriku, yg pada 1984 pernah sembahyang di situ. Klenteng Kwan Ti ini sudah 100 tahun usianya, sangat tersohor di seluruh Bandung.   Di Klenteng Kwan Ti, saya bertemu dgn Wei Yung Kuang,  yang dulu pernah sama2 belajar piano kepada Meneer Becalel, jadi termasuk suheng saya.

Tahun 1984 ketika 8 bulan jadi sandera Tjoa Heng Kie, istriku pernah sembahyang mohon bisa kembali ke HKG dgn selamat. Kali ini untuk pertama kalinya istriku  kembali ke Bdg, sudah dipilih hari dan jamnya yg baik, kami khusus datang ke situ untuk bayar kaul. Berterima kasih kepada dewa Kwan Ti.

Tjoa Heng Kie (mantan WK ketua PPI Bandung 1959-1961) yg meninggal dunia pada 8 tahun yg lalu, pada 1965 pernah menipu dan membawa kabur Rp. 60 juta harta kekayaan PPI Cabang Bandung, yg diperoleh dari sumbangan2 untuk memperluas SMA MUSYAWARAH yg didirikan oleh PPI Cabang Bandung, Merampok ketika terjadi kebakaran itulah yg diperbuat oleh Tjoa Heng Kie pada 1965. Sayang hal ini baru kuketahui pada tahun 1986, dua tahun setelah ditipu habis2an oleh THK, sampai jatuh miskin dan hutang pinjam kanan dan kiri. THK terkenal tukang buka cek kosong di Bandung, jika ada pesta kawin, tak ada yg gubris dia, sungguh tragis nasibnya, akhirnya menderita penyakit jantung dan kanker yg berat, mati pada usia 59 tahun. Hukum Kharma ! Lim Tjoen Liat dan Wong Kim Li pada 1980 pernah ke Hongkong, tapi sedikitpun mereka berdua tidak menceritakan kebusukan Tjoa Heng Kie ini.

Mampir di rumah Tjhin Wie Yin dan Lin Siu Phin

Seusai sembahyang, Tjhin WY mengajak kami meninjau rumah kediamannya di Kompleks Perumahan Batu Nunggal. Rumahnya sangat besar, juga kompleksnya termasuk agak elit dan rapih di Bandung. Pertanda ia mencapai sukses dibidang usaha garmentnya selama 30 tahun lebih, kini hidup sebagai pensiunan. Sehabis minum es alpuket di Club House Kompleks Perumahan Batu Nunggal. Tjhin WY mengantar kami kembali ke rumah Thoeng Khang. Di rumah Thoeng Khang sudah menunggu 4 orang. Ong Lee Sin dan Tjoe Peng Hin(mantan Wakil Sekretaris  PPI Bandung 1964-1965) yg baru tiba dari Jakarta, serta Lin Siu Phin[/color] dan suaminya

OLS dan TPH  adalah mantan sekretaris PPI Bdg, ketika aku jadi ketuanya. Khusus datang dari JKT untuk ikut serta pesta selamatan re-unie malam ini. LSP adalah muridku di Sekolah Sin Chung pada 1963-1965. Mereka khusus datang menemuiku begitu mendengar aku datang ke Bdg. Siang itu LSP dan suami mengundang kami berempat (saya, istri, OLS dan  TPH) untuk mencicipi masakan Indonesia di Warung Cepot. Kita berenam memesan gado2, sate, soto ayam, tahu dan tempe goreng, dll. Semuanya lezad, Sehabis makan diajak meninjau rumah kediaman Lin Siu Phin, yg sangat besar buat ukuran HKG. 50 X 20 meter, tingkat dua lagi! Wah, besar sekali rumah orang kaya di Bandung. Lain kali nginap di sini saja,  ajak mereka. Kami cuma tinggal berdua saja.

18 September 2002 -Re-unie PPI Bandung dan Sin Chung

Pukul 6 sore kami berangkat ke rumah The Yen Li penyanyi soprano yang sering mengisi Malam kesenian PPI Bandung. Sebelumnya, kami  mampir di rumah  Hauw Tiong untuk mengambil nasi tumpeng yg di pesan disitu. Setiba di rumah Yen Li, sudah ada 40 lebih teman2 lama PPI dan Sin Chung yg menunggu kami. Banyak yg masih saya kenali rupanya, seperti Tan A Hoo, Tan Po Tin, Tan Jie Lam, Tjee Tjeng Giok, Go Tek Siu, Lim Ye Ing, Tan Die Bing, TheYen Li dan suaminya John Kim, Kok Swie Yen, TjoeTjen Nam, KokSwie Neng ,Oey Siong Bie,  Gouw Tjin Thay, Hiu Kwet Hin, Mang Topo, Lim Mey Fang, TanTjong Wie, Wei Yung Kwang, LimHong Kiao,  ThenThoeng Fo, Hiu Li Nam, Ho Kit Moy, Yo Eng Boe, Go Giok Lan, dll tapi kebanyakan sudah lupa nama  maupun wajahnya yg sudah besar sekali perobahannya. Tan Hwie Lan (isteri Tjoa Heng Kie), Lim Tjoen Liat dan Wong Kim Li 3 orang tidak termasuk yang diundang, karena isteriku sudah tidak mau melihat wajah mereka bertiga lagi, terbayang penderitaan lahir bathin ketika tahun 1983-1984 jadi sandera Tjoa Heng Kie.

Dalam kata sambutan, saya menyatakan banyak terima kasih atas pesta re-unie ini, pertanda tali persahabatan yg dijalin sejak 1959 itu tetap terpelihara baik. Pada 18 September 1965, bertempat di gedung Baperki Tjabang Bandung, telah dilangsungkan malam gembira untuk mengantar saya, yg akan mewakili PPI Pusat pergi ke RRT atas undangan Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok, menghadiri Perayaan hari Nasional RRT 1-10-1965. Hari ini, persis 37 tahun kemudian, diadakan pesta re-unie PPI Bdg. Meskipun organisasi kita sudah dibubarkan pada 6 Oktober 1965, namun persahabatan antara kita tidak menjadi pudar karenanya.. Ong Lee Sin dan Tjoe Peng Hin juga dimintai kata sambutannya, karena pertemuan semacam ini adalah juga yg pertamakalinya buat mereka setelah 1 Oktober 1965.

Setelah itu saya dipersilahkan memotong nasi tumpeng, sesuatu yg belum pernah saya lakukan sebelumnya di luarnegeri. Maka itu agak kaku, tak tahu bagaimana cara memotongnya. Semua peserta re-unie ramai2 mengambil makanan, minuman, kuwe2 serta buah2an yg tersedia. Sehabis makan, acara dilanjutkan dgn nyanyi bersama Rayuan Pulau Kelapa, Bengawan Solo,. Sing Sing So, Keroncong Kemayoran, Perahu Laju dll.  Semua peserta memang dulunya adalah anggota Paduan Suara PPI Cabang Bandung. Saya diminta untuk mengiringinya dgn piano yg tersedia. Rumah Yen Li memang sering digunakan untuk latihan Paduan  Suara jadi sudah tersedia piano dan keyboard. Cuma sayang John Kim suaranya sudah  mundur banyak, mungkin sudah lama sekali tidak latihan atau kebanyakan merokok. Sayapun sibuk berputar-putar ngobrol dgn para peserta re-unie, begitu juga dgn Lee Sin dan Peng Hin.

Lk pk 10, pertemuan diakhiri dgn mengambil foto kenang2an. Memang suatu  malam yg sangat berkesan buat semua peserta re-unie. Saya harapkan, tahun mendatang jika Siang Hok jadi ke Indonesia saya akan menghadiri lagi pesta serupa itu, mudah2an bisa dihadiri oleh lebih banyak teman lagi yg hari ini kebetulan berhalangan datang......Mereka semua juga sdh kangen dgn Siang Hok, sebab kami berdua adalah sama2 yg membentuk PPI Cabang Bandung pada Februari 1959 yg lampau.....

19 / 09 / 2002 -  Kembali ke Jakarta.  Ke rumah pak Anton Sujata

Pagi jam 06.00 Wei Yung Kwang sdh datang menjemput kami berdua ke rumah Tek Siu, ahli pijat kenamaan di Bandung dewasa ini. Tek Siu dan Ye Ing sdh menunggu kedatangan kami. Memang hebat keahlian mijat Tek Siu ini, ketika dipijat sakitnya bukan main, tapi begitu tangannya meninggalkan tubuh kita, rasa sakitnya lenyap tanpa bekas. Dan segera urat2 yg kaku menjadi lincah kembali. Pijatnya juga cuma sebentar saja,  tidak makan tempo yg lama seperti yg pernah kualami sebelumnya. Saya berjanji akan kembali  lagi pada tgl 23 Sept, Sayang janji ini tak bisa ditepati , karena acara di Jakarta yg terlalu padat. Selesai dipijit, Wei Yung Kuang mengantar kami berdua ke setasiun kereta api Bandung. Pukul 09 pagi, kami meninggalkan Bandung dgn KA Argo Gede pula. pukul 13.00 sudah tiba di setasiun Gambir dan dijemput oleh A Tek kembali dgn Kijang Gudang Garamnya. Sesuai dgn jadwal perjalanan, siang ini sehabis makan kami pergi mencari  Pak Antonius Sujata, yg pada tahun 1987 pernah jadi Konsul Kejaksaan di KJRI HKG,  dimana saya pernah selama 3 tahun menjadi guru piano/organ anak2nya - Bonnie dan Fannie. Kantor pak Anton terletak di Blok M Kebayoran Baru, akhirnya ketemu juga. Untung sekali pak Anton ada di kantor, beliau tidak mengetahui kunjungan saya, karena sebelumnya  kami tidak punya nomer tilpon, sehingga tak dapat kontak untuk janji dulu. Meskipun demikian, pak Anton dgn ramah tamah dan gembira menyambut kedatangan kami, kita ngobrol l.k. setengah  jam di kantornya, saya tidak mau mengganggu lama2 pertemuan mendadak ini, takut mengganggu kesibukan beliau. Beliau mengundang kami berdua untuk makan malam di rumahnya, sekalian bertemu dgn ibu Anton yg sudah kukenal baik ketika di HKG (l987-l990). Pak Anton hampir saja jadi Jaksa Agung, tapi karena tidak ada kecocokan dgn mantan Presiden Habibie, beliau minta berhenti dan ambil pensiun . Malam harinya, pak Anton mengutus  supir dan mobilnya untuk menjemput kami berdua. Setiba di rumah beliau yg terletak disebelah Taman Mini, pak Anton sudah menunggu didepan pintu untuk menyambut kami. Langsung dibawa ke ruang tamu, kemudian ngobrol dgn uplek dgn ibu Anton yg sudah menunggu di situ. Setelah itu, kami diajak santap malam yg menunya merupakan kedoyanan saya, yg masih diingat betul oleh bu Anton karena saya dulu sering memesan di kantin KJRI,  yaitu nasi gudek lengkap dgn krecek kulit sapi, telur dan daging ayamnya. Sedaaaaap  sekali. Habis makan masih disuguhi buah2an dan minuman dingin es kelapa dan rumput laut. Sayang sekali, karena kedatangan kami yg sangat mendadak itu, tidak sempat beritahu kepada Bonnie dan Fannie yang malam itu sedang bertugas di kantor pekerjaannya. karena sudah ada kartu nama pak Anton, saya pikir lain kali masih ada kesempatan untuk melihat Fannie. Yg jelas, saya sudah berkenalan dgn putranya yg sangat manja kepada kakeknya itu. Pulangnya  kami diantar lagi oleh supir dan mobil pak Anton sampai ke Duren Sawit.

20 / 09 / 2002 - Ke rumah Pepep (Ouw Fen Die) dan Ie Welly

Pagi ini acaranya adalah menjenguk pamanku Pepep dan Ie Welly, adik2 ibuku. Rumahnya tak jauh dari Duren Sawit, Jl Jatinegara Timur. Pepep sudah 78  usianya dan Ie Welly sudah 80 tahun. Keduanya masih tampak sehat dan segar. Kami ngobrol  ngalor ngidul cerita selama perpisahan 37 tahun yg lampau. Tahun 1958, tahun pertama aku di Bandung, Pepep pernah menunjang aku kuliah di Parahiyangan. Tahun 1965 ketika aku ke  RRT, Pepep telah membelikan satu stel Jas seharga 600 ribu Rupiah, atau sama dengan  penghasilanku selama setahun. Tanpa bantuan ini mungkin aku satu2nya anggota Delegasi Front Pemuda Indonesia Pusat yg tidak pakai stelan jas. Ya begitulah miskinnya aku pada tahun 1965 di Bandung, sampai sepatu kulitpun tak mampu membeli, terpaksa minta sumbangan agar tidak memalukan sebagai anggota delegasi ke luarnegeri. Juga kofer pakaianpun  serta baju2 tetoronpun dari sumbangan orang tua murid dan famili2 yg merasa bangga melihat saya bisa mewakili Indonesia ke RRT. Tak lama lagi datang Ie Noly dan suaminya, kami ramai2 makan nasi uduk  yg khusus dimasak oleh Ie Welly, lengkap dgn ayam goreng, ikan teri, telur dadar,  bawang goreng dan daun kemanginya. Baru kali ini kucicipi Nasi Uduk, yg sering kulihat penjualnya di mana2 di Jakarta. Pepep juga membelikan fuyonghai dan bami goreng serta asinan sayur. Rumah Pepep cukup besar dan panjang. Di muka pintu rumahnya penuh ber-deret2 pedagang kaki lima, sampai harus minta permisi dulu agar bisa masuk dan parkir mobil.

Diundang makan oleh Lindawati dan Lin Chiu Pin

Sehabis makan siang, saya sudah dicall lagi oleh Lindawati (Wen Ling Ling) dan Lin Chiu Phin (Toutou) , adik dari Lin Siu Phin. Mereka pernah jadi murid2ku di Sin Chung dulu. Kini sudah kaya raya di Jakarta. Mereka mengajak makan sore di Mal Taman Anggrek dekat rumah Chiu Phin. Kamipun tidak sungkan2 lagi memenuhi undangan tsb. Dulu  ketika jadi guru les privat di rumahnya, akupun sering diundang makan, karena orangtuanya buka restoran Hawai di Jalan Raya Barat dekat Sekolah Sin Chung.

20 / 09 / 2002 -  Diundang makan oleh Hwang Sin Tang

Sesuai dgn jadwal perjalanan, acara pagi ini adalah Yamcha di Hai Lai Ancol.Yg mengundang adalah Hwang Sin Tang, Ketua Alumni Pa Tsung Jakarta. Yg datang, sesuai dgn permintaanku, cuma 8 orang saja yg semuanya kukenal. Memang teman2 lamaku di Pa Tsung sangat sedikit sekali. Sebaliknya teman2ku di SM Kristen Pintu Air dan  di Pa Hua jauh lebih banyak, karena 2 sekolah itu adalah basis PPI Jakarta pada 1955-1958.  Hwang dll sekali lagi mengundang aku agar datang pada peringatan ke-45 lulusnya angkatan 57 Pa Tsung, yg direncanakan pada 4 Oktober 2002 di Jakarta. Sayang aku tidak bisa memenuhi undangan tsb, karena kesibukan cari makan yg lebih penting saat2 ini buatku di HKG, Siang itu kami istirahat di rumah. Sorenya berangkat lagi ke Kelapa  Gading untuk makan malam bersama keluarga istriku di Jakarta, sekalian untuk  merayakan ulang tahun istriku yg ke-51. Santapan kali ini adalah Chinese Food. En-en, istrinya Yulie dua putranya Michael dan David juga datang dari Tangerang. Sayang adik priya satu lagi dari istriku, Afuk berhalangan datang, karena pekerjaannya yg mengikat di Surabaya.

21 / 09 / 2002 –  Menjenguk ayahku di Kelapa Gading.

Pagi ini aku diantar oleh En-en ke Kelapa Gading untuk menemui ayahku. Ayahku pada tahun 1979 pernah datang ke Hong Kong dan tinggal selama 3 bulan lamanya bersama kami berdua. Ketika itu kami betul2 sedang miskin, sampai terpaksa ayahku harus tidur di ruang tamu yg sempit, diatas ranjangplastik lipat, begitu sempitnya, sampai kaki beliau harus diletakkan di bawah piano. Ketika itu kami tinggal di flat  apartemen ukuran 40 meter pesegi, dan dihuni oleh 3 keluarga (6 orang), tambah ayahku menjadi 7 orang. Ayahku kini sdh 90 tahun usianya, masih sehat dan kuat, turun naik ke lantai 3 tanpa dibantu oleh siapapun, tangannya masih keras seperti kayu. karena latihan Yoga dalam waktu yg panjang. Kami ngobrol ke Barat ke Timur, kemudian aku main piano di  situ, cuma sayang pianonya vals karena pernah kerendam banjir besar Februari 2002 dan kurang perawatan.Hadir dalam pertemuan ini Oey Kim Ho dan isterinya. Kim Ho adalah teman mainku pada 1948-1951,  ia tinggal di Sawah Besar, letaknya jalan kaki 10 menit dari rumah kediamanku.  Meskipun usianya baru 64, tapi tampaknya seperti 80 tahun , karena Kim Ho menderita penyakit macam2, giginya sudah separoh yang ompong,  dua bulan setelah pertemuan ini, Kim Ho dikabarkan telah meninggal dunia. Juga Ang Heng Kok (64 tahun), yang dulu ketika di SD pernah sekelas dgn saya dan Kim Ho, meninggal dunia karena kanker usus,  pada waktu yang hampir bersamaan. Ang Heng Kok tahun 1954 meneruskan studi di RRT, tahun 1973 keluar ke Hong Kong. Antara 1978 s/d 2002 saya Heng Kok, Ren Hu, dan Yung Hian  sering kumpul bersama dan puterinya Wei San belajar piano kepada saya juga.

Jalan2 ke Tangerang

Pukul 12 siang, aku pamitan  karena masih banyak acara yg menanti. Dgn sedan En-En, kami pergi ke Tangerang untuk  menengok rumahnya yg baru. En En bekerja sebagai direktur perusahaan asuransi, kedudukannya cukup bagus, memiliki 4 rumah di Tangerang, satu didiami sendiri, satu ruko dikontrakkan, dan dua lagi masih kosong, masih dicari orang yg mau menyewanya. Kami keliling meninjau semua rumah2nya itu. Ia mengajak kami menginap di rumahnya, tapi kami menolak, karena atap gentingnya masih sedang diperbaiki, merupakan tabu buat istriku tinggal di rumah yg  sedang mengalami renovasi. Di rumahnya kami makan makanan yg sudah lama di-idam2kan oleh kami, yaitu Sek Ba atau Bebek Tim Tangerang. Wah betul2 seperti yg pernah kami makan waktu muda. Ada usus babi, kentang, tahu goreng , sayur asin. telor rebus, kulit babi dan sambel cukanya yg sedap. Setelah itu, kami meninjau Lippo Kawaraci Tangerang, makan lagi sate ayam, otak2, dan martabak telur India. Minumnya es Teler (sejenis es Shanghai). Wah  sedaaap betul...... Malamnya makan lagi dirumah makan Indonesia di Tangerang, dgn menu ikan  gurame goreng kering, cumi bakar, lalapan sunda, sayur asem, otak2, karedok dll. Semuanya lezad dan harga2nya cuma separo harga di Jakarta. Hari ini betul kekenyangan dgn makanan  tempo dulu. Malamnya kami dijemput oleh A Tek yg malam itu khusus datang ke Tangerang., kembali ke Duren Sawit lagi.

21 / 09 / 2002  -  Ke Ciputat menjenguk Ting Tiong Djoen dan Tan Swie Ling

Rencana ke Bandung lagi dibatalkan, karena harus pergi menengok Ting Tiong Djoen, guru bahasa Indonesia ketika aku pada tahun 1950-51 (kelas 6) di Sin Hoa Gg Toapekong. Ting Tiong Djoen tinggal di Kebon Duren Ciputat Raya yg berbatasan dgn kabupaten Bogor. Usia beliau sudah 83 tahun, dan sudah tilpon kepadaku berulang kali, agar aku datang menjenguk beliau. Kami ke rumah Ting yg besar itu , diantar oleh En-En yg khusus datang dari Tangerang. Kebetulan salah seorang temanku Tan Swie Ling tinggal 2 KM dari rumah Ting, maka ia dan istrinya  (angkatan 64 lulusan Pa Tsung), datang juga ke rumah Ting untuk bernostalgia. Rumah  Ting tidak terlalu besar tapi kebunnya luas sekali, karena beliau dulu pernah menjadi pemelihara dan pedagang bunga anggrek. Sehabis ngobrol, kami makan siang di rumah  makan langganan Tan Swie Ling, yg konon kabarnya lezad dan murah. Memang betul2 murah dan lezad. Makan berenam, dgn menu gado2, sate, ikan gurame goreng kering, sayur asem, tahu dan tempe goreng, lalapan Sunda dll cuma habis l.k. 100 ribu Rupiah. Sehabis makan, kami mengantar Ting kembali ke rumahnya, kemudian pergi meninjau rumah Tan Swie Ling, rumahnya cukup luas dan  bersih perawatannya. Cuma agak jauh dari pusat kota tempat TSL bekerja. Setiap hari  menghabiskan waktu 4 jam untuk pulang pergi ke kantornya di Pintu Besar Utara, Jakarta Kota.  Karena macetnya lalulintas Jakarta. Kalau Kwik Kian Gie adalah mantan sekjen PPI Pusat yg pertama,  maka Tan Swie Ling adalah sekjen PPI Pusat yg terakhir. Nasibnya sial, harus meringkuk dalam penjara Orba selama 13 tahun. Kami cuma sebentar saja di situ, kemudian melanjutkan perjalanan ke Bogor. Dari situ ke Bogor tidak melalui Jalan Tol Jagorawi, melainkan melalui Parung. Lama perjalanan l.k. 1 jam lamanya. Di Bogor kami mengelilingi Kebun Raya, karena tidak  sempat mampir lagi, kemudian beli oleh2 berupa asinan Bogor yg terkenal, juga buah  kedondong . Kemudian pulang kembali ke Duren Sawit via Jalan Tol Jagorawi yg agak sepi karena hari  Senin. Sebaliknya mobil2 dari arah Jakarta ke Bogor sangat banyak dan macet seperti biasa, karena banyak penduduk Bogor, Ciawi dan sekitarnya yg mencari nafkah di Jakarta. Tiba di Duren Sawit sudah malam, badan sudah letih, sudah kepingin buru2 mandi dan tidur.

24 / 09 / 02 - Kembali ke Hong Kong

Hari terakhir di Jakarta. Pagi2 istirahat di rumah. Siang jam 11 dijemput oleh En-en untuk diantar ke pelabuhan udara Sukarno-Hatta. Pukul 15 siang pesawat take off menuju HKG. Pukul 11 malam sudah tiba kembali di rumah di HKG. Langsung mengganyang otak2 dan ayam mbok berek dari Jakarta dgn nasi panas2, ...... kemudian  membereskan oleh2 yg kami beli sendiri dan pemberian famili Atek, Ie Nolly serta temanku  Budi Santoso Sampai hari ini masih banyak yg belum termakan, saking  banyaknya..................... Rampunglah perjalanan selama 16 hari penuh ke Jakarta dan Bandung. Sayang waktu tak  mengijinkan, kali ini tak sempat menjenguk Dr Tan Eng Tie (92 tahun) penasihat PPI Jakarta. semua adik2 kandungku di Jakarta dan Bogor, adik istriku di Surabaya, melongok rumah sahabat karibku ketika kecil Kim Ho dan Heng Kok serta Kian Seng, menjenguk ibunya Lilian (80 tahun) di Citra Garden, menjenguk Ny Lie Tjwan Sien (88 tahun) di Pondok Indah, melihat bekas rumah tinggalku di Guntur 18, Lombok 4, Tamansari IC, melihat bekas sekolah Sin Hoa dan Pah Tsung dan SMA KRIS, tempat aku menerima pendidikan SD dan SM di Jakarta., melihat Universitas Katholik Parahiyangan Bandung dan Universitas Kesenian Rakyat, tempat aku kuliah di perguruan tinggi di Bandung, melihat bekas sekolah Baperki Majalaya dan Sekolah Sin Chung tempat aku mengajar di Bandung, melihat bekas Sekolah Musyawarah yg didirikan oleh PPI Cabang Bandung, yg konon kabarnya telah menjadi sekolah kenamaan di Bandung  dewasa ini. Berziarah ke makam kakek dan nenekku mencari teman2 lama dari SMA Kristen Pintu Air yg pernah jadi basis PPI Jakarta pada 55-58.......................

PENUTUP : Masih ada kesan2 mengenai sospol budaya, masalah etnis  Tionghoa di Indonesia yg kali ini saya diskusikan dgn teman2 di Jakarta dan Bandung.



【未完待續】














ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

TKB:SD di HK(26)【代貼】 Empty 回復: TKB:SD di HK(26)【代貼】

發表  ymchen 20.04.15 16:13



【續】


SUKA DUKA DI HONGKONG. (2002)-Revisi

(Seri ke-26)-2


(2) Catatan harian jalan2 ke Indonesia 2002



PULANG MUDIK (2)


Kesalahan pimpinan pusat PPI

Setelah 37 tahun meninggalkan kampung halaman, sungguh besar sekali perubahannya. Terutama jalan2 raya dan bangunan2 di ibukota.  Tapi kehangatan dan solidaritas teman2 lama PPI dan Sekolah Sin Chung masih tetap seperti dulu.

PPI yg didirikan pada 28 Oktober 1955, telah dibubarkan  pada awal Oktober 1965,  sebelum sempat merayakan ultahnya yg ke-10.  Bekas anggota PPI yg saya temui banyak yg menyesali kenapa pimpinan PPI telah menyimpang dari azas dan tujuan didirikannya PPI,  melepaskan garis netralnya, memproklamirkan dirinya sebagai ormasrev (organisasi massa revolusioner), ikut2an mengganyang Manikebu, mengganyang nekolim, mengganyang Malaysia, mengganyang Ampai, dll sebagaimana yg dikomandoi oleh Pemimpin Besar Revolusi seumur hidup Bung Karno.  Maka jangan heran nasibnya sama dgn Bung Karno, ikut tercampak dalam kehidupan normal masyarakat Indonesia.  Mayoritas anggota PPI tidak mengetahui dirinya telah diperalat oleh pimpinannya, akhirnya semua jeri paya dalam PPI itu menjadi habis ikut terkubur.  

Memang, para pimpinan utama PPI ketika itu tidak ngerti politik, tapi sok ikut2an bikin statement menyokong ini atau itu, mengganyang ini atau itu. Agar tidak ketinggalan mode revolusioner yg sedang ngetrend ketika itu. Juga telah menggantungkan nasibnya kepada Bung Karno yg tampaknya seperti raksasa yg maha kuat, yg bisa tampil membela kepentingan WNI ket Tionghoa dalam memperjoangkan nasibnya melawan diskriminasi rasial.  Apalagi setelah para pimpinannya ikut serta dalam kursus kader revolusi yg dibentuk atas petunjuk Bung Karno,  setiap ada kesempatan berpidato selalu menyelipkan kalimat2 revolusioner, yg sebetulnya cuma dimengerti kulitnya saja.

Setelah KSSR (Konferensi Seni Sastra Revolusioner),  semboyan seni sastra untuk buruh tani dan prajurit (yg dijiplak dari Fikiran Mao Tje Tung) sempat dijadikan semboyan dalam Malam Kesenian PPI.   Kalau diingat-ingat, betul2 sangat menggelikan dan ke-kanak2an  para pimpinan PPI ketika itu. Mayoritas anggota PPI  adalah intelektuil, kaum buruh, dan pedagang kecil, hampir tak ada petani dan prajuritnya, kok mesti ikut2an mengangkat semboyan semacam itu?

Mengapa tidak mengambil seni sastra untuk humanisme universil, bahkan sebaliknya PPI ikut mengganyang teori humanisme universil?  Pimpinan PPI sudah menyeleweng azas dan tujuan PPI yg a.l. berbunyi berjuang untuk menegakkan azas2 demokrasi dan hak2 azasi manusia.   Sekarang manusianya cuma buruh tani dan prajurit doang, yg lain2nya dicampakkan.

Pelajaran pahit yg tidak terlupakan oleh banyak teman2 saya yg kali ini sempat diajak bicara tempo doeloe.......

(akan disambung ke seri ke-3)



PULANG MUDIK  (3)


Setelah 37 tahun berpisah, sangat terasa betapa besar perubahan ibu kota. Selama 37 tahun di luar negeri, saya selalu mengikuti situasi Indonesia melalui surat2kabar dan majalah. Peribahasa "SATU KALI MELIHAT LEBIH BAIK KETIMBANG SERATUS KALI MENDENGAR" merupakan perumpamaan yg tepat buat siapa saja. Sebab melalui melihat dgn mata kepala sendiri, berdialog langsung dgn puluhan anggota keluarga dan teman2 lama, berdialog langsung dgn orang2 yg baru dikenal dlm kunjungan ini, saya memperoleh kesan2 yg lebih mendalam lagi mengenai Indonesia tempo doeloe dan Indonesia masakini.

Ketika saya meninggalkan Indonesia pada 27 September 1965, berangkat dari pelabuhan udara Kemayoran yg kecil dan sederhana, kini mendarat di Cengkareng, yg besar dan menampakkan diri ciri khas kebudayaan Indonesianya. Berangkat dgn lancar, karena saya pemegang paspor dinas sebagai pegawai negeri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (masih saya simpan untuk kenang2an sejarah). Kembali dgn paspor BNO(Inggeris), yg pada 1965 sedang konfrontasi dgn Indonesia.Lucu juga sejarah ini.

Sebagai seniman yg berkecimpungan di bidang seni selama 40 tahun lebih, saya tidak lupa mampir ke toko buku dan toko kaset/CD/VCD/DVD. Ya, agak kecewa juga, banyak buku2 yg kucari tidak terjual disitu (Gunung Agung dan Gramedia), banyak rekaman2 lagu2 nostalgia zaman 50-an dan 60-an yg tak nampak di rak2 toko. Di RRT, Shen Zhen dan Guang Zhou, ada yg namanya SHU CHENG (KOTA BUKU), toko buku yg sangat besar sekali yg pernah kulihat, disana banyak sekali buku2 tahun 50-an dan 60-an. Juga rekaman lagu2, film2 tahun 40-an sampai 80-an. Baik Tiongkok maupun internasional (USA, Russia dll). Pemerintah Tiongkok sangat memperhatikan soal pendidikan rakyatnya, Indonesia masih ketinggalan . Jadi, keunggulan RRT bukan saja di bidang barang2 kebutuhan se-hari2 yg sedang membanjiri pasar Indonesia, juga di bidang seni budaya, Indonesia harus banyak belajar dlm soal ini, mengejar ketinggalannya ini. Perbedaan antara TOKO BUKU dgn KOTA BUKU, bukan hanya dalam ukuran bangunan nya saja, juga isinya sangat berbeda. Maka tidak mengherankan, Tiongkok yg pernah ketinggalan ketimbang Indonesia pada tahun 70-an, kini sudah berada di depan Indonesia lagi dalam banyak bidang. Unsur pendidikan sangat memegang peranan penting. Dalam soal pendidikan musik yg menjadi profesiku, sudah tampak Indonesia jauh ketinggalan sejak tahun 60-an. Saya belajar piano pada guru yg top dan paling mahal di Bandung. Ternyata, metode dan sistim pendidikan pianonya sudah terbelakang sekali, itulah sebabnya, pianis2 yg top di dunia dewasa ini, disamping USA dan Rusia, adalah Tiongkok. Sedang Indonesia entah nomer ke berapa puluh, hal ini juga tampak dalam bidang olahraga.

Pernah kubaca dalam sebuah laporan tentang negeri2 korup di dunia, ternyata Indonesia merebut juara ke-3 dari belakang. Saya pikir kesimpulan ini perlu diperiksa, mestinya juara pertama dari belakang. Coba bayangkan, Indonesia yg subur dan kayaraya hasil buminya, selalu digambarkan dalam situasi yg membikin bulu kuduk berdiri, karena hutang luarnegerinya yg terus melambung ke angkasa, tapi uangnya bukan untuk pembangunan negara, melainkan lari ke kantong koruptor yg merajalela dari pusat sampai ke daerah. Mengapa? Sebab di Indonesia sangat diabaikan pendidikan moral untuk memerangi KKN, moral bangsa Indonesia sudah dekaden, yg tidak korup dianggap goblok, yg korup terbalik mulia dan terhormat, yg mau melawan KKN digebuki pentung polisi, bahkan diteror sampai mati. Supremasi hukum tidak bisa ditegakkan, sebab para koruptor ini semuanya punya bekking yg kuat yg pegang pentungan dan bedil. Aparatur negara bukan untuk membrantas KKN, sebaliknya melindungi KKN. Coba saksikan, sejak lengsernya Suharto, Cuma 2 orang yg diamankan ke istana Nusakambangan. Tidak ada yg dihukum tembak mati dan hartanya disita seperti di RRT. Tampaknya lagu RAYUAN PULAU KELAPA perlu direvisi dan diajarkan ke sekolah2 di seluruh Indonesia, versi baru adalah sbb:

Tanah airku Indonesia, negeri elok amat kucinta.
Tanah tumpa darahku yang mulia, yang kupuja sepanjang masa.
Tanah airku rawan dan miskin, hutang negara menjulang ke angkasa
Pulau Melati penuh koruptor, sejak zaman merdeka.
Melambai lambai, nyiur di pantai. kapan berakhir, zaman edan.
Berbisik bisik kaum miskin papa yang mendambakan zaman normal.


Dunia ini penuh keanehan, siapa yg jujur menyanyikan sesuatu yg nyata dalam masyarakat, pasti akan dikirim kerumah sakit jiwa. Atau mungkin digebuki popor senapang, karena menghina bangsa Indonesia. Maka sebaiknya lagu versi baru tsb diatas disimpan saja dalam laci, atau dibuang ke keranjang sampah (TRASH).

Inilah kesimpulan sementara saya mengenai sospol dan budaya tanah kelahiran. Jika ada yg salah, dgn senang hati saya menerima tegur sapa dari teman2.



PULANG MUDIK  (4)........


Apakah Indonesia masih bisa tertolong?

Pertanyaan ini sering kuajukan kepada sementara teman di Jakarta. Jawabannya macam2, jika disingkat, cuma 2 macam. Yg pesimis dan yg optimis.

Yg pesimis berpendapat Indonesia sudah bangkrut, sudah tak mungkin mampu membayar hutang2 luarnegerinya yg terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti lingkaran setan yg tak ada ujungnya.

Yg optimis berpendapat Indonesia pasti bisa keluar dari lingkaran setan ini, walau harus melalui jalan lika liku puluhan tahun, yg penuh dgn pengorbanan jiwa dan harta benda. Pasti akan lahir manusia2 yg jujur dan pandai, yg akan memimpin rakyat Indonesia keluar dari segala kesulitan dewasa ini.

Saya termasuk yg optimis. Berdasarkan studi saya thd sejarah Indonesia maupun sejarah dunia, studi thd filsafat materialisme dialektika dan histori, studi thd ilmu sosial, tata negara dan politik. Optimisme saya bukannya berdasarkan impian di siang hari bolong.

Tak ada sesuatu yg tidak bisa berubah di dunia, masalahnya cepat atau lambat. Semua perubahan membutuhkan syarat2 subjektif dan objektif. Syarat subjektif peranan pemimpin yg bisa memobilisasi dan mengomandoi massa luas serta memiliki kekuatan bersenjata, syarat2 objektif dasar ekonomi yg sudah mencapai titik butuh perubahan secara cepat dan drastis. Itulah yg terjadi di Indonesia pada perjuangan kemerdekaan yg melahirkan RI pada 1945. Perubahan ini dipercepat dan dibantu oleh syarat objektif situasi internasional kekalahannya blok fasis Jerman-Jepang dan Italia. Tapi yg paling menentukan adalah faktor intern Indonesia sendiri, melalui perjuangan jangka panjang seluruh kekuatan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman dan lain2 elit politik dari yg kiri sampai yg kanan bersatu padu utk melahirkan Republik Indonesia.

Ketika mengulingkan penjajah Belanda, semua kekuatan bersatupadu, meskipun wajar wajar saja terjadi bentrokan berdarah antara kekuatan2 bersenjata dari berbagai golongan yg mewakili kepentingannya masing2. Namun begitu Belanda mundur dan Indonesia dipimpin langsung oleh Bangsanya sendiri, mulailah perjuangan sengit antara berbagai golongan untuk mencicipi hasil kemerdekaan itu, antara golongan kiri, tengah dan kanan terjadi saling gontok2an yg mencapai puncaknya pada tragedy nasional 1965 yg makan korban nyawa jutaan orang itu. Elit politik kiri pada pokoknya dibasmi secara fisik, yg masih hiduppun dilumpuhkan kekuatannya. Ini karena lihaynya kekuatan kanan yg bisa mempersatukan kekuatan tengah untuk merebut kekuasaan politik. Suharto sebagai pemimpin kekuatan kanan berhasil memperbaiki ekonomi yg morat marit akibat kesalahan2 serius dari bung Karno yg menjiplak pengalaman2 Blok Komunis dgn Manipol Usdeknya yg hakekatnya sosialisme utopi yg membikin ekonomi Indonesia menjadi terpuruk. Dibawah pimpinan Suharto, ekonomi Indonesia mulai mengalami kemajuan2, ini fakta sejarah yg tak terbantahkan. Namun, suatu fakta yg tak terbantahkan pula, kemakmuran dan kekayaan ini pada akhirnya cuma dinikmati oleh segelintir konglomerat yang merampok bantuan luarnegeri, pundi2nya menjadi gemuk, kas Negara menjadi kempes terus menerus, hutang2 negara terus meningkat dari tahun ke tahun, kekayaan konglomerat tambah hebat dari tahun ke tahun. Suharto yg sudah bertambah tua umurnya, akhirnya tak mampu lagi menyelesaikan kontradiksi yg memuncak antara pemerintah dan rakyat, dan yg paling menentukan adalah perpecahan dalam Golkar sendiri yg membikin dia terpaksa lengser ke belakang layar, untuk merapikan kekuatan politik dan militernya. Habibie disuruh tampil ke panggung, kemudian Gus Dur, kemudian Megawati, setelah Megawati, entah siapa lagi yg akan tampil ke depan..........Yg memegang kekuasaan di Indonesia dewasa ini, dan seterusnya untuk puluhan tahun, masih tetap kekuatan konglomerat (golkar/abri). Untuk meninabobokan rakyat, memang dibutuhkan tampil tokoh2 yg simpatik dan kharismatik, tugasnya adalah menjaga keselamatan konglomerat, baik jiwa terutama hartanya yg tak boleh diutak-utik. Indonesia terancam bangkrut karena tidak mampu membayar hutang2nya yg sudah menjadi lingkaran setan terus meningkat dari tahun ke tahun. Tapi konglomeratnya baik yg lama maupun yg baru samasekali tidak bisa bangkrut, karena kekayaannya dilindungi oleh pemerintah yg dikendalikannya.

Kekuatan masyarakat yg akan mengubah lingkaran setan itu masih sangat lemah, masih butuh perjuangan puluhan tahun, karena musuhnya masih terlalu kuat. Namun kekuatan ini tidak bisa dibendung oleh siapapun, akhirnya akan membesar dan menguat, yaitu golongan ekonomi menengah yg kaya raya bukan dari KKN. Ini kesimpulan sejarah dunia, juga berlaku secara universil di Indonesia.

Dewasa ini siapapun yg menjadi Presiden Indonesia, tak akan mampu mengatasi segala kesulitan yg dihadapi oleh bangsa Indonesia. dari Gus Dur, Megawati, Amien Rais atau Susilo Bambang atau siapapun namanya. Masalahnya bukan bicara elit politik si polan atau si pulen. Melainkan berbicara masalah dasar ekonomi golongan menengah yg masih lemah. Jangan mengharapkan konglomerat mau mengembalikan uang yg dikorupnya untuk meringankan hutang2 negara. Bahkan jangan heran jika lahir konglomerat2 baru, pada waktu yg lalu belum kebagian rejeki nomplok.......lapisan akar rumput, meskipun jumlahnya ratusan juta, tapi tidak bisa berbuat apa2, kecuali ngomel, maki2 ,mengutuk…… ....

Tapi, seiring dgn kekuatan ekonomi menengah yg akan membesar dan menguat, akan lahir elit2 politik baru yg tumbuh perkasa dlm perjuangan panjang yg rumit melawan kerakusan konglomerat dan ketidak sabaran tokoh2 politik radikal kiri. Elit politik ini mungkin kini masih duduk dalam bangku SD bahkan Taman Kanak2. Indonesia pasti akan tertolong dari kebangkrutan, setelah syarat2 objektif (dasar ekonomi) dan syarat2 subjektifnya(kekuatan politik) tersedia. Situasi internasional juga memegang peranan mempercepat atau memperlambat tibanya syarat2 ini. Habis gelap terbitlah terang, ini kesimpulan sejarah negara2 kaya, yg tidakmungkin mendadak sontak menjadi kaya, juga melalui perjuangan yg sengit ratusan tahun lamanya........tampaknya kita2 ini tak sempat menyaksikan Indonesia yg kaya makmur, adil dan sentosa itu.......



PULANG MUDIK  (5) ...............


26 Oktober 2002 – Ulang Tahun ke – 90  ayahku

14.00 WIB Pesawat CI 671 mendarat lagi di Cengkareng, saya dan James Nyoo Seng Kim anak Semarang dijemput Keng Hok dan Keng Siong. Pertemuan yg sangat menggembirakan, karena sudah 37 tahun plus satu bulan kita berpisah, ketika itu Hok berusia 21 tahun, Siong berusia 3 tahun 8 bulan. Saya langsung memperkenalkan teman saya James kepada mereka. Dalam perjalanan menuju rumah Keng Siong, saya menceritakan bahwa James yg menjemput saya di Peking (Bei Jing) pada 28 September 1965, kemudian kami kumpul bersama selama 2 tahun lebih, saya sebagai tamu negara dan James sebagai interpreter. Tahun 1967 kami berpisah, karena James ada tugas lain dari negara. Tahun 1978, secara kebetulan saya jumpa lagi dgn James di jalan raya di Hong Kong. James ternyata tinggal dekat dgn rumah saya di Hung Hom ketika itu. Ketika saya melangsungkan pernikahan pada 1979,yg menghadiri cuma Papa, saya dan istri, James dan istri. Sangat sederhana, karena kami harus menghemat biaya pernikahan serendah mungkin. Tak lama, James pindah ke Indonesia untuk membantu keluarga istrinya (raja baja di Surabaya), sayapun tak lama pindah ke Tsim Sha Tsui. Hubungan kami terputus untuk sementara. Tahu2, pada 1986 kami bertemu lagi di depan HSBC Tsim Sha Tsui, ternyata James sudah kembali ke Hong Kong lagi. Ini namanya jodoh, hubungan persahabatan kami tidak boleh terputus. Kini rumah kediaman James cuma 10 menit dgn mobil jaraknya, jadi kami terus menjadi sahabat dan tetangga yg baik. Karena James juga kenal dgn Papa, kebetulan iapun mau menengok ibunya di Greenville Jakarta (dekat rumah K.S.), maka kami bersepakat untuk ber-sama2 memberi selamat ulang tahun Papa. Setiba di rumah Keng Siong, sudah menunggu Lian, Houw dan Silvy di muka pintu. Kami terus ke ruang tengah, dimana Papa sudah menunggu kedatangan anak cucunya sejak pagi. Saya segera bertekuk lutut mengucapkan selamat ulang tahun kepada Papa, semoga Papa panjang usia dan sehat2 selalu. James juga memberikan selamat. Papa segera bilang : " Ini kan Seng Kim! ", betul2 kuat ingatan Papa, meskipun sudah pisah 23 tahun, masih mengenali James yg nama Tionghoanya Yo Seng Kim, lulusan Pa Hoa 1960. James tidak lama di situ karena ibunya juga sudah menunggu dia di Greenville. Tak lama lagi, bermunculanlah Keng Hin, Wawah, Deasy, Dina, Panya, Buyung, Loan, Sidharta, Wally, Keng Son, Heppy, Rizal dan istri, Roy dan istri serta anak2nya. Kecuali Keng Hong yg berhalangan di Irian Jaya, lengkaplah keluarga besar Papa di rumah Keng Siong ini. Peristiwa yg bersejarah ini segera diabadikan dgn kamera yg saya bawa, juga kamera Buyung dan Keng Son. Sambil menikmati hidangan ulangtahun, sayapun sibuk bicara dari hati ke hati dgn Papa khususnya, juga tak lupa dgn Houw, Hin dan Hok serta Siong yg betul2 sudah 37 tahun tak jumpa. Suasana ulangtahun diliputi oleh kegembiraan, sebentar2 diselilingi oleh gelak tertawa dari anak cucunya. Papapun tersenyum bahagia, melihat anak cucu dan buyutnya yg sibuk mengambil foto kenang2an. Menjelang magrib, satu persatu kembali kerumahnya masing2, sayapun meneruskan ngobrol dgn Papa sampai jam 01.30 pagi.

27 Oktober 2002 (Minggu) – Sembahyang mendiang ibuku

Pukul 5 pagi WIB (atau 6 pagi waktu Hong Kong) saya sudah bangun, sudah kebiasaan. Papapun seperti biasa latihan yoga selama 1 jam lamanya. Saya duduk di ruang tamu, sambil baca buku yg dibelikan oleh Burhan pada 28-10-2001 yg lalu, yg kelupaan dikirim oleh KS ke HKG. Hobby membaca buku politik, militer, sejarah dan cerita silat memang sudah mendarah daging sejak saya bisa mengenal bahasa Indonesia. Ketika duduk di bangku SMP 1 dan 2, salah satu hobby saya adalah pergi ke perpustakaan Museum atau gedung gajah di Merdeka Barat, hanya untuk membaca suratkabar Indonesia pada tahun 1920 - 1941. Untuk memperdalam pengetahuan saya tentang apa yg terjadi di Indonesia pada periode itu. Saya lulus ujian SMA bagian C pada 1958, cuma setahun duduk di SMA KRIS, dan itupun sering bolos karena kegiatan PPI, semuanya berkat belajar self studi. Tak lama lagi, putri2 KengSiong/Silvy bangun, yg kecil masih takut dgn orang yg baru dikenal, sebaliknya yg sulung adalah kebalikannya, terlalu berani kaya harimau. Kata Papa: “kaya elu waktu kecil, sama2 shio macan”. Saya bilang karena selisih 60 tahun, macannya pun satu Kakcu, sama2 Bow In, banyak persamaan watak. Setelah itu saya tidak bisa tenang baca buku lagi, karena terus diajak main oleh si Macan cilik ini.

Warung bakmi ayam kampung Tamansari

Kemudian saya mengajaknya ke Warung Bakmi Ayam kampung Tamansari yg bersambungan dgn rumah Keng Siong. Pegawai2nya sedang sibuk menyiapkan dagangan Keng Siong suami istri. Sayapun mencicipi sarapan pagi, dgn bubur ayam dan snack khas Baturaja, semacam lumpia tapi isinya adalah kentang dan telur ayam. Semuanya lezad. Cocok dgn selerah orang Betawi. Pempek Palembangnya lumayan, rasanya masih lebih enak yg saya makan di Palembang pada tahun 1962, atau mungkin juga karena sudah sering makan snack gorengan Thailand, Jepang, Vietnam, India, Tiociu di Hong Kong yg banyak jenisnya dan sangat lezad, maka sang lidah menjadi agak cerewet tuntutannya. Tak lama lagi Keng Hin datang, mengajak saya pergi sembahyang ke Muara Karang, dimana abu Mama almarhum disebar di Pulau Seribu pada 1994. Sebelum berangkat ke Jakarta, saya dan istripun pergi ke tepi pantai (10 menit jalan kaki dari rumah kami), untuk sembahyangi Mama, mama mertua (ibu istri saya yg meninggal pada 1968) dan Apoh istri saya (meninggal pada 1974) yg abunya juga disebar di tengah lautan. Setelah itu mampir ke rumah Keng Hin untuk melihat album foto Keng Hin ketika pesta pernikahan, foto2 Deasy dan Dina serta Panya dlsb... Juga melihat piala2 dan certifikat mereka bertiga yg sdh saya ketahui sangat membanggakan keluarga Thio ketiga putri dan putranya persis seperti bapaknya, sekolahnya pintar2, apalagi Deasy yg sudah lulus menjadi dokter. Cerita tentang ini sdh lama saya dengar via tilpon, kini lebih berkesan lagi setelah melihat certifikat2 yg tebal itu. Hari itu hari Minggu, Keng Hin dan Keng Loan sekeluarga pergi ke Wihara masing2.

Bekas rumah wakil Presiden Indonesia Adam Malik

Tak lama lagi, Keng Houw muncul, sesuai dgn jadwal, saya, Papa, Houw dan Siong pergi ke Tamansari Ic No.1, menengok rumah lama yg sudah 60 tahun menjadi rumah kediaman keluarga besar Papa. Sekarang penghuninya cuma Papa, Houw dan Lian bertiga, lain2nya sudah masing2 berumahtangga . Setelah berulangkali mengalami renovasi, rumah di Tamansari sudah 90% berubah menjadi lapang dan bagus interiornya. Perabotan lama masih ada, ditambah lagi dgn perabotan baru memenuhi berbagai ruangan. Saya makan siang di Tamansari, mangga harummanis dan sayur asam yg khusus dimasak oleh Houw, rasanya lebih enak daripada sayur asam yg pernah di masak Mama dulu, karena sudah ada peningkatan dlm bumbu dan cara mengolahnya dari Houw rupanya. Papa masih tidur di kamar depan seperti 37 tahun yg lampau, cuma kamarnya tampak lebih rapih dan ada lemari pakaian yg cukup besar. Jendelanya pun lebih bagus, cuma pintunya tampak belum banyak berubah. Rumah ini sangat bersejarah, menurut Papa dulu didiami oleh para pejuang kemerdekaan seperti Adam Malik, Sidik Kertapati  (sahabat saya sejak 1965 di RRT).

Temukangen dengan grup karaoke Pa Hoa

Pukul 2 siang, Keng Siong dan Keng Houw mengantar saya pertemuan di kantor Perkumpulan Pancaran Hidup (ex Pa Hoa), disana saya sudah ditunggu oleh Chung Tiam Siong, Lay Oen Koey, The Gin Nio, James Nyoo dan dua adik kandungnya juga khusus menghadiri pertemuan ini. Letaknya di Muara Karang, jadi tak jauh dari rumah Siong, saya dan Houw diturunkan disitu, dan Keng Siong kembali ke rumahnya. Pertemuan ini sebenarnya direncanakan pada tgl 22 September 2002, tapi saya batalkan, karena ada acara yg lebih penting, yaitu paginya menengok Papa, sorenya menengok keluarga En-en, adik istri saya di Tangerang. Yang hadir dlm pertemuan temu kangen ini kebanyakan adalah pecinta nyanyi, jadi mereka menantikan kedatangan saya untuk mendengarkan riwayat saya dari pimpinan PPI sampai menjadi guru piano dan komponis. Secara ringkas saya ceritakan bahwa saya belajar piano pada usia 22 tahun, usia 24 tahun menjadi asisten guru piano di Akademi Musik Cornel Simanjuntak Bandung, usia 27 s/d 39 menjadi guru piano di RRT, usia 40 sampai kini menjadi guru piano di HKG. Mulai mencipta lagu pada usia 24 di Bandung ketika mengajar nyanyi di Sin Chung. Sejak kecil saya sudah ,mencintai piano dan menyanyi, tapi ekonomi keluarga tak memungkinkan bakat terpendam saya berkembang. Secara kebetulan saya mendapat kesempatan latihan piano di sekolah Sin Chung, syarat mutlak untuk menjadi pianis. Kemudian mendapat kesempatan mengajar piano di Bandung dan RRT. Semuanya secara kebetulan saja. tetapi yg penting tak lepas dari bakat dan kemauan saya yg keras untuk menjadi guru piano yg baik. Meskipun saya cuma belajar piano selama 2 tahun di Bandung. Kini saya mampu mengajar sampai Grade 8 piano standar The Royal School Of Music di London. Murid2 saya sudah ada 6 orang yg menjadi guru piano, semuanya lulus dgn angka yg baik dari London. Artinya diakui secara internasional. Yg satu lagi, yg kini menjadi anak angkat saya malahan lulus dgn cumlaude di Sekolah Musik Tinggi di Boston. Kini sudah bekerja di perusahaan rekaman di HKG sebagai produser, komponis dan kepala studio perekaman. Penghasilannya sudah 10 kali lipat daripada saya. Anak itu memang berbakat, sejak usia 4 tahun sdh belajar piano kpd saya, usia 13 tahun sdh lulus Grade 8 Piano, tampil sebagai pianis kebanggaan saya pada Konser Piano 1992, yg juga secara kebetulan dihadiri oleh Mama yg menengok saya di HKG. Grade 8 kira2 setaraf dgn SMA dlm Sekolah Umum. Pada usia 7 tahun, sudah tampil dalam acara kanak2 di HKG TVB, nyanyi lagu pop Alan Tam dgn iringan musik dia sendiri dgn organ ciliknya. Antara usia 7 - 10 tahun dalam 8 kali kejuaraan nyanyi dan piano antar sekolah, 7 kali merebut juara pertama, satu kali runner-up. Kemudian sering tampil di Tom Lee Music Co., sebagai pemain musik yg mempromosikan electone terbaru Yamaha. Pada usia 17 tahun ia minta supaya saya jadi ayah angkatnya, kami merasa bangga dan gembira mempunyai penerus musician yg lebih hebat dari gurunya.

Anak ini shio kambing, seumur dgn Dina anak Keng Hin. Pada tahun 2001, saya, istri saya, Willy Fung dan istri (ayah dan ibu kandungnya) berempat khusus terbang ke Boston untuk menghadiri Hari Wisudanya. Alex Fung nama anak angkat saya ini lahir di Hong Kong, ayahnya asal Malang, ibunya berasal dari Medan. Ayahnya pada 1980 pernah belajar organ kepada saya, adalah murid organ saya yg pertama, organ yg dibeli dgn bantuan keuangan dari Keng Houw ketika itu. Tidak sia2 bantuan ini, saya berhasil mendapat sahabat karib dan anak angkat yg jempolan berkat organ ini.

Dalam pertemuan temukangen ini, saya menyanyikan ber-turut2 4 lagu ciptaan saya sendiri, dgn iringan musik yg saya bawa dari HKG (rekaman CD). Yaitu lagu Kapal Persahabatan, yg mendapat sambutan meriah dalam malam Kesenian memperingati Hari Nasional RI ke 57 di HKG, dimana saya bernyanyi duet dgn staf KJRI, ibu Ida. Isi lagu tsb adalah:

Jauh di seberang lautan, berlayar kapal persahabatan. Laju sarat memuat rasa setiakawan dua bangsa Indonesia - Tionghoa. Walau badai melanda datang, kapal persahabatan maju menerjang. Kekal abadilah setiakawan dan persahabatan dua bangsa kita.

 Lagu ini saya ciptakan diatas kapal pada tahun 1973, ketika hubungan RI-RRT masih belum normal. Namun dgn penuh keyakinan saya menulis lagu ini dan sering dinyanyikan di RRT, karena yakin semuanya bersifat sementara, habis gelap terbitlah terang. Lagu kedua adalah I Love Hong Kong, yg isinya melukiskan kecintaan saya kepada Hong Kong, yg memberikan kesempatan kepada saya untuk mengembangkan bakat musik saya, dan bisa mendirikan rumahtangga bahagia dgn keahlian musik itu. Lagu ketiga adalah Nostalgia Alumni, yg saya ciptakan untuk menyambut Malam Nostalgia Angkatan 57 Pa Chung di Shao Ching pada 1997. lagu keempat adalah lagu kanak2 Mari Berolahraga yg saya ciptakan pada 1973 di RRT. ketika menjadi guru menyanyi di sana. Isinya adlah:

Mentari bersinar, memerah angkasa, bangunlah bangun kawan jangan ber-malas2.  Mari berolahraga,  agar sehat dan kuat, kelak sudah besar jadi teruna bangsa.

Menurut para ahli musik, lagu2 saya bercirikan romantis, dinamis , melodius dan harmonis. Semuanya diangkat dari kehidupan yg nyata, artinya bukan abstrak khayalan yg tidak dimengerti oleh para pendengar, harmonis karena memadukan antara lemah lembut dan gagah perkasa, Im dan Yang dalam bahasa filsafatnya, yg saya peroleh dari petuah Papa sejak kecil. Melodinya sederhana, enak didengar dan mudah dinyanyikan, karena diilhami oleh lagu2 rakyat Indonesia seperti Burung Kakatua,Naik2 kepuncak gunung, dlsb. Saya merasa beruntung pernah belajar satu kali kuliah kepada pak Sudharnoto (pencipta lagu Garuda Panca Sila), yg mengajarkan bahwa menggubah lagu itu sangat mudah, asal tahu teorinya. Jika tak tahupun tak apa, sebab banyak lagu2 rakyat diciptakan oleh komponis yg buta not dan buta teori. Menggubah lagu seperti mengolah masakan, siapa yg mempunyai kemauan keras dan suka makan enak bisa menjadi koki kelas satu.

The Gin Nio, penari joget PPI Jakarta sejak 1955, menceritakan bahwa selama 10 tahun (55-65) ia kira saya cuma jadi pengurus PPI saja, ketika 1997 mampir ke Hong Kong, ia merasa kaget perubahan besar dari saya, tahu2 jadi guru piano dan pecinta alat2 musik yg tak di-sangka2. Ruang tamu saya penuh dgn alat musik dan sound-system yg canggih. 1 piano standard, 1 digital piano, 4 key- board Yamaha, Roland, Korg dll. Ya, untuk keperluan studio musik saya, tak kurang dari 600 juta Rupiah sudah keluar dari dompet saya ini. Lebih mahal 3 kali lipat daripada uang yg dikeluarkan untuk membeli 1 flat apartment di Hong Kong yang saya diami sejak 1988. Pertemuan diakhiri untuk mendengarkan lagu Pujaan Tanah Air, sebuah lagu yg saya aransir menjadi orkes simfoni komputer (One Man Orchestra), yg digunakan untuk mengiringi paduan suara 100 orang, untuk menyambut kembalinya Hong Kong ke Pangkuan Ibu pertiwi pada 1997. Semua pendengar (kecuali ahli musik) mengira itu rekaman dari orkes simfoni puluhan orang, sedikitpun tidak menyangka dikerjakan oleh satu orang dgn komputer musik KORG yg saya beli pada 1991, dan belajar sendiri sampai menguasainya (sebab di Hong Kong tak ada gurunya, jika mau belajar harus ke Jepang dan USA). Keahlian komputer musik ini adalah kelebihan saya yg tidak dimiliki oleh semua teman2 saya lulusan konservatorium Peking dan Shanghai. Karena, mereka tidak mau belajar, merasa susah dan tak ada gurunya di Hong Kong. Semangat pantang menyerah saya ini adalah berkat ajaran Papa, papa sering menceritakan bahwa beliau cuma dapat kesempatan sekolah sampai kelas 5 SD, tapi berkat kemauan keras selfstudi, akhirnya bisa menguasai ilmu filsafat dan kimia yg setaraf dgn mahasiswa bahkan dosen universitas.

Malam itu saya makan bersama dgn Keng Siong dan Silvy, juga Keng Houw, di sebuah rumah makan Indonesia dekat Jl Kaji. Saya memilih nasi gudek yg jarang ada di HKG. Kemudian pergi lagi ke Tamansari untuk menjemput Papa dan membawa beliau ke rumah Keng Siong lagi. Malam itu kami berdua tidur agak pagian, kira2 jam 12 malam. Tidurnya cukup nyenyak, malam tidak bangun2, tahu2 sudah pukul 5 pagi dan saya meneruskan membaca buku2 sebelum digerecokin oleh si Macan Cilik Elena..

28 Oktober 2002 (Senin). Ke Bogor

Pagi2 jam 5 sudah bangun. Meneruskan membaca buku 100 Tahun Bung Karno. Pukul 6 warung bakmi ayam sudah buka. Hari ini cobain bakmi ayam kampung Tamansari. Rasanya lumayan, sambelnya juga enak. Setelah sarapan, Keng Hok datang bawa mobil, menjemput saya, Papa, Keng Houw, Keng Hin, Keng Siong dan Silvy. Hari ini kami ramai2 jalan2 ke Bogor, untuk melihat rumah Keng Son dan apotiknya di Pasar Bogor. Sepanjang jalan, digunakan untuk ngobrol ke Barat ke Timur, maklum sudah pisah 37 tahun lamanya. Papa lebih banyak mendengarkan saja, memberikan kesempatan saya berdialog dgn adik2. Banyak yg diobrolkan, dari soal makan soal kehidupan, soal keamanan di ibu kota, soal leluhur kita di Tiongkok sampai ke soal politik dan G30S dll. Tahu2 sudah sampai di Bogor. Kami mampir ke Pasar Bogor untuk meninjau apotik Keng Son. Disitu makan risoles Bogor yg dijual sebagai snack. Setelah itu mampir ke tiga tempat, rumah Keng Son, rumah Rizal (putra sulung Son) kemudian rumah Roy (putra kedua Son). Di rumah Keng Son, ramai2 menikmati makan sore dgn nikmat. Saya sendiri tidak ikut makan, karena sudah kekenyangan jajan risoles, ngohiang,………

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta,  dalam mobil Kijang, ngobrol yg tak berkesudahan diteruskan dgn ramai. Sang waktu berlalu dgn sangat pesat, tahu2 sudah sampai ke rumah Keng Siong lagi, dimana meneruskan ngobrol dgn Papa, Keng Houw dan Keng Siong sampai larut malam.

29 Oktober 2002 (Selasa) Kembali ke Hong Kong

Pukul 5 sudah bangun, meneruskan baca buku 100 Tahun Bung Karno. Kemudian sarapan pagi dgn Houw dan Hin di warung Tamansari, bubur ayam pakai cakwee, seledri dan brambang goreng & sambelnya yg khas. Siang ini saya akan kembali ke Hong Kong. Maka pagi itu tidak ke-mana2, melainkan meneruskan ngobrol ngalor ngidul dgn Papa dan adik2 saja. Melalui pembicaraan dari hati ke hati selama 4 hari ini, tercapai banyak pendekatan2 pandangan, yg selama ini sulit tercapai karena kurang komunikasi akibat perpisahan selama puluhan tahun itu. Meskipun belum seluruhnya menjadi jernih, tapi langkah permulaan sudah mulai ditempuh dgn baik. Masing2 berusaha keras untuk mencari kesamaannya dahulu, mengenyampingkan yg kira2 masih berbeda pendapat. Bhineka Tunggal Ika juga menjadi pegangan kami dalam pertemuan kali ini.

Pukul 1 siang saya pamitan dgn Papa, berangkat ke pelabuhan udara Cengkareng, diantar oleh Houw, Hin, Hok, Siong dan Elena si macan cilik itu. Sangat ter-buru2, untung letak airportnya tak jauh dari rumah Keng Siong.

Elena sangat berani, terus mengikuti saya masuk ke daerah terlarang untuk para pengantar, setelah mendapat boarding pass, terpaksa saya harus mengantar kembali Elena keluar, karena mereka tidak boleh masuk ke dalam. Pesawat take-off meninggalkan airport Cengkareng tepat pukul 3 siang, selama dalam pesawat tidak bisa tidur, karena masih terbayang pertemuan yg bersejarah selama 4 hari ini, re-unie keluarga sejak perpisahan pada tgl 27 September 1965, 3 hari sebelum meletus peristiwa 30 September 1965, yg mengubah sejarah Indonesia, juga mengubah sejarah kehidupan saya sendiri, merantau di RRT kemudian Hong Kong sampai 37 tahun lamanya, dan kemungkinan akan menjadi perantau abadi seperti Thio Tiauw Sian, Engkongnya Papa, yg meninggalkan Tiongkok karena tersangkut soal2 politik, terus menjadi perantau abadi di Indonesia.

Ny Dr Lie Tjwan Sien tak sempat saya tengok, cuma kontak via tilpon saja, sebab waktunya sangat mepet sekali. Juga Dr. Tan Eng Tie. Mudah2an tahun 2003, masih sempat menjenguk dua orang tua yg menjadi penasihat PPI Jakarta pada 1955-1958 itu.

Dgn Ny. Dr Lie Tjwan Sien, saya sudah 3 kali ketemu di HKG, dua kali bersama Dr Lie sendiri, yg terakhir dgn putri bungsunya. Cuma dgn Dr Tan Eng Tie, saya masih belum sempat jumpa selama 40 tahun terakhir ini.

Catatan Harian di atas itu ditulis pada 7 November 2002 di Hong Kong


【未完待續】





ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

TKB:SD di HK(26)【代貼】 Empty 回復: TKB:SD di HK(26)【代貼】

發表  ymchen 21.04.15 21:04



【續】


SUKA DUKA DI HONGKONG. (2002)-Revisi

(Seri ke-26)-3



(3) Berkenalan dengan pak Lin
dari Hoa Ying Semarang


Sekembalinya dari jalan2 ke Indonesia, saya pergi lagi ke Saturday Meeting dari Old Man Club di Warung Malang Causeway Bay. Dokter Gan memperkenalkan seorang anggota baru Lim Tje Liang kelahiran Kudus dan mantan murid sekolah Hoa Ying di Semarang.

Saya biasa menyapa dia dengan sebutan Pak Lim, dan dia menyapa saya dengan panggilan Pak Keng Bouw.  Begitu ketemu sudah merasa banyak kecocokan dan keakraban, dan banyak sekali persamaan pendapat mengenai situasi Indonesia, Hongkong maupun Tiongkok. Kebetulan hari itu yang datang cuma Dr Gan , Pak Lin dan saya bertiga saja, yang lainnya kebetulan ada halangan, maka selama 3 jam ngobrol dan tukar fikiran dengan puas sekali.  

Pak Lim banyak studi terhadap personal computer, banyak memberi bantuan kepada saya, tentang tehnik menulis melalui computer, sehingga saya bisa dengan kecepatan yang lebih tinggi, menyelesaikan semua tulisan saya, terutama ketika terlibat dalam perdebatan soal2 G30S dan sejarah PKI dalam mimbar internet HKSIS yang dikelola oleh Chan Chung Tak.  

Pendapat saya, Dr Gan, Thung Kin Nyan, Seet Hong Hoa dan Pak Lim banyak sekali persamaan, pernah saya diundang oleh pengurus HKSIS berdiskusi soal PKI di kantor Yang Ping, saya ajak Pak Lim, Seet Hong Hoa dan Thung Kin Nyan ikut dalam pertemuan itu, dari fihak HKSIS, datang 4 orang juga, disamping, Yang Ping ada beberapa pengurus lainnya yang ikut datang.

Kami saling berhadapan mewakili 2 pendapat yang berbeda tentang masalah PKI, G30S dan Suharto serta Aidit.  Akhirnya saya katakan, saya sudah berdebat selama 12 tahun di RRT, kemudian berdebat melalui surat menyurat (ketika belum ada computer dan internet) dengan teman2 lama di Eropa sejak 1978 sampai 1998. juga sudah banyak membaca literatur2 intern PKI yang belum pernah diumumkan secara terbuka. Saya usulkan perdebatan ini dihentikan saja, sulit untuk mencapai persamaan pendapat, biar sajalah, masing2 mempertahankan pendapatnya, tak usah dipaksakan harus satu pendapat. Di RRT PKI menjadi pecah ber-keping2, karena diskusi dan berdebat berkepanjangan tak putus2nya, mau cari persamaan akhirnya tetap gagal.  Buat apa kita buang2 tempo yang berharga? Sebaiknya cari persamaannya dulu, simpan dalam laci yang masih beda pendapat. Begitulah diskusi dan perdebatan di kantor HKSIS diakhiri sambil berjabatan tangan.

Selanjutnya saya sering saling berkunjung ke rumah Pak Lim dan Pak Lim datang ke rumah saya, dengan cepat kami berdua menjadi sahabat karib dalam soal2 sejarah dan politik. Dengan Willy cuma bisa bicara soal musik, karena Willy samasekali tidak interesan pada soal2 politik dan sejarah. Kini saya ketemu orangnya di Hongkong yang cocok dan banyak persamaan pendapatnya melalui Old Man Club ini.


(4) 吴荣贵 Wu Rong Gui
guru Sin Chung Bandung datang


Di Sekolah Sin Chung Bandung, saya menjadi salah seorang guru menyanyi dan  bahasa Indonesia, sedangkan Wu Rong Gui menjadi salah seorang guru bahasa Tionghoa.

Anak murid di Sin Chung dilatih kerja badan untuk membersihkan ruang kelas, tiap hari secara bergilir diatur siapa2 yang piket untuk kerja badan ini. Timbul fikiran dari Wu Rong Gui untuk membikin lagu memberihkan ruang kelas, dia bikin sajaknya kemudian minta saya bubuhi melodinya, maksudnya untuk diajarkan di semua kelas dalam pelajaran menyanyi yad.

Sajaknya agak panjang, sayang kata2nya saya sudah lupa semuanya. Tapi melodinya, meskipun sudah 53 tahun berselang, masih tercatat dalam memori saya.  Memang daya ingat saya terhadap melodi lebih kuat ketimbang memori dalam bentuk puisi dan kata2.  Sajaknya agak panjang, setelah saya analisa lagu ini mesti agak panjang dan harus dibagi dalam tiga bagian yang berbeda lagunya.

Ketika itu saya sedang ter-gila2 dengan pelajaran Sonatina dari Clementi, timbul fikiran membuat lagu dengan mengambil patokan dari Clementi Sonatina yang bagus2 melodinya, tapi tidak boleh menjiplak, harus membuat melodi sendiri. Karena ini adalah lagu yang pertama saya ciptakan, jadi membutuhkan waktu seminggu lamanya barulah jadi lagunya.

Kemudian saya perdengarkan kepada Wu Rong Gui, meskipun dia tidak dapat menyanyi, tapi bisa menikmati musik, dia bilang lagu yang saya bikin itu bagus sekali, melodinya merdu, pasti murid2 Sin Chung suka kepada lagu ini.

Senang juga hati saya, sama sekali saya tidak menduga bahwa saya memiliki bakat sebagai komponis, lagu yang pertama sudah begitu bagus, maka disamping bertekad menjadi guru piano yang baik, sayapun bertekad untuk menjadi komponis yang baik pula. Kalau tidak merdu, kalau tidak enak lagunya, saya buang ke keranjang sampah, tidak dicatat dan didokumentasi. Jangan generasi yang akan datang melihat ada lagu yang pernah saya ciptakan tidak enak dan tidak merdu,. Saya sudah mempunyai rencana, selesai menulis memori ini, saya akan mencetak semua lagu2 yang pernah saya ciptakan dalam kurun waktu 50 tahun lebih ini.

Wu Rong Gui tiba2 datang ke Hongkong dan menilpon saya, dia mendapat nomer tilpon saya dari Tjhin Wie Yin di Bandung, yang baru saja jumpa dengan saya dalam perjalanan PULANG MUDIK ke Indonesia sebulan yang lalu.

Ternyata selama ini, Wu Rong Gui yang sudah pindah ke Surabaya, sering datang ke Hongkong untuk bisnis perhiasan emas intan, ketika ke Bandung, saya baru saja meninggalkan Indonesia pulang ke Hongkong, gembira sekali mendengar saya ada di Hongkong.

Kami ngobrol dengan uplek sekali sambil yamcha di Hung Hom tempat dia bermalam di sebuah guesthouse.  Dia masih ingat akan lagu MEMBERSIHKAN RUANG KELAS yang saya bikin pada 1962 itu. Dia bilang saya akan membikin sajak lagi tentang perkumpulan Alumni Sin Chung yang sedang dalam proses pembentukan, sebab tahun 2003, Sin Chung akan mengadakan re-unie di Bandung, harap tolong bikinkan lagi lagunya.

Sekembalinya di ke Surabaya, tak lama lagi datanglah sajak yang dia bikin yang isinya sebagai berikut:

萬隆新中校友歌
新中培育着我们成长  新中磨练着我们自强
我们落地生根在印度尼西亚  我们开花结果在辽阔土地上
团结友爱奋发图强
和睦相处努力向上


Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Sin Chung telah mendidik kami berkembang
Sin Chung telah menggembleng kami bertenaga
Kami berakar di bumi Indonesia
Kami berbunga dan berbuah di tanah yang luas
Perkuat persatuan dan persahabatan dan saling mencintai
Hidup berdampingan dengan harmonis dan giat meningkatkan diri


Kira2 makan tempo beberapa jam saja, lahirlah sebuah lagu baru yang segera saya kirim ke Bandung, kepada He Yin Pin, guru nyanyi Sin Chung terakhir yang menggantikan saya setelah saya ke RRT.

Ternyata paduan suara para guru Sin Chung semuanya memuji lagunya enak sekali, dan mereka mau mempelajari dan menyanyikan dalam malam re-unie Sin Chung tahun 2003 yang akan datang.

Teks lagu ini dimuat dalam buku peringatan Re-unie Sin Chung halaman pertama.




【第二十六集結束】

【請續看下一集】





ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

回頂端


 
這個論壇的權限:
無法 在這個版面回復文章