公用欄目


Join the forum, it's quick and easy

公用欄目

TKB:SD di HK(27)【代貼】

向下

TKB:SD di HK(27)【代貼】 Empty TKB:SD di HK(27)【代貼】

發表  ymchen 24.04.15 11:55


【代貼】

SUKA DUKA DI HONGKONG-Revisi
(在香港的苦與樂-修訂版)






Bagian ke tiga (1998 -2007)


SUKA DUKA DI HONGKONG. (2003)-Revisi

(Seri ke-27)

Penulis : Thio Keng Bou (張慶茂)
(Apr. 2015)



(1) Ketua HKSIS Willem Oei – cucu Oei Tiong Ham


Oei Tiong Ham adalah orang Tionghoa terkaya pada abad 19 di Indonesia (waktu itu nama Indonesia belum lahir, melainkan masih pakai nama Nederlandsce Indie), Willem Oei adalah cucu Oei Tiong Ham yang lahir di Semarang pada tahun 1924. Dalam Old Man Club, Dr Gan memperkenalkan saya, bahwa Pak Willem kini menjabat ketua dari HKSIS  dan akan mengikuti kegiatan Old Man Club tiap hari Sabtu siang itu, kami semua menyambut kehadiran Pak Oei, yang simpatik dan banyak pengetahuannya, Jadi tambah ramailah OMC ini dengan tambahnya Pak Lim dan Pak Oei

Tak lama lagi datang anggota baru pak Lim Chang An, juga dari Semarang, teman dari Pak Lim. Kami berpindah2 tempat pertemuannya, pernah di Fried Chicken Central, Mac Donald Central, pernah juga di Warung Indonesia Niki Echo di Causeway Bay, Mac Donald Causeway Bay, dan masing2 memesan makanan dan minuman sendiri yang disukai dan bayar langsung kepada kasir. Ini lebih baik ketimbang di rumah Dr Gan, dimana Dr Gan yang ngodol kantongnya mentraktir kita ramai2 makan di situ.

Dalam OMC ini ada yang menjadi anggota HKSIS, ada yang tidak, tapi kebanyakan yang bukan anggota HKSIS, seperti saya, Pak Lim dan isteri, Tan Tek Yam dan isteri, Thung Kin Nyan dan isteri, Pak Seet dan isteri , Lim Chang An , yang betul2 anggota HKSIS cuma Dr Gan , Pak Chan dan Pak Oei saja. Kebanyakan kaga mau terikat oleh HKSIS, lebih baik jadi orang bebas saja. Setahun sekali kami adakan Malam Gembira di Mirador Mansion, dengan memesan makanan Indonesia, dan panggil penyanyi dan penari untuk memberi hiburan. Di Mirador Mansion ada keyboard saya dan sound systemnya juga lumayan bagus, jadi cocok untuk malam gembira. Sewanya juga murah cuma 60 HKD per jam.

Ternyata pak Willem Oei tidak lama menjabat jadi ketua HKSIS, belakangan dia bilang telah meletakkan jabatan, karena usia sudah lanjut, biar yang muda yang menjabat sebagai ketua, penerusnya adalah Siauw Tiong Tjing, putera sulung dari Siauw Giok Tjhan, yang usianya 21 tahun lebih muda.



(2) Re-unie Sekolah Sin Chung Bandung


Pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965 saya pernah bekerja sebagai guru di Sekolah Sin Chung Bandung, sebagai guru Menyanyi, Bahasa Indonesia, Sejarah Indonesia dan Ilmu Bumi Indonesia. Ketika saya berada di RRT, pada tahun 1966 semua sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup, termasuk Sekolah Sin Chung di Bandung. Setelah itu buyarlah ke empat penjuru para guru sekolah dan murid2 Sin Chung. Pada tahun 2003. mantan murid dan guru Sin Chung mengadakan rapat, memutuskan akan mengadakan Malam re-unie pelajar dan guru Sin Chung, mengundang juga mantan gurunya yang ada di Singapura dan Hongkong yang semuanya saya juga kenal. Ticket pulang pergi ke Indonesia dibayari oleh Panitia, juga Hotel dan makan selama pesta re-unie 3 hari di Bandung ditanggung oleh Panitia.  Saya putuskan akan datang, mengajak isteri saya (ticket plane bayar sendiri kecuali hotel dan uang makannya). Setiba di pelabuhan udara Cengkareng, ada seorang pelajar Sin Chung, Sung Shui Kuang namanya yang khusus membawa mobilnya dari Bandung menjemput kami berdua, langsung kami naik mobil ke Bandung. Tiba di Bandung kira2 pukul 6 sore, langsung diajak ke sebuah restoran Sunda, di Bandung Selatan. Di tempat itu sudah ramai para anggota panitia yang berkumpul menyambut kedatangan saya, isteri saya dan Chang Chi Yao dari Hongkong juga. Saya terus beritahu, bahwa The Yen Lie juga pernah mengajar menyanyi di Sin Chung, sebelum saya mengajar di situ, mereka baru ingat dan minta nomer tilponnya, agar pada Malam re-unie besok malam The Yen Lie akan diundang dan bisa hadir juga.

Seingat saya, ketika tahun 60-an, tak ada yang namanya Warung Sunda atau Restoran Sunda, sekarang banyak sekali di Bandung.  Masakannya cocok sekali karena saya pernah 7 tahun ber-turut2 tinggal di Bandung (1958-1965).  Terutama bajigur, bandrek, saridele, bakmi pangsit dan bakmi bakso, karedok, lotek , ayam goreng, ketan panggang, col-enak, keripik oncom, nasi kuning dengan sambel oncom, tahu Sumedang, comro dan misro.

Sambil makan malam, sambil ngobrol ke Barat dan Ke Timur.Pada umumnya mereka banyak bertanya tentang penghidupan kami di Hongkong, yang bisa makan tempo ber-hari2 jika diceritakan semuanya. Setelah itu kami diantar ke Hotel yang sudah disediakan untuk bermalam.

Keesokan siangnya, mereka mengundang saya ke rumah He Yin Phing yang ada ruang musiknya yang besar sekali, bisa sekaligus kumpul 60 orang banyaknya, untuk latihan nyanyi lagu paduan suara  yang akan dinyanyikan pada malam re-unie. Lagu ciptaan saya yang baru, yang syairnya dibikin oleh Wu Rong Gui akan dinyanyikan, mereka sudah mempelajari sebelumnya, jadi tinggal latihan bersama saya, dimana saya menjadi pengiring musiknya dengan keyboard yang sudah disediakan di situ.  Di Bandung, rata2 penyanyi punya keyboard, ini bedanya dengan di Hongkong, yang kebanyakan tidak punya keyboard atau piano. Latihannya dilakukan pada siang hari, setelah latihan ramai2 makan kuwe basah Indonesia, dan minum es buah2an, coca cola dan lain2.

Malam itu juga mengambil tempat di ruang pertemuan dari hotel tempat kami bermalam, dilangsungkan malam re-unie Sekolah Sin Chung yang pertama sejak tahun 1966.  

Di situ banyak ketemu dengan mantan guru dan pelajar Sin Chung yang masih kukenali, tapi banyak murid2 yang sudah tidak kukenali lagi, maklum murid lebih ingat kepada gurunya, ketimbang guru kepada muridnya, banyak yang tiba2 datang menyalami saya, mereka masih ingat karena saya setiap hari latihan piano di Sin Chung. Pada malam itu saya diminta menyanyikan sebuah lagu, mereka ingin sekali mendengar suara dari mantan guru nyanyi itu.

Saya menyanyikan lagu yang saya ciptakan di RRT pada tahun 1974, yaitu lagu yang berjudul ,Yang isinya sebagai berikut:

Indonesia tanah tercinta  indah permai dan kaya raya
Ribuan sungai dan telaga   terbentang di tengah khatulistiwa
Jauh aku terpisah darimu  terpendam dalam cinta dan rindu
Walau terhalang lautan membiru  sekali pasti kita akan bertemu


Dan memang, itu keyakinan saya pada tahun 1974, yakin pada suatu hari pasti bisa pulang ke Indonesia lagi, bertemu dengan sanak saudara dan handai taulan. Keyakinan ini akhirnya terlaksana pada tahun 2002, 28 tahun setelah saya menciptakan lagu tersebut.

Lagu ini memang mempunyai arti dan latar belakang sejarah, seperti juga lagu Kapal Persahabatan yang saya ciptakan ketika hubungan diplomatic Indonesia RRT terputus, persahabatan antara dua bangsa mendapat gangguan, berlangsung dengan ter-sendat2. Ketika itu saya berkeyakinan penuh, persahabatan dua bangsa tidak mungkin bisa di-halang2i, meskipun badai melanda datang, Persahabatan antara dua bangsa pasti akan dipulihkan kembali seperti sediakala..

Salah satu kekurangan dari acara malam kesenian itu adalah, terlalu sedikit lagu Indonesia yang dinyanyikan, padahal semua mantan guru dan murid Sin Chung sudah masuk warganegara Indonesia. Yang ideal adalah 60% lagu2 Indonesia, 40% lagu2 asing. Justeru saya yang warganegara RRT menyanyikan lagu Indonesia, yang isi kata2 saya tulis sendiri dan lagunya juga bernafaskan lagu2 Nasional Indonesia. Kemudian saya minta supaya paduan suaranya menyanyikan lagu Burung Kakatua yang paling cepat dipelajari dan dinyanyikan dalam Malam kesenian itu, total jenderal lagu Indonesianya sepanjang malam itu cuma 2 saja. Jika saya tidak datang, maka 100%  menyanyikan lagu Tionghoa !

Setelah selesai acara dari Sin Chung, saya cari lagi teman2 dari PPI Bandung, seperti Then Thung Khang, Wei Yung Kuang, TheYen Lie, Gouw Tek Siu, Yo Eng Boe dan orang tua muridku Lim Ping Sin dan isterinya, dimana ketika tahun 1963-1965 saya memberi les privat di rumahnya, semua murid2ku itu masih kuingat betul namanya, Lim Siu Phin, Lim Chiu Pin, Lim Chun Phin, Lim Pak Phin, Lim Pao Phin dan Lim Ai Phin. Mereka semuanya bersekolah di Sin Chung, Piano yang kupergunakan selama 5 tahun di Sekolah Sin Chung adalah piano yang disumbangkan oleh Lim Ping Sin (Panggilan akrabnya adalah A Piangko), dan di rumah mereka  masih ada piano lagi. Lim Siu Phin dan Li Chiu Phin dulu belajar piano di Jalan Burangrang no. 21,  kepada Tan Eng Tjoei, juga guru pianoku, jadi dalam hal sekolah, dia murid dan saya gurunya, dalam soal piano kami bertiga saudara seperguruan. Isteri Apiangko memberi saya angpao satu juta Rupiah, sebagai tanda terima kasih kepada saya yang telah 3 tahun mengajar anak2nya, yang sekarang sudah pada punya cucu, berarti Apiangko dan Apiangso sendiri sudah punya buyut !  Dan Apiangso sendiri mengundang kami berdua makan lagi di restoran Sunda yang terkenal, ada kebon bunga dan empangnya yang terawat rapih, makanannya semuanya enak, hanya beliau pesannya telalu banyak, sampai setengah mati menghabisinya.  Puteri keduanya Lim Chiu Phin sudah pindah ke Jakarta, tapi pada malam re-unie khusus datang dari Jakarta ke Bandung.

Selesai kesibukan di Bandung, saya pulang ke Jakarta dan diantar lagi oleh Sung Shui Kuang dengan mobilnya ke Tangerang, karena tahun yang lalu kami menolak untuk menginap di rumah En-En (adik isteriku) karena rumahnya lagi direnovasi, kali ini sudah selesai. Kami bermalam 2 hari 2 malam di rumah En-En, berkenalan dari dekat dengan anak2nya Michael dan David. Dan tidak lupa mencari makanan favorit kami, sekba, asinan dan sate babi Betawi yang kini cuma bisa dibeli di Tangerang yang rasanya masih seperti dulu ketika kami masih kanak2. Setelah itu pulang lagi ke Hongkong, diantar oleh En En ke Pelabuhan Udara Cengkareng yang letaknya dekat kota Tangerang



(3) Li Lian meninggal dunia kena kanker peranakan


Li Lian pernah kuceritakan dalam SUKA DUKA DI HONGKONG tahun 1978, selama di RRT kami berhubungan mesra melalui surat menyurat sampai 50 kali banyaknya, tapi akhirnya oleh pemerintah Tiongkok hubungan kami diputus secara paksa, karena adanya peraturan tidak tertulis melarang Bangsa Tionghoa (Li Lian) menikah dengan Bangsa Indonesia (Keng Bouw). Begitu saya tiba di Hongkong setelah putus hubungan selama 9 tahun lebih dengan Li Lian, ternyata Li Lian juga ada di Hongkong, dan sudah menikah dan mempunyai seorang anak berusia 4 tahun.

Setelah itu, saya masih ada hubungan tilpon dengan Li Lian, hubungan persahabatan biasa, saling mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek. Ketika tahun 1983 adiknya Kikih dan tahun 1998 ibunya datang ke Hongkong, saya datang menjenguk mereka.

Ketika saya mau pulang dari Jakarta ke Hongkong, saya tilpon ibunya yang tinggal di Citra Garden Jakarta, saya katakan tidak sempat mampir menjenguk beliau, tahun depan kalau ke Jakarta lagi saya akan perlukan mampir ke situ.  Ibunya dalam tilpon memberitahukan berita duka mengejutkan, yang beliau baru terima dari Hongkong, bahwa Li Lian baru saja meninggal dunia, karena sakit kanker peranakan stadium terakhir. Alangkah terkejutnya saya, Li Lian baru berusia 57 tahun kenapa sudah pulang ke rahmatullah?

Begitu tiba di Hongkong saya segera tilpon suaminya Sen Tje Yung, kapan diadakan pertemuan terakhir untuk melihat wajah almarhuma, Sen Tje Yung dengan suara sedih memberitahukan bahwa isterinya selama ini tidak pernah sakit, selalu sehat walafiat, malahan dia sebagai suaminya sering sakit ini dan sakit itu. Ketika suatu hari Li Lian merasa tidak enak badan, diperiksa dokter, ternyata sel kankernya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya, dokter sudah angkat tangan, dalam waktu pendek Li Lian meninggal dunia.

Pada hari temu akhirnya, saya datang ke Rumah Duka Hongkong, di situ saya ketemu dengan 4 enci piauwnya Li Lian, jaitu Li Tjen , Li Hoa, Lie Fang dan Li Tje. Juga ketemu dengan adik Li Lian yang khusus datang dari Jakarta, yaitu  Fu Nyan dan Kikih. Besoknya saya ikut ke tempat perabuan, di Chaiwan.  Betul2 berada di luar dugaan, orang yang selalu sehat, bisa mendadak dapat sakit kanker yang ganas dan tidak tertolong lagi nyawanya.  Di RRT ada 3 sahabat saya, yaitu, Suratman saudara sepupuh DN Aidit, zus Anfa isteri dosen bahasa Indonesia Sitepu, dan zus Wati, isteri Sobron Aidit, juga meninggal karena kanker dalam usia 42 tahun, 40 tahun dan 52 tahun, tiga2nya terkenal sebagai orang yang paling sehat di RRT, tak pernah sakit.  Maka teman2 yang tak pernah sakit apa2, harus ber-hati2, jangan tiba2 sampai kena kanker stadium terakhir.



(4) Fanti murid pianoku di STM datang dari Holland

Dari 20 lebih murid2ku di RRT, sudah ada sembilan yang datang ke Hong Kong dan mencari saya, masih ingat juga  kepada mantan gurunya yang mengajar piano, akordeon, menyanyi, bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Sejarah Indonesia.

Yang pertama adalah Nining dan Tifa, Tini, lalu Nita, Tiwi dan Tice, terus Agung, kemudian Nyala dan tahun ini Fanti.

Fanti adalah puteri dari Wibowo dan Rini, kini bermukim di Holland.Sudah 24 tahun berpisah dengan saya, kini sudah berusia 34 tahun. Belajar piano kepadaku sejak usia 5 tahun. Tetapi setelah ke Holland, tidak ada piano lagi juga tak ada guru piano yang mengajar tanpa pungut uang les seperti saya, maka semua murid2ku yang pindah ke Eropa, tak ada satu yang belajar piano lagi.  Semuanya sudah lupa sama not balok, sudah lupa bagaimana main piano lagi , piano cuma jadi kenang2an tempo doeloe masa kanak2 mereka.

Fanti juga mampir ke apartemen yang kudiami di Ma On Shan, dia minta saya mainkan piano lagi, ketika saya minta dia mainkan, dia bilang, wah maaf ya Oom, saya sudah 26 tahun tidak pernah main piano lagi, sudah lupa sama sekali.



(5) Ceramah Eddie Lembong dari Jakarta


Eddie Lembong, Ketua Umum Pengurus Pusat INTI (Indonesia Tionghoa) atas undangan HKSIS datang ke Hongkong untuk memberikan ceramah. Setelah Baperki dibubarkan dengan kekerasan pada 1965, begitu pula semua sekolah Baperki ditutup dan anak Baperki (PPI)juga dibubarkan. Etnis Tionghoa belum memiliki suatu organisasi massa lagi yang bisa menyuarakan isi hatinya, menyalurkan kesiapsediaannya untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa Indonesia. Dengan lahirnya INTI, saya melihat wajah2 lama dari teman2 mantan anggota Baperki dan PPI masuk ke dalam organisasi ini, maka saya berkeyakinan INTI mampu menyelesaikan misi sejarah yang belum sempat dilaksanakan oleh Baperki.

Eddie Lembong memberikan perkenalan tentang misi dan visi INTI yang secara hakekat mirip dgn  Baperki, boleh dibilang INTI  adalah Baperki pakai baju baru. Kemudian saya memberikan pendapat dalam pertemuan ini:

“Buat etnis Tionghoa di Indonesia dewasa ini, jangan hanya menuntut persamaan hak, melainkan juga memberikan andilnya di segala bidang demi melaksanakan kewajibannya sebagai warganegara Indonesia yang berakar dan berkembang di bumi persada Indonesia”

Eddie Lembong setelah mendengar kata2 saya tersebut lantas menyatakan :

Apa yang disampaikan oleh Pak Keng Bouw kok sama dengan pendapat Lay Oen Kwie?”

Saya bilang:

“Lay Oen Kwie dan saya pada 1955 sama2 ikut mendirikan PPI, yang dipimpin oleh Kwik Kian Gie ketika itu. Apa yang saya ucapkan tadi itu adalah menjadi salah  satu tujuan dari PPI. Paspor Indonesia saya dicabut dgn  se-wenang2 oleh orba, jika kelak sudah dipulihkan kembali kewarganegaraan saya, sayapun akan masuk INTI seperti kebanyakan mantan anggota Baperki yang saya kenal.”

Dalam pertemuan ini banyak hadirin juga ikut bertanya atau memberikan kata sambutan, cukup berhasil ceramah dari bapak Eddie Lembong ini.



(6) Mantan Ketua PPI Jakarta Ban Po Khiong datang


Pada suatu hari saya diberitahu oleh Teng Yi Siu, adik ipar dari Ban Po Khiong mantan wakil ketua PPI Pusat (1958-1959) akan datang ke Hongkong, Tanya kepada saya apa mau berjumpa dengan dia? Okay kata saya, saya sudah kangen juga kepada Ban Po Khiong, bekas “musuh” saya dalam PPI almarhum. Karena PPI dan Ban Po Khiong sama2 sudah dipecat, Ban Po Khiong dipecat dari PPI, dan PPI dipecat oleh Front Pemuda Indonesia. Maka impaslah segala hutang piutang lama itu, harus diakhiri per-“musuh”-an lama itu, kata saya lagi.

Mengenai Ban Po Khiong ini, secara panjang lebar pernah saya ceritakan dalam serial SUKA DUKA DI PPI (1955-1965), bahwa Ban Po Khiong adalah satu2nya anggota dan mantan pimpinan tertinggi PPI yang mengalami nasib kurang sedap, dipecat oleh PPI, kemudian pergi ke Uni Sovyet, sekolah sampai lulus di Universitas Lumumba Moskow, dan berpraktek sebagai Lawyer di Uni Sovyet.

Ban Po Khiong sebelum menjabat ketua PPI Jakarta, pernah menjabat menjadi ketua Ikatan Pelajar Pa Hoa, pernah juga menjadi direktur SD Pa Hoa di Jakarta. Maka pertemuan re-unie dengan Ban Po Khiong diselenggarakan oleh teman2 Pa Hoa yang berada di Hongkong. Ketika saya datang ke restoran tempat pertemuan dengan BPK, cuma satu meja saja yang datang diundang. Mungkin cuma sebegitu yang masih kenal dengan Ban PK.

Ternyata Ban Po Khiong masih kenalin saya, maklum kami berdua suda “bertempur” dalam 4 kali Kongres PPI, 1958 di Prigen, 1959 di Semarang, 1959 di Jakarta dan 1961 di Bandung.  Diapun tidak menyangka saya berada di Hongkong. Kami berdua senasib dewasa ini, sama2 menjadi korban politik anti Komunisme dari pemerintah Indonesia. Setelah saling bersalaman, saya memulai pembicaraan:

“ Po Khiong, saya terus terang saja, dulu benci bener kepada kamu, dan terus berusaha supaya kamu diblejeti kesalahannya dan berusaha supaya kamu dipecat dari PPI. Namun kini saya merasa perbuatan saya itu tidak benar, cuma secara berat sebelah melihat kesalahanmu saja, tidak melihat jasa2mu yang cukup besar kepada PPI, cuma bertolak dari dendam perseorangan, tidak bertolak dari kepentingan organisasi. Maka saya minta maaf, harap mulai hari ini kita bersahabat lagi seperti dulu.”

“Saya  harus berterima kasih dipecat oleh PPI, saya jadi nekad terus pergi ke Uni Sovyet untuk kuliah dan mendapat gelar sarjana hukum internasional, dan bisa bekerja sebagai lawyer dan menikah dengan gadis Russia di Moskow.”
Jawab Ban Po Khiong. Semua yang mendengar humor Ban Po Khiong ini menjadi tertawa ter-pingkel2.

Ternyata Ban Po Khiong tidak merasa sakit hati telah dipecat oleh PPI. Semua peserta re-unie merasa gembira melihat kami berdua sudah akur kembali, memang tidak ada alasan jadi musuh, habislah semua kesalah-pahaman tempo doeloe.



(7) Ketemu Siauw Maylan,
putri sulung Siauw Giok Tjhan


Ada 2 putera dan puteri Siauw Giok Tjhan yang saya kenal baik, yaitu Mayli dan Tiong Tjing, pernah tinggal dalam satu asrama selama 7 tahun lebih di RRT, belakangan Mayli pindah ke Holland dan Tiong Tjing pindah ke Hongkong.

Di Hongkong tahu2 ketemu lagi dengan Tiong Tjing di hotel ketika Nyoo Soen Hian dan isteri datang dari Belgia, selanjutnya kami sering berhubungan di Hongkong, menjadi sahabat karib, yang saling berdiskusi dan berdebat dalam masalah sejarah Indonesia dan Tiongkok.

Ketika berada di Peking dalam re-unie dengan angkatan 57 Ba Zhong, saya gunakan kesempatan untuk bertemu dengan Maylan yang sudah lama bermukim di Peking. Saya tilpon dia:

“Hallo! Saya Thio Keng Bouw, mantan pengurus Pusat PPI atau Pemuda Baperki, saya mau bicara dengan Siauw Maylan, puteri sulung penasihat PPI Pusat Siauw Giok Tjhan almarhum”.

“Saya Maylan sendiri, tapi rasanya kita tidak saling mengenal.”
 Demikian suara seorang wanita dari tilpon.

“Betul, kita belum pernah bertemu dan berkenalan, tapi saya kenal baik dengan Mayli dan Tiong Tjing dua adik kamu, juga dengan Oom Giok Tjhan ketika kalian tinggal di jalan Tosari no. 70 Jakarta. Apakah kita bisa berjumpa di hotel tempat saya tinggal di Peking sekarang ini, setelah itu kita bisa jadi kenalan bukan?”

Rupanya Maylan kepingin tahu juga, siapa gerangan seorang laki2 yang mengaku sebagai pengurus Pusat Pemuda Baperki, yang dilahirkan atas gagasan ayahnya Siauw Giok Tjhan di Bandung pada 28 Oktober 1955, yang juga teman baik dari Mayli dan Tiong Tjing mau berkenalan dengan dia, maka segera ia menyanggupi akan segera datang ke hotel tempat saya menginap ketika itu.

Memang saya sudah duga, Maylan pasti akan datang menjumpai saya, karena sebagai salah seorang pengurus pusat kantor urusan Hoakiao di Peking, pasti sering dicari oleh banyak mantan teman2 atau anak buah ayahnya, seorang tokoh dari warganegara Indonesia keturunan Tionghoa di Indonesia.

Pintu kamar hotel saya diketuk, dan berdiri seorang wanita setengah tua yang kecil dan pendek, tapi masih segar tampaknya.  Saya sudah tahu ini pasti Maylan, sebab hanya dia seorang yang saya beritahu alamat saya di Peking ketika itu.

Saya ceritakan, ketika sekolah di Ba Zhong pada tahun 50-an, saya sudah menjadi seorang pengagum ayahnya, yang mengelola majalah Sunday Courier yang menjadi salah satu bacaan saya ketika itu (bacaan saya yang lain adalah Koran Sin Po, Keng Po, Pantja Warna dan Star Weekly).  Pokoknya massa media yang kiri, tengah dan kanan semuanya saya baca.  Pada suatu hari saya melihat ada pick-up Sunday Courier di depan pintu sekolah, dan turun dua anak perempuan kecil yang masuk ke sekolah Ba Zhong, saya belum tahu bahwa itu adalah Maylan dan Mayli, tapi saya duga itu pasti anaknya Siauw Giok Tjhan.

Kemudian saya diajak masuk Pemuda Baperki oleh Tan Siang Joe, pendiri PPI Cabang Jakarta.  Saya mau masuk Pemuda Baperki karena saya tahu bahwa Baperki adalah perkumpulan yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan yang menjadi idola saya sebagai pembela keturunan Tionghoa yang didiskriminasi oleh golongan Asaat, golongan yang iri hati melihat warganegara Indonesia Keturunan Tionghoa yang karena ulet dan hemat maju bisnisnya.  Belakangan Siauw Giok Tjhan diserang oleh Keng Po dan Star Weekly, dicap Komunis. Oleh karena pendidikan Ba Zhong yang berorientasi ke RRT yang Komunis, maka simpati saya kepada Siauw Giok Tjhan yang dituduh Komunis. Semakin yakinlah kebenaran saya masuk Pemuda Baperki yang kemudian atas usul dari SGT diubah namanya menjadi PPI (Permusjawaratan pemuda Indonesia) dimana saya selama 10 tahun terus menerus menjadi salah satu anggota pimpinanya.  Bahkan pada tahun 1962-1964, saya pernah terpilih menjadi Sekretaris I Baperki Jawa Barat, selesai masa jabatan saya, kedudukan saya diganti oleh Hie Jin Fong (So En) yang juga anggota pimpinan PPI Jawa Barat.

Saya dan Maylan baru pertama kali bertemu, tapi bisa ngobrol seperti sahabat lama, saya ceritakan juga bahwa saya pernah 12 tahun menjadi tamu Negara di Tiongkok, Karena paspor Indonesia saya dicabut, jadi stateless, terpaksa belakangan naturalisasi jadi warganegara Tiongkok. Kemudian pindah ke Hongkong, mencari kesempatan untuk pulang ke Indonesia lagi.

Tidak lama pertemuan yang pertama ini, karena saya sudah ada janji dengan Lin Mei Fang, Zhong Chui Chiao dan Xu Chao Quan teman sekelas saya dari angkatan 57 Ba Zhong yang bermukim di Peking, maka pertemuan diakhiri, dan saya siap2 pergi ke Wang Fu Jing untuk menemui mereka bertiga. Di Wang Fu Jing kami berempat makan Bakpao Tien Tsin Gou Bu Li yang tersohor, enak betul rasanya.Mereka bertiga sudah pensiun, tapi masih cari pekerjaan sambilan ini dan itu, sebab tidak betah samasekali jadi penganggur kata mereka..

Selama di Peking ini, saya perlukan untuk menjenguk mantan guru sejarah dunia Liang Ying Ming, di asrama dosen Universitas Peking, mantan interpreter Tiongkok Bung Liang Hung An, zus Zhao Yu Fang  dan zus Feng Yue Pin  yang pernah mendampingi saya ketika jadi tamu Negara, dan Bapak Mudiro yang menjadi ahli Bahasa Indonesia yang ada di Peking.

Liang Ying Ming mengajak saya jalan2 di kampus Universitas Peking yang besar, kemudian ngobrol panjang lebar soal sejarah Indonesia, dan beliau dan isteri mengundang saya makan siang di situ. Kami bicara juga soal perpecahan dalam perkumpulan Alumni Ba Zhong Hongkong.

Interpreter zus Feng dan zus Zhao tanya kepada saya,

”Bung, tahu nggak siapa Pelana Kuda itu?”.

“Kenapa tanya Pelana Kuda?”

“Soalnya kami di internet banyak membaca tulisan Pelana Kuda dan perdebatannya dengan orang2 Indonesia di Eropa”

“Pelana Kuda itu adalah nama samaran dari Thio Keng Bouw”

“Lailalaaa, Pelana Kuda itu bung sendiri, hebat benar bung bisa menulis dan berdebat, kami kira bung cuma bisa menyanyi dan main akordeon saja”

“Masih ada kehebatan saya, saya bisa bikin sambel goncang lida, bisa bikin macam2 masakan Indonesia. Tapi, apa setuju dengan pendapat saya?”

“Ada yang sependapat tapi ada juga yang berbeda, tapi tak apalah, itu kan biasa biasa saja, bukan maksud kami untuk berdebat dengan bung hari ini, sudah lama kita tidak bertemu, rasanya ada 30 tahun lebih, kita ngobrol tema yang lain sajalah”


Akhirnya kami ngobrol soal interpreter yang masih bermukim  di Tiongkok dan yang sudah ke Hongkong, keadaan mereka sekarang yang kami bersama ketahui, ngobrol soal di mana cari makanan enak di Peking dan lain2.

Dengan Mudiro sudah 17 tahun tidak jumpa, terakhir ketemu dia di Hongkong pada 1986, jadi banyak juga bahan obrolannya. Nining puteri sulungnya sudah menikah dengan seorang pegawai Kedutaan Besar Indonesia di Tiongkok, sedangkan Tifa puteri bungsunya sudah menikah dengan teman sekolahnya bangsa Nepal, ikut suaminya pergi ke Nepal. Juga bicara soal kesalahan PKI yang mengakibatkan hancurnya PKI dan jatuh korban 3 juta nyawa rakyat tak berdosa, dalam soal ini saya dan Mudiro pada pokoknya banyak persamaan pendapat.



(8) Thio Keng Bouw Student Christmas Party


Student Piano Concert tahun 2003 ini diadakan di aula Ji Nan University Alumni Association di Mirador Mansion, disamping para muridku melaporkan hasil studinya kepada para orangtuanya dan para tamu yang saya undang (lebih kurang 70-an yang datang) keistimewaan Concert kali ini, dihadiri oleh  penyanyi soprano Ibu Ida Indriarti dari KJRI Hongkong.  Dan Ibu Ida sendiri membawa anak asuhannya berupa orkes Angklung yang memainkan lagu2 Burung Kakatua, Jingle Bells, Ye Liang Tai Piao Wo De Sin. Sahabat karib saya, Li Zhun Xian juga mengumandangkan Christmas Carols dengan soprano saxophonenya.Cukup meriah concert kali ini. Para murid piano dan orangtuanya ter-heran2 melihat angklung, yang berupa bamboo bisa menyuarakan lagu2 yang merdu. Ya karena semua baru pertama kali disuguhi atraksi seperti ini. Karena Concert kali ini disatukan dengan perayaan Christmas Party, maka setiap muridku disuruh pakai topi Sinterklas (Orang Tua Natal), jadi semuanya senang sekali main piano dalam suasana Hari Natal (Christmas).
Sahabat karibku Lau Pak Lung dari Tasikmalaya menjadi pemimpin acara .Selesai pertunjukan, semua peserta diberikan kado natal sebagai kenang2an.




【第二十七集結束】

【請續看下一集】







ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

回頂端


 
這個論壇的權限:
無法 在這個版面回復文章