公用欄目


Join the forum, it's quick and easy

公用欄目

TKB: SD di HK(31)【代貼】

向下

TKB: SD di HK(31)【代貼】 Empty TKB: SD di HK(31)【代貼】

發表  ymchen 09.05.15 12:14


【代貼】

SUKA DUKA DI HONGKONG-Revisi
(在香港的苦與樂-修訂版)






Bagian ke tiga (1998 -2007)


SUKA DUKA DI HONGKONG. (2007)-Revisi

(Seri ke-31)

Penulis : Thio Keng Bou (張慶茂)
(Apr. 2015)



(1) Bambang Setyobudhi, penyanyi tenor dari KJRI


Perkenalan dengan Bambang Setyobudhi dimulai dari menjual CD One Orchestra yang saya cetak dan jual di Jakarta pada ultah ke-50 Ba Zhong dan ultah RI ke-60,
Isi lagu2nya a.l. lagu Rayuan Pulau Kelapa, Bagimu Negeri, Garuda Pancasila, Sabang Merauke, Berkibarlah Benderaku, Halo2 Bandung, Ba Zhong Xiao Ge, Ba Zhong Xue Sheng, Ge Chang Zu Guo, Zu Guo Song, Hooked On Classic, The Skaters Waltz, O Mio Babino Caro, Xiao You Qing, Kapal Persahabatan,Wo Ai Xiang Gang (I Love Hongkong) Matinatta, yang semuanya dibikin dengan ONE MAN ORCHESTRA style. Pak Bambang bilang musiknya bagus dan dia suka sekali, langsung membayar 30 HKD kepada saya, kemudian saya tanya “Apakah pak Bambang suka menyanyi? Maukah ikut kegiatan musik yang saya selenggarakan di Mirador Mansion seiap minggu sekali?”

“Oh, saya suka sekali, saya akan datang bersama isteri saya yang juga suka menyanyi.” Jawab pak Bambang.

Pada minggu berikutnya kegiatan musik saya di Mirador Mansion tambah ramai, disamping penyanyi baru Ahon, Liu Fang, kini tambah lagi pak Bambang dan isterinya. Pak Bambang ternyata memiliki suara tenor yang bagus, suaranya empuk dan merdu, mendapat tepukan tangan dari para penonton.



(2) Ikut pertunjukan kesenian KJRI di Stanley Market


Tiba2 saya menerima tilpon dari Panitia penyelenggara pertunjukan kesenian yang diselenggarakan oleh KJRI Hongkong, mengambil tempat di lapangan terbuka di Stanley Market , Hongkong selatan. Saya diberi kesempatan untuk menyajikan pertunjukan selama 20 menit, dan akan mendapat honorarium sebesar 3000 HKD.

Saya putuskan utk mengajak, Chen JieFang, Liu Fang, Chan Chang Hai dan Ringgo untuk menyajikan 3 buah lagu(1) Bengawan Solo, (2) Sing Sing So, (3) Gembala Sapi.  Pak Bambang dari KJRI juga ikut memberikan suara merdunya dan minta bantuan Chen Jie Fang untuk mengiringi dengan keyboardnya. Ia menyanyikan lagu Rayuan Pulau Klapa dan Widuri. KJRI sendiri juga menyanyikan banyak acara keseniannya, ada tari2an yang diasuh oleh ibu Suryanty mantan penari PPI Jakarta, dan lain2 selama 40 menit.  Acaranya memang cuma 1 jam saja, yang menonton adalah para turis yang banyak jalan2 dan shopping di Stanley Market.



(3) PERNYATAAN ARGOMULYO TERHADAP HKSIS
       -----  Pernyataan terbuka Argo Mulyo -----

Keputusan moderator HKSIS untuk membendung tulisan2 dari penulis Budi Sentosa dan Maria Harsono berakhir dengan kemenangan gemilang BS dan MH, baik sisa2 PKI dan para simpatisannya, maupun pak Chan sudah sangat kewalahan menghadapi BS dan MH, meskipun sudah dikeroyok banyak orang, dicaci-maki, difitnah, tetapi dua insan ini tetap tegar menulis artikel atau komentar terhadap pemalsuan sejarah yg kini sedang gencar2nya dilakukan oleh sisa2 PKI untuk meratakan jalan mereka come back ke arena politik Indonesia lagi.

Pak Chan samasekali menutup mata terhadap segala cacimaki dan fitnahan yang datang dari sahabat karibnya (kawan seperjoangannya?), tetapi begitu membaca tulisan Maria yg mengatakan Mao Tjetung sebagai Tuan Budak dan Kaizar Tiongkok, segera menggunakan kekuasaanya untuk melarang tulisan Maria beredar di millis HKSIS yg dikuasainya.

Hanya memperkenankan pembesar membakar rumah, tapi melarang rakyat memasang pelita, hanya memperbolehkan 50 bunga MERAH bermekaran dan satu aliran Komunisme  nyaring bersuara, itulah yang dilakukan oleh Pak Chan yg sudah kewalahan menghadapi BS dan MH serta tuntutan untuk membungkam BS dan MH yg dilancarkan oleh sisa2 PKI kepadanya.

Politik burung unta dari HKSIS cuma merugikan HKSIS sendiri, juga merugikan sisa2 PKI yang dibela mati2an oleh HKSIS. Dengan keputusan ini HKSIS semakin jelas memperlihatkan keberfihakannya kepada PKI, seperti yang sudah lama disinyalir oleh banyak orang di Hong Kong, yang begitu menerima majalah Indonesian Focus, segera melemparkan majalah itu ke keranjang sampah sambil nyeletuk :”Trompet ex PKI !”

Jika pak Chan seorang moderator yang netral (tidak berfihak kepada PKI), seharusnya pak Chan menulis sebuah artikel yang memblejeti tulisan Budi Sentosa dan Maria Harsono, memberi pendidikan kepada seluruh pembaca millis HKSIS, bahwa Mao Tjetung bukan kaizar dan bukan tuan budak, melainkan pemimpin rakyat Tiongkok yang welas asih dan sangat dicintai oleh mayoritas rakyat Tiongkok, baik dulu, sekarang maupun masa mendatang.

Tetapi pak Chan tidak mampu, atau tidak berani menulis artikel seperti itu, karena pak Chan akan berhadapan ratusan juta kaum tani Tiongkok yang pernah diperbudak oleh Mao Tjetung selama 18 tahun di Komune Rakyat.

Tulisan2 Budi Sentosa dan Maria Harsono banyak menyingkap pemutarbalikkan sejarah yang dilakukan oleh sisa2 PKI di Eropa maupun Indonesia. Mereka mati2an menyangkal G30S didalangi oleh DN Aidit dan pimpinan teras PKI. Menuding Suharto sebagai dalangnya dengan dalih Suharto akhirnya keluar sebagai pemenang.

Cara penyimpulan gampang2an ini membikin orang tertawa sampai giginya rontok, samahalnya dengan menuding Amerika Serikat sebagai dalang meletusnya Perang Dunia ke-2, sebab AS akhirnya keluar sebagai pemenang, bukannya Hitler dan Tojo.

Pak Chan dan sisa2 PKI BUNGKAM SERIBU BAHASA terhadap fakta2 yang dikemukakan oleh BS dan MH, misalnya soal rencana PKI untuk membasmi 3 setan kota dan 7 setan desa, yang sebelum G30S terjadi sudah gencar dilancarkan dalam rangka ofensif revolusioner, dan sampai PKI sudah porak poranda, masih dipertahankan tesis ini oleh Sudisman dalam pledoi dihadapan Mahmilub.

PKI samasekali tidak bertobat akan dosa2nya, masih meneruskan petualangannya sampai di Blitar Selatan dan Kalimantan Barat, yang oleh mereka sendiri dikatakan sebagai pelaksanaan dari Tri Panji Partai yang dibimbing oleh Fikiran Mao Tjetung sebagai puncak tertinggi dari Marxisme Leninisme zaman sekarang (dikutip dari Otokritik Polit Biro CC PKI 1966).

Pak Chan dan sisa2 PKI BUNGKAM SERIBU BAHASA terhadap fakta yang dikemukakan oleh BS dan MH tentang diselundupkannya ajaran Mao Tjetung kedalam GBHN (Manipol Usdek) oleh DN Aidit.

Yang membikin NKRI terus bergeser ke kiri merapatkan dirinya ke blok Sosialis Uni Sovyet/RRT, menjadikan Amerika Serikat sebagai musuh utama. Politik pemerintah Indonesia 1960-1965 yg ke-kiri2an itu mempunyai landasan teori Marxisme Leninisme Fikiran Mao Tjetung yang berwujud Manipol Usdek itu.

Politik pemerintah Indonesia jaman Manipol yang tidak netral dan tidak non Blok, politik pemerintah Indonesia yang memusuhi bangsanya sendiri dengan membagi bangsa Indonesia menjadi dua kubuh revolusioner dan kontra revolusioner, menjadi dua golongan rakyat dan musuh rakyat, menjadi dua aliran Komunis dan anti Komunis. Kesemuanya inilah yang disingkap oleh BS dan MH, sebagai latar belakang histori dari meletusnya G30S/PKI pada 1965.

Cara pemalsuan sejarah yang dilakukan oleh sisa2 PKI  adalah menutup fakta2 yang terjadi pada 1960-1965,  mereka selalu bulak balik menyingkap soal Lubang Buaya, tapi tidak memeriksa kesalahan PKI pada 1960-1965, yang menjadi penyebab dari meletusnya G30S itu.

Se-olah2 Letkol Untung itu tiba2 mendapat wahyu harus membasmi jenderal2 anti Komunis demi menyelamatkan revolusi Nasional Demokratis yang dipimpin oleh Aidit cs.  

Mengapa letkol Untung menjadi benci kepada kekuatan anti Komunis dalam Angkatan Darat? Semuanya itu berdasarkan indoktrinasi politik yang intensif dilakukan oleh Biro Khususnya Aidit,  yang meracuni otak perwira2 muda yang berdarah panas. Dan Aidit mempunyai pegangan politik sebagai panglima, semuanya berdasarkan Manipol. Aidit memfitnah lawan2nya sebagai Manipolis gadungan, sebagai setan kota dan setan desa yang harus dibasmi, tanpa indoktrinasi dari Aidit cs, mustahil  letkol Untung dkk bersedia melaksanakan perintah dari Aidit cs. Untuk mencetuskan G30S.

Maka, membicarakan G30S tanpa membicarakan Manipol Usdek, adalah PEMALSUAN SEJARAH, PEMUTAR BALIKKAN SEJARAH TERBESAR selama ini.

Rencana PKI untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan bersenjata (tapi keluar pura2 jalan damai, jalan parlementer) sudah lahir sejak 1920, dicoba pada 1926 dan 1948, kemudian dipersiapkan dgn matang oleh Aidit cs sejak 1951 sampai 1965.

MLM(Marxisme Leninisme Fikiran Mao Tjetung) yang dijadikan pedoman tertinggi oleh PKI (tapi keluar PKI pura2 mendukung Pancasila), adalah ajaran tentang klas dan perjuangan klas, adalah ajaran tentang merebut kekuasaan politik dengan kekerasan bersenjata, seperti yang dilakukan oleh Marx di Komune Paris, oleh Lenin di Russia dan Mao Tjetung di Tiongkok.

MLM adalah ajaran sesat yang bertentangan dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Manipol Usdek yang dijelujuri oleh Fikiran Mao Tjetung juga bertentangan dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

G30S sebenarnya adalah pertandingan final antara kaum Manipolis Sejati ( harap dibaca : PKI dan para simpatisannya) dengan yang dimaki sebagai Manipolis Gadungan (harap dibaca : 3 Setan Kota dan 7 Setan Desa), dengan berkesudahan dibasminya Manipolis Sejati, sumber dari malapetaka di Indonesia pada 1965-1966.

Mengapa Manipolis sejati akhirnya bisa dikalahkan? Karena mayoritas rakyat Indonesia tidak mendukung mereka.

Coba sebutkan, adakah Partai Marxis Leninis yang berhasil merebut kekuasaan melalui jalan damai?

Tidak ada, karena rakyat tidak akan memilih mereka.

Sementara ini sisa2 PKI berjingkrak2 kegirangan, karena berhasil meminjam tangan Pak Chan untuk melarang tulisan BS dan MH beredar di millis HKSIS, tetapi percayalah pasti akan lahir orang yang sehaluan dgn BS dan MH, yang kelak akan tampil di millis HKSIS untuk meneruskan perjuangan BS dan MH yang belum selesai.

Argo Mulyo dkk, Hong Kong 28 April 2007.



KETERANGAN TAMBAHAN :  Di seluruh dunia, termasuk Hongkong, ada jutaan orang yang satu haluan dengan Thio Keng Bouw,  jangan setiap tulisan yg sama pendapatnya dengan Thio Keng Bouw, semuanya dianggap nama samaran dari Thio Keng Bouw,  dengan demikian kalian cuma menganggap yang anti Komunis itu cuma pak Thio seorang diri, ini enggak lucu dong !

Mengapa kalian begitu geram dan benci sekali kepada pak Thio yang sudah mengundurkan diri dari gelanggang tulis menulis soal2 politik? Sampai menuding pak Thio sebagai P ENGACAU, TUKANG  DEBAT  KUSIR,  PEMBOHONG,  PE NGKHIANAT  KAWAKAN,  PAHLAWAN  ANTI   KOMUNIS  KESIANGAN,  ANJING  KUDISAN dlsb.

Yang harus kalian jawab adalah problematik yang diajukan oleh Budi Sentosa, Maria Harsono, bukannya membelokkan perhatian para pembaca, kepada siapa yang menulis.
Kepicikan pak Chan dan kawan seperjoangannya di Eropa cuma membikin banyak orang mengelus-elus dada, sambil berkata : “Gulung tikar sajalah millis HKSIS, jika moderatornya sudah gagal menjalankan missinya sejarahnya sebagai pembela PKI!”.



(4) Ria Susanti, wartawan Sinar Harapan Indonesia


Fransiska Ria Susanti adalah seorang wartawan harian Indonesia Sinar Harapan yang berkedudukan di Hongkong, pada suatu hari dia datang bersama beberapa TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang datang ikut menyanyi dan berdansa di Mirador Mansion. Dia bertanya kepada saya, apakah bersedia diwawancara, saya menyanggupinya dan akhirnya jumpa dengan dia di  Rumah Makan Niki Eco di Causeway Bay.

Inilah hasil wawancara itu:


MaMasa Lalu Bersenandung di Mirador Mansion

----- Original Message -----
Sent: Friday, 27 July, 2007 10:07


Masa Lalu Bersenandung di Mirador Mansion
Oleh Fransisca Ria Susanti

Kaum eksil di Hongkong berseteru. Ada yang berpendapat bahwa PKI memang layak  dihabisi Soeharto dan menuduh Mao itu kejam. Ada yang tak terima dan marah. Mereka terdiri dari bermacam kalangan, dari seniman sampai usahawan, dari pemain piano sampai anak ketua Baperki.

TELEPON  seluler kembali bergetar dalam saku celana saya. Ini kali yang kedua, setelah getar pertama tak sempat terangkat karena kedua tangan sibuk membawa botol air mineral dan perhatian tertuju pada layar terkembang dari kapal yang hilir-mudik melintasi dermaga.

"Jadi kita bertemu hari ini?" Suara lelaki itu terdengar dari seberang sana.

Langit di atas Star Ferry mulai semburat jingga.

"Tak apa kalau tak bisa. CD saya titipkan di kasir Niki Eco.  Boleh di-copy dan disebarluaskan  untuk kawan-kawan," kata suara itu lagi, setelah memperkirakan jarak antara Tsim Sha Tsui dan Causeway Bay tak mungkin ditempuh dalam 20 menit.

Namanya Thio Keng Bouw.

Saya bertemu dengannya pertama kali di lantai sembilan sebuah bangunan lama yang terletak di kawasan Chung King Mansion. Ini kawasan yang biasa dijadikan tempat mangkal para pekerja ilegal dari Nepal, India, Pakistan dan benua Afrika.

Seorang buruh asal telah memberitahu saya soal aktivitas di lantai sembilan itu. Tempat reuni orang Tionghoa asal Indonesia yang rindu kampung halaman, katanya.

Saya penasaran dan memutuskan datang.

Pertemuan di lantai sembilan tersebut digelar rutin setiap hari Minggu selama tiga jam. Sejumlah perempuan dan lelaki berusia di atas 60an duduk di kursi lipat, mendengar lagu-lagu Indonesia, dari Rayuan Pulau Kelapa, Ayo Mama, hingga Bengawan Solo. Selain itu, diputar juga lagu-lagu dari Tiongkok maupun Amerika yang populer antara tahun 1940an sampai 1970an.

Acara itu digagas Thio Keng Bouw, lelaki kelahiran Jakarta 69 tahun silam. Awalnya, dengan sejumlah kawan yang berhobi sama, Keng Bouw melepas penat dengan menyalurkan hobi musik mereka. Hingga kemudian, Keng Bouw berpikir untuk menggelar rutin acara tersebut dengan mengundang orang luar. "Ini semacam latihan yang orang luar juga bisa nikmati," ujarnya.

Selama ini, kelompok musik yang ia pimpin kerap diundang untuk meramaikan acara pernikahan atau pesta ulang tahun. Sehingga latihan menjadi sesuatu yang rutin mereka lakukan sebagai persiapan pertunjukan.

Sejak April 2007, Keng Bouw dan kawan-kawannya  menggelar acara musik nonstop dari jam dua siang hingga jam lima petang di salah satu ruang di Mirador Mansion yang mereka sewa dengan tarif  HK$180 per pertemuan.

Para pengunjung ditarik ongkos HK$20 per orang sebagai sumbangan untuk membantu sewa tempat.

RIBUAN  orang Tionghoa asal Indonesia kini bermukim  di Hong Kong, setelah sebelumnya bertahan di China.  Kebanyakan mereka hengkang dari Indonesia karena faktor ekonomi, tapi tak sedikit pula akibat situasi politik. Keng Bouw adalah salah satu yang meninggalkan Indonesia karena alasan politik.

Pada 27 September 1965, Keng Bouw bersama 14 orang lainnya pergi ke Tiongkok. Mereka pergi atas nama delegasi Front Pemuda Pusat untuk menghadiri acara peringatan ke-16 berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.

Mereka diundang Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok. Keng Bouw mewakili Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI), sebuah organisasi pemuda bentukan Badan Permusyaratan Kewarganegaraan (Baperki).

Keng Bouw mengenang bahwa seluruh perwakilan organisasi pemuda dari sembilan partai politik turut serta, antara lain Pemuda Anshor (Nahdlatul Ulama), Pemuda Rakyat (Partai Komunis Indonesia), Pemuda Demokrat (Partai Nasional Indonesia) dan Pemuda Indonesia (Partindo). Kemudian ditambah wakil dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), APPI, PPI dan PPI Puteri.

Empat hari setelah mereka tiba di Beijing, sebuah kabar datang dari Jakarta: informasi yang simpang-siur tentang kudeta yang dilakukan Dewan Jenderal. Namun, tak berapa lama tersiar kabar bahwa sebuah gerakan yang didalangi PKI telah melakukan kudeta.

"Kami mendengarkan perkembangan berita dari radio," kisah Keng Bouw.

Ia ingat bahwa hubungan sesama delegasi pemuda yang berangkat dari Jakarta mulai tegang pascakabar tersebut, terlebih setelah Jakarta memutuskan bahwa PKI dan organisasi yang dianggap atau dicurigai dekat dengannya dimasukkan sebagai organisasi terlarang.

Hati Keng Bouw kebat-kebit. Organisasi yang ia wakili merupakan anak kandung Baperki, sebuah organisasi yang dianggap punya relasi intim dengan PKI. Delegasi lain, seperti dari PR, APPI, CGMI dan Pemuda Indonesia juga
memiliki kecemasan yang sama.

Akhirnya, saat rombongan memutuskan pulang ke Indonesia, lima delegasi pemuda memilih bertahan di Beijing.

"Beberapa kawan membujuk saya untuk tak kembali ke Indonesia. Katanya, saya bisa kena tangkap," ujarnya.

Keng Bouw mematuhi nasihat itu. Ia bertahan di China. Ia bahkan memutuskan menikah dengan perempuan Tionghoa yang ia temui di Hong Kong dan tinggal di negeri tersebut hingga sekarang.

Sementara empat mantan delegasi pemuda lainnya hijrah ke Eropa. Salah satu bahkan meninggal di tanah asing tersebut tanpa sempat pulang ke Indonesia.

"SDRI. Maria Harsono, khusus tulisan-tulisannya tgl 21 April, dengan lancang memfitnah dan menghina Pemimpin Besar Mao Tje Tung (Mao Zhe Dong) sebagai Kaisar, Tuan Budak yang telah membunuh puluhan juta Rakyat Tiongkok. Padahal, adalah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa Mao Tje Tung  selama ini tetap dihormati Rakyat Tiongkok. Dan, oleh karenanya dengan sangat menyesal, kami harus mengambil keputusan mencabut hak sdri. Maria Harsono mengirim tulisan di milis HKSIS lagi."

Keputusan tersebut dibuat moderator milis Hong Kong Society for Indonesian Studies (HKSIS), Chan Chung Tak, pada 22 April 2007 setelah perdebatan panas soal Partai Komunis China (PKC) terjadi di milis mereka. Chan tak bisa terima saat Maria Harsono menyebut Mao sebagai kaisar, membantai jutaan jiwa, dan memporakporandakan perekonomian Tiongkok. Sebelumnya, Maria juga menyebut-nyebut bahwa Soeharto telah berjasa membumihanguskan PKI karena toh kalaupun partai komunis yang berada di bawah bayang-bayang Mao ini menang, maka bakal ada jutaan jiwa yang akan melayang dan Indonesia tak akan pernah tenang.

Chan adalah anak ketiga Siauw Giok Tjhan, ketua Baperki yang meninggal di Amsterdam setelah dibui di Jakarta selama 13 tahun tanpa melalui proses pengadilan.

"Saya tak memuja Mao Tje Tung. Tapi saya tak rela kalau pendiri republik Tiongkok itu dihujat dengan sama sekali melupakan jasanya," ujar Chan saat saya temui di pojok kedai McDonald's di kawasan Tin Hau, Hong Kong.

Orangnya sederhana. Usianya sudah memasuki kepala enam. Ia hijrah ke Hong Kong setelah sang ayah melarangnya ke Indonesia saat ia hendak memutuskan pulang dari Beijing.

"Saya pergi ke Beijing, sepekan sebelum G30S (Gerakan Tiga Puluh September) meletus," ujarnya. Chan saat itu adalah mahasiswa Universitas Respublika, sebuah perguruan tinggi yang dimiliki Baperki. Ia berniat melanjutkan
sekolah di Beijing.

Ia mengikuti perkembangan peristiwa tersebut dari jarak jauh. Ia tak mungkin pulang, juga ketika ayahnya ditangkap pada November 1965 karena organisasi yang dipimpinnya dianggap dekat dengan PKI.

Chan bertahan di Beijing, menyiapkan diri untuk memasuki universitas yang diimpikannya. Pada Juli 1967, Chan berhasil masuk perguruan tinggi. Namun pada saat yang sama sebuah revolusi yang dipimpin Mao Tje Tung bergolak. Perguruan tinggi dan semua sekolah ditutup. Aktivitas belajar mengajar dihentikan. Semua pemuda dilibatkan untuk mendukung aktivitas heroik yang disebut Revolusi Budaya.

Chan pun larut dalam situasi ini. Ia menjadi salah satu anggota Garda Merah, sebuah unit paramiliter yang didirikan oleh mahasiswa dan dosen untuk mendukung Revolusi Budaya.

Chan mengingat, ia bukanlah seorang anggota yang loyal. Ada masa ketika ia tak bisa menerima saat kawan-kawannya memukuli seorang guru tua dan menyiksanya dengan tempayan bekas ludah, hanya karena dianggap pengkhianat Revolusi Budaya.

"Tempayan besar itu dimasukkan dalam kepalanya dan dijebloskan dengan  paksa," kenangnya.

Chan juga sempat memprotes sikap pengkultusan Mao yang terjadi saat itu.

"Setiap pagi, kami disuruh apel dengan membawa buku kecil yang berisi ajaran Mao," kenangnya.

Tindakan ini, menurut Chan, justru bertentangan dengan komunisme yang dicita-citakan oleh Mao.

"Ajaran utama komunisme adalah membebaskan masyarakat. Harusnya komunisme lebih memanusiakan manusia, bukan malah mengkultuskan manusia seperti dewa sehingga membuatnya tak beda dengan agama," tuturnya.

Namun Chan tak bisa memutuskan keluar begitu saja dari unit itu. Di bawah situasi politik yang tak menentu, sebuah bentuk gugatan sekecil apapun akan meminta risiko nyawa.

Di Garda Merah ini pula, Chan kemudian ditugaskan ke pedesaan. Di bawah kebijakan Mao, seluruh mahasiswa dan pelajar diharuskan untuk belajar dari rakyat. Mereka dikirim ke desa untuk bergaul dan bekerja dengan kaum tani.

Dalam perkembangan selanjutnya, Chan kemudian ditempatkan di pelayaran karena ia menguasai mesin. Namun lucunya, selama berbulan-bulan mengarungi laut, Chan tak pernah bisa menyesuaikan diri. Ia selalu mabuk laut hingga ia pun terpaksa dikirim ke rumah sakit karena terkena radang paru-paru.

Saat di rumah sakit inilah, Chan kemudian mendengar kabar bahwa Siauw Giok Tjhan, sang ayah, bakal dikirim ke Pulau Buru. Berita ini, membuat Chan pun berniat pulang ke Jakarta. Ia tak ingin ibunya tanpa penjaga, jika ayahnya benar-benar dibuang ke Pulau Buru. Selain itu, ini akan menjadi alasan tepat bagi dia untuk tak perlu kembali  berlayar, sebuah pekerjaan yang sama sekali tak ia sukai.

Namun, rencana ini batal setelah ia mendapat kabar susulan dari Jakarta yang menyebut bahwa Siauw Giok Tjhan hanya akan jadi tahanan rumah.

Meski demikian, Chan  tetap tak kembali berlayar. Ia malah pergi ke Hong Kong, negeri koloni Inggris yang menjadi kawasan terdekat dari orang yang ingin hengkang dari .

Di negeri ini, Chan kemudian menetap hingga sekarang. Bekerja, menikah, beranak-pinak, dan menghabiskan masa tuanya.

Ayahnya, menurut kisah Chan, akhirnya terbang ke Amsterdam setelah
dibebaskan dari tahanan dan itu berkat lobi yang dilakukan wakil presiden Adam Malik kepada pemerintah. Sang ayah meninggal di negeri tersebut karena sakit.

Bagi Chan dan kawan-kawannya, apa yang terjadi di Indonesia, tak semata masalah sentimen anti-Tionghoa, tapi lebih dari itu. Masalah utamanya adalah sistem yang tak adil dan jurang yang membentang terlalu dalam antara kelompok kaya dan miskin.

Menurut Chan, HKSIS tak melulu berisi orang-orang yang punya latar belakang politik. Namun, ia  tak memungkiri bahwa memang orang yang peduli dengan proses politik di Indonesia yang bergabung dalam komunitas ini. Tak heran jika milis yang mereka bangun penuh perdebatan seputar politik.

Pada tahun 2005, milis ini dibikin heboh oleh Thio Keng Bouw. Ia tiba-tiba melontarkan pendapat bahwa G30S/1965 adalah kesalahan PKI. Ia menyebut sikap avonturir Dipa Nusantara Aidit atau populer dengan sebutan DN Aidit, pemimpin PKI, menjadi penyebab jatuhnya begitu banyak korban jiwa pascaperistiwa tersebut. Soeharto, menurut Keng Bouw, sama sekali tak bisa disalahkan atas peristiwa ini.

"Dalam peperangan, dalam revolusi dan kontra revolusi, tidak mungkin terhindar korban manusia berjatuhan," demikian ia menulis.

Bagi Keng Bouw, tragedi 1965 adalah perang antara kubu komunisme dan nonkomunisme. Menurutnya, tindakan yang dilakukan Angkatan Darat pascaperistiwa tersebut adalah sah dilakukan. Jika tidak, maka PKI yang justru mengambil alih kekuasaaan dan bukan tak mungkin melakukan tindak biadab tersebut.

Ia berpendapat kekejaman tahun 1965 sampai 1966 di Indonesia masih lebih ringan jika dibandingkan dengan kekejaman yang terjadi di Tiongkok, Rusia, Vietnam, Korea Utara dan  Kamboja. Menurut Keng Bouw, rezim Komunis jauh lebih kejam dibanding rezim Orde Baru.

Tak ayal lagi, kata-kata Keng Bouw ini menyebabkan polemik tak berkesudahan di milis HKSIS. Tak hanya itu, Keng Bouw juga menyebut-nyebut penahanan pemimpin Baperki, Siauw Giok Tjhan, selama 10 tahun dapat dipahami!

Tak hanya Chan, yang berkomentar atas pendapat Keng Bouw. Tapi juga Siauw Tiong Djin, saudara kandung Chan, ikut bereaksi. Beberapa nama lain yang kemudian ikut mengecam pendapat Keng Bouw adalah Asahan Aidit, adik kandung DN Aidit, dan JJ Kusni, mantan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat. JJ Kusni bahkan menuding Keng Bouw sebagai "anjing Soeharto".

"Ia dan kawan-kawan lain merasa bahwa tulisan saya telah menikam mereka," ujar Keng Bouw kepada saya, di lantai dua warung yang terletak di ruas jalan Hennesey Road, Causeway Bay. Hari itu, kalender di dinding menunjuk bulan Mei 2007.

Keng Bouw berkisah, sejak itu, hubungannya dengan kawan-kawannya meregang. Ia juga tak diberi akses untuk masuk ke milis HKSIS lagi. Sementara JJ Kusni juga tak lagi menghubunginya setiap kali mampir ke Hong Kong.

Namun Keng Bouw pantang menyerah. Ia mengaku punya "anak didik" untuk melanjutkan diskusinya di milis  HKSIS. Keduanya bernama Budi Sentosa dan Maria Harsono.

Nama Budi Sentosa muncul setelah Keng Bouw terkena blacklist. Pendapat yang ia lontarkan tak jauh beda dengan Keng Bouw.

Para anggota milis mulai curiga bahwa Budi Sentosa dan Keng Bouw adalah orang yang sama. Budi Sentosa pun mengalami nasib serupa dengan Keng Bouw: ia dicoret dari keanggotaan milis. Menariknya, setelah itu muncul Maria Harsono. Ia kembali mengulang pendapat kontroversial Keng Bouw dan Budi tentang peristiwa G30S/1965. Sesekali, ia meneruskan tulisan yang seolah dikirim oleh Budi Sentosa dan Keng Bouw ke milis HKSIS.

Gara-gara hal ini, Maria Harsono pun dapat peringatan dari moderator milis. Namun Maria tak peduli. Pada 22 April 2007, moderator milis HKSIS memutuskan untuk mencabut hak Maria untuk mengirim tulisan ke milis.

Pasca Maria, ada nama baru yang menyatakan niat untuk bergabung dengan milis HKSIS. Ia ditolak setelah menyertakan alasannya, yaitu ingin melanjutkan polemik yang pernah dirintis Maria, tapi dengan cara yang lebih santun. Kontan nama ini tak diloloskan moderator. HKSIS tak mau kecolongan lagi.

Uniknya, Asahan Aidit yang pernah berseteru hebat dengan Keng Bouw, justru meminta HKSIS untuk menimbang ulang keputusan mencabut hak pengiriman tulisan Budi Sentosa dan Maria Harsono.

Asahan tampaknya tengah sentimentil. Saat ia mengalami kesulitan finansial di Belanda, negeri perantauannya, Keng Bouw menawarkan bantuan. Jelas bukan angka bantuan yang mengusik Asahan, tapi solidaritas yang ditawarkan. Sentimentalitas ini agaknya yang membuat Asahan menulis usul pada Chan agar mencabut blacklist  Budi Sentosa dan Maria Harsono.

Usul Asahan tak bersambut. Moderator HKSIS tetap pada keputusan awal untuk melarang Budi Sentosa dan Maria Harsono, juga Thio Keng Bouw, kembali masuk arena milis.  Tulisan ketiganya yang sebenarnya adalah orang yang sama dianggap bukan tulisan bermutu untuk didiskusikan di milis HKSIS.  Itulah alasan moderator.

"Baik TKB maupun BS dan MH tidak segan-segan menghujat, mencaci maki pribadi-pribadi yang dianggapnya masih tetap 'membela' PKI dan Soekarno, juga tidak segan-segan memfitnah HKSIS sebagai trompet PKI. Fitnah yang tidak bisa diterima segenap pengurus HKSIS," demikian tulis Chan sebagai moderator HKSIS, menjawab usul Asahan.

"Saya memang salah sejak awal. Saya sebenarnya sudah diperingatkan untuk tak bermain di halaman rumah orang yang jelas-jelas pendukung PKI, tapi saya nekad," ungkap Keng Bouw, sambil menyantap lontong cap go meh di warung langganannya.

Namun benarkah HKSIS atau Chan yang selama ini menjadi penjaga gerbang milis HKSIS memberi dukungan sepenuhnya pada PKI? Benarkah komunisme menjadi ideologi yang sepenuhnya mereka percayai?

Dalam sebuah pertemuan berbeda, di tempat berbeda, di kawasan Tin Hau, Chan bicara tentang keyakinannya.

Setelah bertahun-tahun, Chan sampai pada kesimpulan bahwa kapitalisme dan komunisme tidak lagi berada pada dua titik yang berhadapan. Ada titik temu di antara keduanya dan Chan menyebut perkembangan China saat ini.

"Lihat Tiongkok saat ini. Keberaniannya menggunakan sistem ekonomi kapitalis membuatnya berkembang, meski secara politik tetap menganut sistem sosialis," ujarnya.

Ini juga yang membuatnya tak terlalu suka dengan kampanye gencar kelompok kelas menengah di Hong Kong yang meminta ruang demokrasi lebih lebar dengan memberi kebebasan warga untuk memilih pemimpinnya secara langsung.

Demokrasi, menurutnya, tak baik kalau dibuka mendadak. Ini hanya akan membuat Hong Kong bergerak dalam arus liberal yang jusru akan membuat jurang lebar antara kaum kaya dan miskin. Bagi Chan, dunia membutuhkan sesuatu yang tak tunggal, tapi sebuah kompromi.

AKHIR Juni 2007 lalu, sebuah email diterima Chan Chung Tak, berisi permintaan Thio Keng Bouw untuk menyebarluaskan informasi tentang konser musik komputernya yang akan ia gelar dalam peringatan hari kemerdekaan RI ke-62.

Bertempat di Mirador Mansion 54, Tsim Sha Tsui, konser tersebut berisi permainan musik yang akan dibawakan Keng Bouw dengan sejumlah penyanyi tamu. Tak ada ongkos yang diminta untuk hadir di tempat yang hanya berkapasitas 70 orang itu. Namun Keng Bouw ingin agar informasi tersebut disebarluaskan di milis HKSIS.

Chan tak menolak permintaan itu. Bagaimanapun Keng Bouw adalah kawan yang ia kenal dekat. Padahal pada saat yang sama, sepanjang bulan Juni 2007, Keng Bouw kembali menabuh genderang perang dengan Chan bersaudara. Kali ini, ia melontarkan pendapat kontroversial soal Siauw Giok Tjhan. Medan pertempuran yang diambil tak lagi milis HKSIS yang tak bisa ia masuki, tapi berpindah ke
Tionghoa-net, sebuah milis komunitas yang tak terlalu besar.

Sebenarnya perseteruan mereka berawal dari diskusi Chan dengan seseorang yang menyebut namanya Thongshampah. Thong mempersoalkan kekecewaannya bahwa sebagian komunitas Tionghoa yang menyatakan mengagumi Siauw Giok Tjhan menyebut Giok Tjhan sebagai "orang kiri". Padahal, menurut Thong, Giok Tjhan harusnya menjadi milik semua komunitas Tionghoa dan kalau perlu diangkat menjadi "Bapak Tionghoa ."

Pada prinsipnya, Chan setuju dengan usul ini. Namun, Keng Bouw muncul dan mengusulkan agar pentahbisan Siauw Giok Tjhan sebagai "Bapak Tionghoa " diusulkan oleh golongan kanan dan bukan oleh simpatisan Giok Tjhan atau anaknya sendiri. Meskipun begitu Keng Bouw mengakui bahwa Giok Tjhan adalah tokoh sejarah dan telah meluangkan waktu untuk menghitung tulisan di Google yang memunculkan nama Giok Tjhan. Ada 1190 tulisan yang mencantumkan nama Gio Tjhan dalam pencariannya di situs Google.

Perdebatan pun memanas, hingga Thongshampah yang mengaku sebagai "penyambung lidah" generasi muda Tionghoa di Indonesia memutuskan mencabut usulnya.

Namun, Chan justru bertahan. Ia justru memperluas diskusi tersebut dengan mengusulkan agar pemerintah segera menghapus Tap MPRS No.25 tahun 1966 tentang Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme serta PKI. Selain itu, ia juga mendesak penghapusan Tap MPRS No.33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno yang di dalamnya juga mengaitkan
keterlibatan Soekarno dalam peristiwa G30S/1965.

Sebuah usulan yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Keng Bouw. Ia bahkan kemudian mengirim ke milis HKSIS diskusi via email antara Siaw Tong Djin, saudara kandung Chan, dengan seseorang yang mengaku bernama Bambang Hutagalung. Dalam diskusi yang terjadi tahun 2005 ini, Bambang Hutagalung menuding keterkaitan erat Baperki-badan yang dipimpin Giok Tjhan-dengan PKI. Sehingga wajar jika beberapa kalangan menganggap Giok Tjhan lebih layak disebut Tionghoa penganut kiri.

Berdasarkan diskusi ini, Keng Bouw menyatakan pendapat bahwa ia berada dalam posisi Tong Djin yang menganggap Baperki terseret karena keputusannya untuk berada di sisi Soekarno, bukan dengan kesadaran penuh untuk berada di bawah PKI.

Nah, pernyataan persetujuan Keng Bouw terhadap pendapat Tong Djin inilah yang justru membuat Chan meradang. Pasalnya, ia mengetahui persis bahwa Bambang Hutagalung dan Keng Bouw adalah orang yang sama.

"AKHIRNYA berhasil juga saya bikin MCD Genjer-Genjer, setelah softwarenya diganti dengan yg baru, yang lama entah kenapa sudah ngadat, terus menerus sampai tujuh kali gagal. Siang ini saya akan ke Ji Nan Univerdisity Clubhouse, Tsim Sha Tsui. Apa bisa ketemu di MTR station untuk ambil Music CD itu?"

Pesan itu dikirim melalui email oleh Keng Bouw. Tak hanya ditujukan pada saya, tapi juga pada moderator milis HKSIS yang akhir-akhir ini rajin ia jadikan seteru.

Keng Bouw berinisiatif membuat CD itu setelah perjumpaan pertama kami di Mirador Mansion. Saat itu, kami bercakap-cakap soal G30S/1965 setelah pertunjukan musiknya usai. Ia menjadi antusias. Hingga aktivitas merapikan perlengkapan musik yang masih terserak, dari gitar hingga kabel microphone, ia hentikan begitu saja.

Ia kemudian duduk kembali di belakang keyboard piano. Ia mempertunjukkan keahlian yang ia pelajari sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, yang kemudian membuatnya dipercaya memimpin Ansambel Tari dan Nyanyi PPI antara tahun 1957 sampai 1959 di Bandung.

Di atas keyboard, jemarinya memainkan nada sebuah lagu lama. Seorang perempuan yang telah merantau selama 14 tahun di Hongkong sebagai pembantu rumah tangga dan berdiri di samping saya, langsung terlonjak kaget. "Itu lagu Genjer-Genjer!" serunya. Keng Bouw mengangguk dan meneruskan permainannya.

Dalam ingatan Keng Bouw, Ansambel Gentasuri dari Surabaya adalah Ansambel pertama yang mempopulerkan lagu dan tarian Genjer-Genjer. Namun Ansambel yang kerap menjadi kesayangan Bung Karno dan kerap dipanggil ke Istana Negara, adalah Ansambel Maju Tak Gentar dari Medan. Pemimpinnya juga seorang etnis Tionghoa yang Keng Bouw mengingatnya dengan nama panggilan Udin.

Ketika saya masih terhanyut menyimak senandung masa lalu itu, mendadak pintu terbuka. Tiga perempuan Tionghoa masuk. Keng Bouw langsung menghentikan permainannya.

"Nah, itu jagoan tarinya dulu," ujarnya sambil menunjuk salah satu dari tiga perempuan tersebut.

Keng Bouw akrab memanggilnya Acun. Tapi di kalangan perempuan yang berlatih tari di aula KJRI itu, ia dikenal dengan nama Suryanti.

Di tahun 1965, Suryanti adalah perempuan yang energik dan salah satu penari terkemuka di kelompok PPI Jakarta. Menjelang peringatan 17 Agustus di tahun 1965, Suryanti diberi tanggung jawab untuk melatih ratusan orang membawakan tarian Genjer-Genjer dan Tanduk Majeng yang akan ditampilkan dalam karnaval hari kemerdekaan.

"Waktu itu, ratusan orang berdiri di depan Istana, menarikan Genjer-Genjer dan Tanduk Majeng. Itu dia yang melatihnya," ujar Keng Bouw, sambil mengenalkan saya kepada Suryanti.

Sayang, Suryanti tak banyak bicara. Ia pendiam dan hanya menjawab pertanyaan pendek-pendek. Seorang buruh asal yang pernah berlatih tari dengannya, mengenang Suryanti sebagai guru yang sangat disiplin dan terkadang galak.

Setiap Minggu, berbagi tempat dengan pertunjukan musik yang digelar Keng Bouw, Suryanti berlatih tari secara rutin bersama kawan-kawannya. Ia membuka kursus bagi siapa saja yang tertarik untuk mempelajari tari tradisional . Ia dikenal sebagai guru tari yang profesional.

Sedikit yang tahu bahwa Suryanti pernah menjadi guru tari Genjer-Genjer, sebuah tarian yang haram dipertunjukkan di saat rezim Soeharto berkuasa dan diidentikkan dengan PKI.

Namun di akhir tahun 1980an, Suryanti mendadak punya ide untuk menampilkan tarian ini di depan publik Indonesia di Hong Kong. Tentu saja ia tak terus terang menyebut judul tariannya. Ia mengganti nama tarian tersebut dengan tari Petik Sayur. Keng Bouw dipilih untuk mengiringi tariannya dengan permainan piano. Tapi tentu saja, tak ada syair yang didendangkan.

Saat itu, tak satu pun penonton yang berpikir bahwa lenggok penari di atas pangung dan nada musik yang terdengar adalah Genjer-Genjer.  Kebanyakan dari mereka adalah generasi muda. Tetapi, kalaupun ada generasi tua yang tahu tarian dan lagu tersebut, barangkali mereka memilih menyimpannya untuk diri sendiri. Lagu dan tarian itu terlalu bagus untuk dihilangkan.

"Lagu itu kan nggak punya salah," ujar Keng Bouw.

Ini pula yang kemudian mendorongnya merekam ulang lagu Genjer-Genjer dalam cakram digital.

Saya mengambil keping rekaman itu di Niki Eco, warung makan milik seorang pengusaha Tionghoa asal yang terletak di kawasan Causeway Bay.

Ada 12 lagu dalam satu keping cakram berwarna kuning yang di atasnya tercantum tulisan tangan Keng Bouw dengan spidol hitam: "Genjer-genjer".

Selain Genjer-Genjer, ada lagu Rayuan Pulau Kelapa, Bengawan Solo dengan irama country, 12 November, Bendera Merah dan Darah Rakyat. Tiga lagu terakhir itu, ditambah Genjer-Genjer, menurut Keng Bouw adalah lagu nostalgia perjuangan PKI yang belum seorang pun merekamnya ke dalam CD.

"Merupakan dokumentasi sejarah yang berharga untuk disimpan (jadi barang antik kelaknya)," tulisnya kepada saya dan Chan.

Namun di Indonesia, Genjer-Genjer tak lagi setabu dulu. Generasi muda men-download versi rekaman awal yang dinyanyikan Bing Slamet dan Lilis Karlina melalui Internet. Mereka juga mulai rajin mencari jawab  tentang masa lalu. PKI tak lagi sepenuhnya menjadi momok.

Gerakan yang menggugat sistem yang tak adil dan mencari sistem alternatif yang lebih baik masih menggeliat. Tetapi siapa yang bisa memastikan arah perubahan?

Di Hong Kong, Chan masih  pesimis dengan gerakan demokratik di . Sementara Keng Bouw merasa bahwa hanya generasi bodoh yang mengikuti jejak PK

*) Fransisca Ria Susanti adalah kontributor sindikasi Pantau di Hongkong



(5) Re-Unie angkatan 57 Ba Zhong di Peking


Tahun 2007, adalah ulang tahun ke 50 lulusnya angkatan 57 Ba Zhong. Sekalipun saya cuma 3 bulan duduk di kelas 2 SMA Ba Zhong, saya dimasukkan ke dalam angkatan 57 Ba Zhong, yang terdapat banyak sekali teman sekelas, sejak SMP kelas satu sampai SMA kelas 2. Seperti Yao Zi Kun, Li Shang Xi, Zhong Ren Hu, Hoang Nai Qiang. Liu Mei Hoa, Xu Chao Quan. Huang Mei Fang, Chen Yu Mei, Chen Yu Zhen, dan lain2.

Pesta ultah ke-50 kali ini diadakan di kota Peking (Bei Jing), lebih kurang 250 anggota dari Indonesia, Hongkong, dan daratan Tiongkok, Singapura, Canada  dan lain2 yang datang berkumpul di satu guest house di pinggiran kota Peking, restoran tempat makannya juga berada di sebelah guest house itu, kemudian ruang untuk pertunjukan kesenian juga terletak tak jauh dari guest house, jalan kaki 10 menit saja sudah sampai. Saya sekamar dengan Zhong Ren Hu, sahabat karib di Hongkong.

Band musik Xu Rui Hoa juga datang untuk meramaikan ultah ini, begitu pula penyanyi soprano Yu Qun Zhen dengan paduan suara kecilnya, Lin Siu Fang dengan grup tari2annya,  pendek kata yang pernah tampil ketika ultah ke-40 di Shao Qing semuanya datang lagi dengan acara kesenian yang baru.

Ketua angkatan 57 Huang Xin Tang membuka pertemuan di gedung pertunjukan, kemudian diikuti oleh acara kesenian yang saya sebutkan diatas, tiba2 ada acara yang spontan yang ditampilkan di pentas, yaitu rombongan kesenian Sin Kiang yang terkenal di Peking, tampil dengan tari2an yang spesifik, penarinya muda2 dan cantik2, musiknya merdu sedap di telinga. Rombongan kesenian Sin Kiang ini di panggil oleh Li Quan Cai dari Vancouver Canada, dia yang membayar seluruh ongkos2nya.  Melihat acara yang begitu menarik, saya putuskan untuk membatalkan acara saya sendiri, saya beritahu kepada panitia soal ini, agar kita mendapat kesempatan melihat acara dari Sin Kiang yang mungkin cuma satu kali seumur hidup untuk menikmatinya. Pernyataan saya ini disambut gembira oleh panitia, juga ada beberapa acara yang sudah dipersiapkan sebelumnya, mengikuti jejak saya untuk membatalkan acara mereka, dengan demikian acara kesenian tidak terlalu panjang dan meletihkan para penonton.

Keesokan harinya kita diajak meninjau ke kompleks Olympic yang menurut rencana akan diadakan di Peking pada tahun 2008, saya sudah persiapkan CD musik yang berisi lagu2 nostalgia Indonesia, Tionghoa dan Barat, minta supaya diperdengarkan dalam bis, kemudian beritahu yang berminat bisa langsung membeli kepada saya, satu set 4 buah CD harganya 100 HKD atau 100 Ren Min Bi.  Saya cuma bawa contohnya saja dari Hongkong, kemudian saya pergi ke kota Peking untuk mencetak sebanyak 400 CD, kulit mukanya juga sekalian dicetak disitu, maka saya korbankan untuk tidak ikut meninjau ke kompleks Olympic dan tembok besar. Ini menarik pengalaman di Shao Qing, karena kurang persiapan, maka banyak yang tidak kebagian membelinya.  Ternyata cara ini manjur sekali, sambil naik bis sambil mendengar musik CD saya, banyak yang tertarik, begitu tiba di Guest House banyak yang datang ke kamar saya untuk membelinya, kemudian waktu makan, banyak yang datang ke meja saya, dalam waktu satu hari saja, 400 keping CD itu habis terjual. Masih ada yang kagak kebagian, maka saya minta alamat mereka, akan saya kirim dengan pos udara dari Hongkong ke alamat mereka, ongkos kirim saya yang bayar.

Di guest house tempat kita menginap, berdatangan juga  guru Liang Ying Ming, dan Wu Le Hoa dari angkatan 56. saya ber-cakap2 dengan mereka bicara soal PKI dan G30S, mereka berdua sudah membaca perdebatan saya di millis HKSIS, jadi cuma melengkapi saja apa yang belum ditulis dalam HKSIS.

Pada malam perpisahan di restoran tempat kita se-hari2 makan, dilangsungkan malam gembira perpisahan, di sini saya ikut ambil bagian menyanyikan lagu2 yang dibatalkan pada hari pertama tersebut di atas. Yaitu medley lagu2 Maluku seperti Burung Kakatua, Naik2 ke Puncak Gunung, Kole2 dan Ayo Mama, dengan iringan musik One Man Band dari CD saya sendiri, lagunya ringan sedap di telinga dan iringan musiknya juga bagus sekali. Juga mereka yang sudah mempersiapkan acaranya tidak sempat dipentaskan, kali ini mendapat kesempatan untuk menghibur kita semua.

Kepada semua pembeli CD saya, saya beri garansi, jika tidak bagus musiknya, boleh dikembalikan, dan semua uang pembeliannya saya kembalikan. Ternyata tidak ada satupun yang mengembalikan, bahkan ada yang tulis surat kepada saya untuk membeli lagi buat oleh2 kepada temannya yang tidak datang, dan teman2nya dari angkatan lain di Ba Zhong.





【第三十一集結束】

【請續看下一集】



【註:YMC 將外遊數日,因此幫張慶茂兄貼上網的《SUKA DUKA DI HONGKONG-Revisi》續集將暫停一段時間。】














ymchen

文章數 : 667
注冊日期 : 2012-11-08

回頂端 向下

回頂端


 
這個論壇的權限:
無法 在這個版面回復文章